Bab 4. Menuju Rumah

277 62 0
                                    

Berurusan dengan orang kaya kadang selalu berakhir dengan runyam.

Freya selalu mencoba untuk menghindari masalah dengan orang-orang seperti itu. Dirinya yang miskin dan tak punya banyak uang hanya akan mempersulit hidup—yang susah tambah susah.

Tapi, apa Freya mengharapkan hidup seperti ini?

Sejauh dari dalam hatinya mengatakan tidak dengan tegas.

Siapa juga yang mau hidup dengan serba kekurangan dan kesusahan? Semua orang pasti ingin hidup enak, serba berkecukupan dan banyak uang. Hanya orang tidak normal yang menginginkan hidup susah. Dan Freya yakin hanya nol koma persen saja di dunia ini yang menginginkan hidup susah.

Freya tinggal bersama neneknya di perumahan sederhana di daerah pinggiran ibukota. Hanya berdua. Tidak siapa pun.

Neneknya sudah tua, berambut putih dengan kulit berkeriput. Masa masa lansia seperti itu harusnya dihabiskan dengan santai tanpa banyak pikiran. Namun, nenek Freya dipaksa untuk mengerti keadaan.

Di umurnya yang ke-73 tahun, nenek Freya bekerja sebagai penatu milik bibi Stella—tetangga beda kompleknya. Dari uang hasil itu juga Freya dan neneknya bisa makan sehari-hari.

Freya memang miskin, tapi tetap pernah merasakan mengenyam pendidikan, walau hanya sampai jenjang putih abu-abu. Dia tidak kuliah, alasannya tidak ada biaya dan tak ingin merepotkan neneknya lagi.

Maka dari itu, lima tahun yang lalu, saat umurnya dua puluh tiga, dia memutuskan melamar pekerjaan di minimarket 24 jam yang sedang mencari seorang kasir. Freya pun meninggalkan segala pekerjaan serabutannya tuk fokus pada satu pekerjaan. Sekaligus membantu keuangan neneknya, pikirnya mungkin sudah saatnya dia yang bertugas mencari uang, bukan neneknya lagi yang sudah dimakan umur.

Neneknya pun sekarang hanya berkebun di belakang rumah. Tidak besar, tetapi untuk ditanami beberapa sayuran sudah terbilang cukup.

Sore hari pun tiba.

Freya sedang bersiap-siap di ruang ganti. Ella pun muncul dari balik pintu, wajahnya segar sehabis cuci muka.

"Kak Freya, pulang bareng, ya?" ajaknya.

"Maaf, Lla, tapi aku nggak bisa," tolak Freya tanpa berpaling dari tasnya. "Aku ada urusan"

"Urusan apa?" tanya Ella, tak biasanya senior kerjanya itu punya urusan sehabis bekerja. Selalunya kan langsung pulang ke rumah.

"Ada"

Freya langsung berjalan keluar tanpa memperdulikan Ella yang histeris minta penjelasan. Gadis itu selalu kepo dengan urusan Freya.

Sore itu mendung. Langit ibukota gelap dengan angin sepoi disertai daun yang berguguran. Freya berhenti di depan minimarket, tolah-toleh dan memutuskan duduk di tempat duduk yang memang disediakan minimarket untuk para pelanggan.

Dia sedang menunggu Marsha, yang katanya mau menjemputnya.

Tapi, sosok tinggi berparas ayu datar itu tak kunjung datang.

Freya membuka ponsel. Berniat menelpon atau mengabari lewat pesan, namun langsung menepuk jidat. Dia belum bertukar no pada Marsha. Bagaimana cara dia menghubunginya kalau tak punya no tuju?

si Cantik milik si CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang