Tiba-tiba Jennie muncul di hadapan mereka dengan wajah pucat dan panik, melihat kondisi Canny yang terbaring tak sadarkan diri. Napasnya sedikit terengah saat ia segera mendekat ke arah mereka.
"Ella! Apa yang terjadi? Kenapa Canny bisa seperti ini?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kecemasan yang mendalam.
Ella tersentak melihat kehadiran Jennie, bingung dan terkejut kenapa Jennie bisa berada di sini. Namun, melihat kondisi Canny yang semakin memprihatinkan, ia tidak sempat memikirkan pertanyaan itu lebih lama.
Tanpa menunggu jawaban, Jennie segera berlutut memeriksa keadaan Canny. "Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. Ella, bantu mama!" ujarnya dengan nada mendesak.
Ella segera mengangguk, dan bersama teman-temannya, mereka berusaha membantu mengangkat tubuh Canny yang lemah. Dengan sigap, Jennie memimpin mereka menuju mobilnya yang di parkir tak jauh dari pemakaman, sementara Ella dan teman-temannya dengan hati-hati membawa Canny ke dalam mobil.
Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana dalam mobil di penuhi ketegangan dan kecemasan. Jennie tampak sesekali melirik Canny melalui kaca spion, sementara Ella duduk memangku kepala Canny yang masih tak sadarkan diri. Pandangannya penuh kekhawatiran, namun ada tanda-tanda yang terselip di wajahnya tentang bagaimana Jennie bisa tiba-tiba berada di tempat ini di saat-saat genting seperti ini.
.
.
.
.
.
.
Rumah sakit...
Di ruang tunggu rumah sakit, suasana terasa penuh ketegangan. Ella duduk di antara teman-temannya, mengawasi pintu ruangan tempat dokter yang sedang memeriksa Canny. Jennie duduk sedikit berjauhan, tampak termenung sambil sesekali melirik ke arah Ella. Ella memandangi Jennie dengan tatapan penuh tanda tanya. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya bagaimana mungkin mamanya bisa berada di pemakaman tepat saat Canny pingsan. Ia mencoba mencari jawaban dari ekspresi ibunya, tetapi hanya menemukan raut wajah tenang yang misterius.
Ella mendekati Jennie dan dengan suara berbisik bertanya, "kenapa mama bisa ada di pemakaman tadi? Bagaimana bisa muncul di waktu yang pas?"
Jennie tersenyum kecil dan hendak menjawab, namun pada saat itu, dokter keluar dari ruangan Canny, dan semua perhatian mereka segera beralih. Dokter tersebut menjelaskan, "Kondisi pasien stabil, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Dia tampaknya hanya kelelahan. Namun, tolong jaga agar tidak terlalu stres. Kondisi mentalnya mungkin berpengaruh pada fisiknya."
Ella mengangguk penuh syukur, lalu langsung menuju ruangan tempat Canny, bersama teman-temannya, sementara Jennie tetap duduk di luar. Ella merasa ada yang aneh, tetapi pikirannya terlalu dipenuhi kekhawatiran untuk memikirkan lebih jauh. Saat Ella dan teman-temannya masuk, mereka melihat Canny yang masih terbaring lemah. Ella mendekati Canny dengan lembut, memastikan Canny baik-baik saja.
Sementara di luar, Jennie duduk dengan sendirian. Pandangannya kosong tetapi dalam benaknya, bayangan masa lalu--kenangan tentang Canny kecil di usia tiga tahun. Wajah kecil yang selalu ingin bersamanya, memegang tangannya dengan erat dan menatapnya penuh kasih. Ia teringat bagaimana Canny kecil tidak pernah mau jauh darinya, selalu mencari kehangatan dalam pelukannya.
Flashback on
Jennie berjongkok di depan Canny, menangkup kedua pipi chubby-nya dengan lembut, penuh kasih sayang. Wajahnya berseri-seri penuh harapan.
"Canny, kalau besar nanti, kamu harus jadi anak yang sukses ya. Membanggakan ayah dan bunda," ujarnya dengan nada penuh cinta.
Canny kecil hanya menatap wajah ibunya dengan mata bulat, belum benar-benar memahami kata-kata itu. Ia malah tertawa gemas saat di perlakukan manis, suara tawanya yang ceria membuat hati Jennie terasa begitu hangat dan damai.
