Hari sudah mulai gelap. Langit Bandung mulai menghitam seolah meniru suasana hati Zeandra. Cuaca Bandung akhir-akhir ini memang sering diguyur hujan. Mendung menyelimuti kota ini dengan tebal, menyerap cahaya matahari sehingga senja tiba lebih cepat dari biasanya.
Setelah berpamitan ke rumah Bi Rumi, Zeandra kira ia akan segera sampai di tempat pemakaman umum untuk berziarah ke makam Farah. Namun, kenyataannya, macet yang selalu terjadi di Bandung yang tidak pernah mengenal jam itu tak bisa dihindari. Mobilnya merayap lambat di antara kerumunan mobil lainnya.
Meskipun macet begitu parah, tak terdengar suara klakson sedikitpun di Bandung. Zeandra menatap kerumunan mobil di depannya, mencoba mencari alasan di balik kesabaran para pengendara. Ia senyum sedikit. Ya, itulah yang Zeandra suka dari Bandung. Kota yang damai dan indah. Walaupun ia tidak berani keluar apartemen setelah lewat pukul sembilan malam, tapi ketenangan kota ini selalu menenangkan hatinya.
Zeandra menatap Keenan lewat kaca spion tengah dengan senyum sedih. Anaknya itu benar-benar mengerti keadaan. Tak ada lagi pertanyaan tentang Rafa yang terus menyeruak dari bibir kecilnya. Tangisan pun tak lagi terdengar. Keenan duduk tenang di car seat-nya, mata cokelatnya tertuju pada tablet yang menampilkan film kartun kesukaannya.
"Mama, liatin Nan?" suara Keenan yang polos menarik perhatian Zeandra.
"Hah, nggak," jawab Zeandra sambil terkekeh pelan.
"Nan liat di kaca," Keenan menunjuk ke kaca spion.
"Hehe iya Mama liatin Naan," Zeandra mencoba menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit terharu. Ia mencoba menahan air mata yang ingin mengalir. Keenan benar-benar anak yang kuat dan tegar. Ia bisa menjalani hidup dengan tenang meskipun harus meninggalkan rumah dan hidup di kota yang baru.
"Kenapa mama?" tanya Keenan penasaran.
"Gapapa, abisnya Naan serius banget si," Zeandra mencoba menghilangkan rasa kecewa yang menyerang hatinya.
"Iya lagi nonton pololo," jawab Keenan sambil menunjuk tabletnya, "Mama mau nonton?"
Zeandra tertawa lembut, mencoba menghilangkan rasa sedih yang menyeruak di hatinya. Ia menoleh ke arah depan, menatap jalan yang sudah sedikit melenggang.
"Kita mau ke rumah Mama Farah," kata Zeandra.
"Ah iya Mama?" tanya Keenan, matanya bersinar ceria.
"Iya dong, nanti Nan doain ya Mama Farah," kata Zeandra, menatap Keenan dengan tatapan yang penuh cinta.
"Doanya gimana?" Keenan bertanya lagi, suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Doain biar Mamah Farah dijaga sama Allah di sana, biar Mama Farah di sana bahagia selalu," Zeandra menjelaskan dengan suara yang lembut.
"Okey deh," Keenan menjawab sambil mengangguk dan mengangkat jari jempolnya.
Zeandra tersenyum melihat Keenan yang begitu polos dan lugu. Ia merasa sedikit lega melihat Keenan yang begitu tenang dan bisa memahami situasi saat ini. Ia mencoba fokus pada perjalanan dan mencoba menyingkirkan pikiran negatif yang menyerang pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey Of Love
Chick-LitSemuanya berawal ketika Zeandra dipindah tugaskan ke Bandung, yang mengubah kehidupannya secara drastis. Hidupnya menjadi sangat epik ketika ia harus berurusan dengan atasannya yang menurutnya annoying. Adu mulut seringkali memecah ketenangan, membu...