Ternyata hari Jumat merupakan jadwal piket harian si dia. Pantas saja ia sudah terlihat menyapu bagian depan koridor kelas setibanya aku di sekolah. Apa dia berangkat lebih awal dibanding kemarin? Berarti dengan kata lain, ia rela membersihkan kelas sebelum yang lainnya datang, sendirian? Ini sungguh di luar dugaan. Bahkan aku harus bersaing dalam hal datang-lebih-awal-untuk-piket? Daya saingku mulai merosot dengan mengetahui hal ini.
Lupakan sejenak pikiran-pikiran itu karena hari ini guru bahasa Sunda sekaligus wali kelasku memberi tugas untuk membuat sinopsis dan parafrase dari cerita daerah Jawa Barat yang harus diterjemahkan terlebih dahulu. Selain itu, kita juga harus menceritakannya di depan kelas. Rasa pusing akibat merangkai kata-kata yang padu serta rasa gugup karena takut tersendat bercampur aduk membuyarkan konsentrasi.
Akhirnya, seorang teman bersepakat untuk bersama-sama menghapalkan cerita sambil berjalan mondar-mandir dari ujung koridor kelas 1 hingga kantor guru. Kebetulan bentuk sekolah kami memang memanjang. Sewaktu kami ingin memulai, ternyata dua meter dari titik kami berdiri terlihat ada dirinya yang sedang bersenda gurau bersama teman-teman. Raut wajah mereka nampak begitu santai menghadapi tugas ini.
And that's where the story begins.
Ketika aku mencoba mengingat sebuah penggalan cerita Dayang Sumbi, saat itu pula kami berjalan tepat di hadapan dia dan ketiga temannya yang sedang duduk santai. Sial. Kenapa aku harus lupa saat itu juga! Akhirnya, aku bertanya pada temanku.
"Ehm...Dayang Sumbi meminta...apa tuh?"
Belum sempat temanku menjawab, ada jawaban ter-tak-diharapkan yang terlontar dari kalian-tahu-siapa. (meminjam istilah dari novel Harry Potter, agar terkesan antagonis)
"Minta duit!!! HAHAHAHHAHAHAHAH!!"
Kaget sumpah. Aku terkejut mendengar anak itu langsung menjawab dan tidak lupa untuk tertawa semerdekanya bersama teman-teman. Bahkan suara tawa yang heboh itu semakin merambat ke penjuru koridor ketika mereka mengetahui aku hanya bisa terdiam dan merengut. Ah, this sudden attack. Aku belum terlatih untuk melawan hal ini. Sialnya.
Temanku sempat bertanya, "Kenapa, Des? Kok mukanya jadi cemberut gitu?"
Berusaha menghiraukan guyonan para lelaki itu lalu kujawab, "Enggak tau, qi. Lanjut aja yuk."
Di samping itu semua, aku menemukan suatu fakta bahwa semakin hari tingkahnya semakin janggal saja. Apakah ini merupakan bentuk kesengajaan? Sikapnya bagai permainan puzzle yang biasa kubeli di kantin sekolah. Akan tetapi, ini tidak pernah berhasil kususun ulang. Mungkin lebih mirip permainan rubik? Satu hal yang pasti, aku tidak pandai memainkannya.
Siangnya aku pulang sedikit terlambat karena menunggu kedua teman yang dapat kuajak pulang bersama. Saking bosannya, kuhabiskan uang yang kutemukan di dalam kantong seragam (Alhamdulillah! Praise the Lord!) untuk membeli sekedar makanan kecil. Meski matahari sudah hampir menyejajarkan bayangan pepohonan yang kutemui di jalan, teman-temanku tak kunjung menghampiri. Jika saja kuletakkan kaca pembesar tepat di ubun-ubunku, pasti aku sudah berubah menjadi salah satu tokoh kartun Dragon Ball dan bersiap mengeluarkan jurus kameha-meha.
Siang itu aku pulang sendirian. Lebih tepatnya ditemani makanan kecil berbentuk silinder yang berisi cokelat yang kenikmatannya hanya tinggal seujung ruas jari kelingking. Kelaparan di tengah hamparan aspal itu sangat menyiksa. Pemandangan yang terlihat menjadi kesatuan fatamorgana. Apa pria yang berjalan tak jauh dari pandanganku juga termasuk ke dalamnya?
Mengetahui keberadaannya menarik pikiranku kembali pada kejadian di sekolah tadi. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa bertindak seperti tak ada yang terjadi. Tetapi, suara itu memecah kedamaian yang berusaha kuciptakan.
"Masih jaman pulang jam segini?"
Aku yang tak pernah tidak canggung di hadapannya menjadi semakin bingung untuk menjawab basa-basi itu. Pada akhirnya aku hanya bisa mengerutkan dahi seraya diam di tempat. I wanted to punch an enormous question mark on him. BANG!
***
Selama dua hari ini ia sudah berani mengajakku berbicara meskipun cenderung mengajak tawuran. Ehm. Perilaku anehnya ini justru membuatku bingung dan menekan perasaan bersalahku. Terang saja aku sedikit menyesali sikapku karena tidak bisa memanfaatkan kesempatan dengan baik. Misalnya, ikut tertawa atau membalas sindirannya. Toh, a single smile can attack enemies, right? Setidaknya itu juga dapat menunjukkan situasi semua hal tetap berjalan seperti sebelum ia mengetahui bahwa aku menyukainya.
Sayang sekali aku terlalu normal. Aku sangat bermasalah dengan sikap yang bisa berubah tiba-tiba menjadi canggung dan sifat tidak peka terhadap perasaan orang lain. Hal ini justru mengubahku menjadi pribadi mudah simpati dan terlalu mementingkan perasaan orang lain ketimbang diri sendiri di kemudian hari. Aku harus banyak belajar memahami emosi dan bersikap terbuka. Siapa tahu dengan berbagi, aku juga bisa mendapat ilmu lebih melalui pandangan atau pendapat lawan bicara. Terlebih aku ingin kita saling bersikap terbuka, tetangga.
Kalau kau seperti ini terus, bisa-bisa aku semakin takut untuk membuka jalan kepadamu. Sebenarnya kau membiarkanku menyimpan perasaan ini atau ingin aku segera menyudahinya? Apa yang seharusnya kulakukan? Aku ingin menyimpannya tetapi apa aku mampu menerima segala risiko? Aku juga tak mau egois tetapi aku masih belum tahu cara mengakhiri semua.
Semakin jarak itu lambat terkikis, selama itu pula aku menahan rasa ini
Semakin jarak itu kubuat, sejauh itu pula aku belajar meredam penyesalan
Tuhan, jika kau ijinkan aku untuk lebih dekat, dekatkanlah
Jika belum ada kepantasan, maka lenyapkanlah, batasi aku dengan jarak yang tak menentu.
Sikap yang akhir-akhir ini ia tunjukkan, apakah merupakan pertanda akan adanya perpisahan dalam waktu dekat? Kalau saja dugaanku benar, ini tidak akan menjadi suatu kejutan bagiku, bukan? Jika benar terjadi, berarti Tuhan memberiku waktu untuk memantaskan diri. Aku harus menghadapi segala kemungkinan yang akanterjadi. Keberadaan waktu yang dinamis menuntunku untuk tidak mencari sosoknya yang lama karena lambat laun semua akan mengalami perubahan dan menyadarkanku untuk tidak terlalu lama berdiam di tempat yang sama. Kuharap ini merupakan bagian dari hal yang lebih baik di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Pain
No FicciónMengenai pertemuanku dengan anak baru itu sungguh tidak akan berbuntut panjang jika aku lebih dulu mengakhiri semuanya. Mungkin aneh jika kubilang ini sudah tujuh tahun semenjak hari itu. Tetapi, apa boleh dikata kalau memang sudah terlanjur hingga...