"Canny kesayangan bunda..." katanya pelan, sambil mengusap pipi chubby itu. Saat itu, seluruh dunia terasa begitu sederhana, begitu penuh dengan kebahagiaan hanya karena senyum anak kecil di hadapannya.
Flashback off
Jennie menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan rasa sesak yang kini menggantikan kebahagiaan di dalam hatinya. Kata-katanya dulu terasa seperti janji yang kini menguap bersama keputusan yang telah ia buat. Dia hanya bisa bertanya dalam hatinya, Apakah Canny masih menyimpan kenangan itu? Ataukah senyum kecil itu telah terlupakan seiring dengan waktu dan jarak yang kian memisahkan mereka?
Ia menatap ke arah ruangan tempat Canny dirawat, hatinya bergejolak di antara rasa bersalah dan kerinduan. Meskipun dia tak bisa berada di samping Canny secara langsung, ia berharap anaknya tetap bisa tumbuh menjadi sosok yang kuat dan bahagia, seperti harapannya dulu.
.
.
.
.
.
.
Sehun baru saja tiba di rumah, setelah beberapa waktu lalu keluar, karena setelah mengantar keenam anaknya pulang ke rumah, Sehun sempat keluar lagi untuk bertemu dengan seseorang. Sehun melihat suasana di rumah tampak sepi. Ia tidak melihat keberadaan istrinya, dan ia merasa ada yang aneh. Istrinya selalu ada di rumah, tapi sekarang ia tak terlihat di mana pun. Sehun berjalan ke ruang keluarga, berharap bisa menemukannya, namun tetap tak ada terlihat.
Tiba-tiba, ingatan tentang pemakaman beberapa waktu lalu muncul dalam pikirannya. Ia teringat melihat Istrinya berdiri tak jauh dari sana. Hal itu sempat mencuri perhatiannya saat ia melintas area itu, tapi ia mengabaikannya saat itu juga. Kini, ia mulai merasa ada yang ganjil.
"Di mana dia? gumam Sehun, merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi istrinya. Setelah beberapa detik, istrinya akhirnya mengangkat telepon dengan suara yang sedikit terburu-buru.
📞 Wife♥️
"Iy--iya, sayang? Aa--ada apa?" suara Jennie terdengar gugup, jelas ia merasa terkejut.
"Kenapa kamu tidak ada di rumah? Saya tadi melihat kamu ada di dekat area pemakaman, kamu di mana sekarang?" tanya Sehun dengan nada yang agak mencurigakan, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Jennie terdiam sejenak, pikirannya terpacu mencari jawaban yang tepat. Ia tahu Sehun mulai curiga, dan ia harus berhati-hati. "Aku... aku di rumah sakit," jawabnya, mencoba terdengar natural. "Tadi Ella menghubungiku. Dia panik karena Canny pingsan, jadi aku datang untuk membantu membawa Canny ke rumah sakit."
Sehun mengernyitkan dahi. "Kenapa Ella tidak menghubungi saya saja?" tanya Sehun sedikit bingung, meskipun ia mencoba mengesampingkan rasa curiganya untuk sementara.
Jennie berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Ya, mungkin dia pikir kamu sudah lelah setelah perjalanan jauh bersama anak-anak tadi, jadi aku yang di hubungi Ella."
Sehun terdiam sejenak, merasakan ada yang tidak beres, tetapi ia tidak ingin terburu-buru mencurigai istrinya. "Hmm, Baiklah. Jangan pulang terlalu larut, aku menunggumu di rumah, jaga dirimu dan jaga Ella dengan baik," jawabnya, berusaha tidak menunjukkan kecurigaan lebih lanjut.
Setelah menutup telepon, Sehun masih merasa ada yang ganjil. Meski ia mencoba menenangkan diri, perasaan tidak nyaman terus menghantuinya. Ada sesuatu yang aneh tentang hubungan istrinya dengan anak-anaknya, terutama setelah kejadian tadi di pemakaman. Semua kejadian ini mulai terasa semakin membingungkan, dan Sehun tahu ia harus mencari tahu lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu
AléatoireCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...