EMPAT PULUH SEMBILAN

626 19 1
                                    

Hari sudah mulai gelap.  Langit  Bandung  mulai  menghitam  seolah  meniru  suasana  hati  Zeandra.  Cuaca  Bandung  akhir-akhir  ini  memang  sering  diguyur  hujan.  Mendung  menyelimuti  kota  ini  dengan  tebal,  menyerap  cahaya  matahari  sehingga  senja  tiba  lebih  cepat  dari  biasanya.

Setelah berpamitan ke rumah Bi Rumi, Zeandra  kira  ia  akan  segera  sampai  di  tempat  pemakaman  umum  untuk  berziarah  ke  makam  Farah.  Namun,  kenyataannya,  macet  yang  selalu  terjadi  di  Bandung  yang  tidak  pernah  mengenal  jam  itu  tak  bisa  dihindari.  Mobilnya  merayap  lambat  di  antara  kerumunan  mobil  lainnya.

Meskipun macet begitu parah, tak terdengar suara klakson sedikitpun di Bandung.  Zeandra  menatap  kerumunan  mobil  di  depannya,  mencoba  mencari  alasan  di  balik  kesabaran  para  pengendara.  Ia  senyum  sedikit.  Ya,  itulah  yang  Zeandra  suka  dari  Bandung.  Kota  yang  damai  dan  indah.  Walaupun  ia  tidak  berani  keluar  apartemen  setelah  lewat  pukul  sembilan  malam,  tapi  ketenangan  kota  ini  selalu  menenangkan  hatinya.

Zeandra  menatap  Keenan  lewat  kaca  spion  tengah  dengan  senyum  sedih.  Anaknya  itu  benar-benar  mengerti  keadaan.  Tak  ada  lagi  pertanyaan  tentang  Rafa  yang  terus  menyeruak  dari  bibir  kecilnya.  Tangisan  pun  tak  lagi  terdengar.  Keenan  duduk  tenang  di  car  seat-nya,  mata  cokelatnya  tertuju  pada  tablet  yang  menampilkan  film  kartun  kesukaannya.

"Mama, liatin Nan?" suara Keenan yang polos  menarik perhatian Zeandra.

"Hah, nggak," jawab Zeandra sambil terkekeh pelan.

"Nan liat di kaca," Keenan menunjuk ke kaca spion.

"Hehe iya Mama liatin Naan," Zeandra  mencoba  menarik  napas  dalam-dalam,  merasa  sedikit  terharu.  Ia  mencoba  menahan  air  mata  yang  ingin  mengalir.  Keenan  benar-benar  anak  yang  kuat  dan  tegar.  Ia  bisa  menjalani  hidup  dengan  tenang  meskipun  harus  meninggalkan  rumah  dan  hidup  di  kota  yang  baru.

"Kenapa mama?"  tanya Keenan penasaran.

"Gapapa, abisnya Naan serius banget si," Zeandra  mencoba  menghilangkan  rasa  kecewa  yang  menyerang  hatinya.

"Iya lagi nonton pololo," jawab Keenan sambil menunjuk tabletnya,  "Mama mau nonton?"

Zeandra tertawa lembut,  mencoba  menghilangkan  rasa  sedih  yang  menyeruak  di  hatinya.  Ia  menoleh  ke  arah  depan,  menatap  jalan  yang  sudah  sedikit  melenggang.

"Kita  mau  ke  rumah  Mama  Farah,"  kata Zeandra.

"Ah  iya  Mama?"  tanya Keenan,  matanya  bersinar  ceria.

"Iya  dong, nanti  Nan  doain  ya  Mama  Farah,"  kata Zeandra,  menatap  Keenan  dengan  tatapan  yang  penuh  cinta.

"Doanya  gimana?"  Keenan  bertanya  lagi,  suaranya  penuh  rasa  ingin  tahu.

"Doain  biar  Mamah  Farah  dijaga  sama  Allah  di  sana,  biar  Mama  Farah  di  sana  bahagia  selalu,"  Zeandra  menjelaskan  dengan  suara  yang  lembut.

"Okey  deh,"  Keenan  menjawab  sambil  mengangguk  dan  mengangkat  jari  jempolnya.

Zeandra tersenyum melihat Keenan yang begitu polos dan lugu.  Ia merasa sedikit lega melihat Keenan yang begitu tenang dan  bisa  memahami  situasi  saat  ini.  Ia  mencoba  fokus  pada  perjalanan  dan  mencoba  menyingkirkan  pikiran  negatif  yang  menyerang  pikirannya.

A Journey Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang