Bab 13

284 65 2
                                    









Eunchae memberanikan diri mendekat, perlahan menepuk pundak Canny. "Canny... kamu masih punya kami, aku, Yunjin, dan Sakuya. Kami akan selalu ada buat kamu," bisiknya lembut, mencoba menguatkan sahabatnya.

"Kita tahu ini berat, Canny, tapi... kamu tidak sendiri." timpal Yunjin dengan suara lembut.

Canny mengangkat wajahnya yang sembab, matanya kosong, tanpa harapan. "Kalian tidak akan mengerti... Tidak ada yang akan mengerti..." gumamnya lirih

Ella yang berdiri di belakang Canny hanya bisa menatap dan menggigit bibirnya, merasa begitu frustasi karena tidak bisa melakukan apa-apa. "Canny... aku tidak bisa melihatmu seperti ini, hatiku rasanya sakit." gumam Ella, hatinya turut merasakan kepedihan yang di rasakan oleh Canny.

Ella mendekat dengan hati-hati, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Canny, kami mungkin tidak akan pernah mengerti apa yang saat ini kamu alami, kita semua akan selalu ada buat kamu. Jangan pernah merasa sendiri."

Canny menatap sejenak, matanya yang sembab menandakan betapa dalam luka hatinya. Ia tak menjawab, namun kata-kata Ella sejenak menembus dinding kesedihannya yang begitu tebal, memberi sedikit penghiburan di tengah rasa hancur yang ia rasakan.



Dari kejauhan, Jennie berdiri di balik pohon besar yang tidak jauh dari pemakaman, wajahnya diselimuti kesedihan yang mendalam. Matanya tak lepas memandang Canny, putri bungsunya yang selama ini ia abaikan. Sesak memenuhi dadanya saat melihat bagaiman Canny, yang begitu kecil dan rapuh, kini harus menghadapi kehilangan yang sangat besar tanpa dukungan darinya.

"Canny putriku... yang seharusnya aku jaga. Apa yang sudah aku lakukan?" Pikirnya, perasaan bersalah berputar di dalam hatinya. Namun, di saat bersamaan, ia merasa terperangkap dalam ketakutan dan keegoisan yang masih melekat kuat.

Ia melirik Sehun, suaminya, yang berdiri tak jauh dari keenam putrinya. Sehun hanya tahu sebagian dari masa lalunya--dan Jennie berusaha keras agar rahasia tentang Canny dan mantan suaminya tetap terkubur. Selama ini Sehun hanya mengetahui Jennie memiliki enam orang putri dan mantan suaminya adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam hati, ia sadar bahwa pilihan-pilihan yang dulu ia buat kini telah menyakitkan anak-anaknya, terutama Canny dan mantan suaminya. Tapi ketakutan untuk mengungkapkan kebenaran lebih kuat dari keinginannya untuk memperbaiki keadaan.

"Sehun tidak boleh tahu," batinnya, meremas jemarinya sendiri. Ia tahu, untuk saat ini, kehadirannya hanya akan memperburuk keadaan. "Maafkan bunda, Canny..." Bisiknya dalam hati, namun langkah tetap terpaku di tempat.





Setelah acara pemakaman selesai dan orang-orang mulai membubarkan diri, Canny tetap berdiri di dekat makam ayahnya, dengan tatapan kosong yang penuh kesedihan. Teman-temannya berdiri di sekitar Canny, berbagi keheningan yang hening namun penuh arti. Mereka saling pandang, merasa sulit meninggalkan Canny dalam kondisi seperti ini.

"Daddy, bolehkah kami menemani Canny lebih lama?" tanya salah satu dari mereka kepada orang tuanya, memohon izin agar mereka bisa tetap berada di sisi Canny. Satu per satu, orang tua teman-temannya mengangguk, mengizinkan anak-anak mereka untuk bersama Canny dalam masa berdukanya.

Di sisi lain Ella dengan hati-hati mendekati Sehun yang sedang bersiap-siap untuk pergi. "Papa, bolehkah aku tetap di sini bersama Canny? Aku merasa tidak bisa meninggalkannya sekarang," ucap Ella, suaranya bergetar penuh empati.

Sehun memandang putrinya sejenak. merasakan kasih sayang Ella yang tulus. Ia mengangguk pelan. "Baiklah, Ella. Temani dia, tapi jangan terlalu larut," kata Sehun lembut, lalu menepuk bahu putrinya sebagai tanda persetujuan.

