Sejak hubungan mereka menjadi rumit akibat perjodohan dan kehadiran Sowon, Jeonghan berusaha keras mempertahankan jarak emosional. Mereka pernah sepakat mengakhiri “permainan” yang mereka mulai dengan segenap aturan dan batasannya. Namun, sepertinya Seungcheol tidak benar-benar memahami kata “berhenti.” Jeonghan merasa kebingungan, karena segala bentuk perhatian dan pendekatan dari Seungcheol terus datang silih berganti. Mulai dari makanan kecil yang selalu diantarkan ke kantornya, pesan singkat yang dititipkan melalui asistennya, hingga barang-barang kecil yang menunjukkan perhatian dan rasa peduli yang terkesan berlebihan.
Satu hari, Donghyun mengetuk pintu ruangannya, membuka pintu sambil membawa kotak makanan lagi. Jeonghan menatap kotak itu dengan sorot tak percaya. Ini mungkin sudah yang kelima atau keenam kalinya dalam dua minggu terakhir. Di balik ekspresi tenangnya, ia merasa sedikit jengah dan terganggu.
“Pak Yoon,” sapa Donghyun dengan nada formal. “Wakil Direktur Choi menitipkan ini untuk Anda, dengan pesan agar Anda tidak melewatkan makan siang.”
Jeonghan menatap kotak di tangan Donghyun, lalu mendesah dengan perasaan yang semakin sulit ia jelaskan. “Lagi, Donghyun?” gumamnya pelan, meski suaranya terdengar penuh kekesalan yang tertahan.
Donghyun mengangguk singkat. “Benar, Pak Yoon. Ini sudah beberapa kali… mungkin Pak Choi benar-benar ingin Anda menjaga kesehatan,” jawabnya, tetap menggunakan nada formal dan hormat.
Jeonghan mengamati kotak makanan itu sekali lagi. Dia tahu, ini bukan sekadar kotak makanan biasa; isinya sering kali adalah makanan favoritnya, yang tidak banyak diketahui orang. Seungcheol mengenalinya begitu baik, hingga setiap pilihan makanan terasa personal dan menunjukkan perhatian yang jauh dari sekadar formalitas atau basa-basi.
“Letakkan saja di sini, Donghyun,” katanya singkat, masih dengan nada datar.
Donghyun membungkuk, lalu dengan hati-hati meletakkan kotak itu di meja kerja Jeonghan. Sebelum berbalik untuk pergi, ia menatap sejenak pada bosnya yang terlihat sedikit tidak nyaman. Namun, sebagai asisten profesional, ia tak berani menanyakan lebih jauh dan memilih meninggalkan ruangan tanpa kata.
Ketika pintu tertutup dan ruangan kembali sunyi, Jeonghan menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memijat pelipisnya. Selama ini, ia berhasil menepis rasa canggung dengan bekerja keras, menyibukkan diri, dan menjaga jarak. Tapi Seungcheol seakan terus berusaha mendekat, menembus semua benteng yang Jeonghan bangun di antara mereka.
Saat jam makan siang tiba, Jeonghan menatap kotak makanan itu untuk beberapa lama sebelum akhirnya mengalah dan membukanya. Isinya rapi dan tampak lezat, persis seperti makanan yang biasanya ia nikmati di restoran mewah. Sambil menghela napas panjang, ia mulai makan perlahan, memikirkan bagaimana semua perhatian ini hanya menambah kebingungannya. Di satu sisi, ia merasa tersentuh, tetapi di sisi lain, setiap suapan makanan terasa seperti pengingat yang menyakitkan—bahwa apa pun bentuk perhatian ini, mereka tidak bisa kembali ke status quo yang lama.
---
Beberapa hari berikutnya, perhatian-perhatian itu terus datang. Seungcheol tak lagi menanyakan apakah Jeonghan ingin bertemu atau tidak; ia hanya terus melakukan tindakan-tindakan kecil yang pada akhirnya menjadi bagian dari rutinitas harian Jeonghan, baik ia suka atau tidak. Donghyun, yang selalu berada di antara mereka, kadang hanya bisa menggeleng pelan ketika setiap hari ia diminta Seungcheol untuk mengantarkan hal-hal kecil, mulai dari payung baru untuk menghadapi musim hujan, hingga pena eksklusif yang entah bagaimana ia tahu merupakan favorit Jeonghan.
Ketika akhirnya mereka bertemu dalam sebuah rapat bisnis gabungan perusahaan keluarga mereka, Jeonghan merasakan kehadiran Seungcheol yang begitu nyata. Meski ada pertemuan besar yang harus dihadiri bersama, perhatian Seungcheol tidak hilang begitu saja; dalam momen singkat di sela rapat, ia bahkan sempat berkata, “Kau harus istirahat setelah ini, Jeonghan.” Ucapan singkat itu diucapkan begitu biasa, seakan bukan hal besar. Tapi di balik sikap tenang Seungcheol, ada ketulusan yang sulit Jeonghan abaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]
FanfictionSeungcheol baru saja kembali dari Berlin setelah belasan tahun tidak menginjak kampung halamannya, tetapi baru saja satu minggu berada disana, ia harus menghadapi perjodohan dengan teman masa kecilnya, Jeonghan. Bussiness partner. Love & Hate Rela...