Setelah mengizinkan Ella, Sehun mengajak keenam anak tirinya untuk pulang bersama. Ruka, Pharita, Asa, Ahyeon, Rami, dan Rora mengikuti langkahnya dengan wajah-wajah penuh kebingungan dan kesedihan. Saat berjalan menuju mobil, tanpa sengaja Sehun melihat ke arah pohon besar di kejauhan dan menangkap pemandangan istrinya yang berdiri diam di baliknya. Pandangan istrinya terfokus ke arah makam, dan Sehun menangkap bayangan perasaan yang sulit dijelaskan di wajahnya.

"Apa yang sedang Jennie lakukan di sana? Mengapa dia tampak begitu... terpaku? Batin Sehun, ia merasa semakin bingung.

.

.

.

.

.

.

Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil terasa sangat hening. Keenam kakak Canny duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, seolah membawa beban emosional yang tak terucapkan. Sehun mulai merasa aneh melihat ekspresi mereka yang kosong dan muram, sesuatu yang selama ini jarang ia lihat.

Tak tahan dengan suasana hening, Sehun akhirnya membuka suara. "Kalian semua tampak murung... Ada sesuatu yang ingin kalian ceritakan?"

Keenam anak tirinya hanya saling pandang, tampak ragu-ragu. Akhirnya, Ruka, yang paling tua di antara mereka, menjawab seadanya, menjaga suasananya tetap datar. "Kami hanya merasa sedih melihat kondisi teman Ella, Pa," jawabnya dengan nada yang datar berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Namun, Sehun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. "Hanya itu saja?" tanyanya lagi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Ruka menunduk, berusaha mengendalikan perasaannya yang bergejolak. "Ya, hanya itu, Pa. Tidak ada yang perlu di khawatirkan," katanya sambil mengalihkan pandanganya ke luar jendela.

Meskipun Sehun berusaha untuk tidak memikirkan lebih lanjut, rasa penasaran tetap menggelayuti pikirannya. Dia merasa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh keenam anak tirinya, namun untuk saat ini, ia memilih untuk menunggu.

.

.

.

.

.

.

Setelah semua orang mulai meninggalkan pemakaman, Canny tetap berdiri di tempatnya, memandangi makam ayahnya dengan tatapan kosong. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Orang yang selalu menjadi sandaran hidupnya kini pergi untuk selamanya, meninggalkannya dalam sepi yang tak terkatakan. Rasa kehilangan itu menenggelamkannya begitu dalam hingga sulit baginya untuk mengerti apa yang masih tersisa dalam hidupnya.

Eunchae, Yunjin, Sakuya, dan Ella hanya bisa berdiri di dekat Canny, menyaksikan temannya yang begitu hancur. Wajah mereka diliputi kekhawatiran, namun mereka tidak tahu harus berkata apa untuk menghiburnya. Mereka merasa kesedihan Canny terlalu dalam untuk bisa mereka pahami sepenuhnya.

Dengan suara serak, Canny mulai meracau, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. "Kenapa... kenapa semua orang pergi meninggalkanku?" suaranya terdengar parau, hampir seperti bisikan, namun cukup bagi teman-temannya untuk mendengar. "Ayah... bunda... kakak-kakakku... semua pergi. Tidak ada yang menginginkanku... tidak ada yang perduli..."

Canny semakin tenggelam dalam kesedihannya, seolah tak sadar pada lingkungan sekitarnya. "Aku sendirian... tidak ada yang menginginkanku... semua sudah pergi..." lanjutnya, air matanya terus mengalir tanpa henti.

"Eunchae, kita harus lakukan sesuatu," bisik Yunjin, suaranya terdengar cemas. Eunchae hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kondisi Canny.

"Canny, kamu tidak sendiri," kata Sakuya sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu temannya. "Kami di sini bersamamu."

Namun, Canny tampaknya tak mendengar apa pun. Raut wajahnya semakin lelah, kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin lirih. "Aku lelah... aku sudah tak kuat lagi... semuanya pergi..."

Tiba-tiba, tubuh Canny melemas, dan ia jatuh tak sadarkan diri. Semua orang di sekitarnya tersentak, terutama Ella yang langsung berteriak, "Canny!"

Eunchae, Yunjin, dan Sakuya segera membungkuk, mencoba membangunkan Canny. "Canny! Sadar, Canny!" seru Yunjin, dengan wajah penuh kepanikan.

Ketika Canny jatuh tak sadarkan diri, Eunchae, Yunjin, dan Sakuya panik berusaha membangunkannya. Wajah mereka penuh kecemasan, dan Ella, yang juga terkejut langsung merogoh ponselnya, hendak menelpon seseorang untuk meminta bantuan.

Namun, sebelum Ella sempat menelpon, terdengar suara langkah kaki mendekat dengan cepat.












Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang