“Ma, kenapa sih...?” Salsa berbisik lemah, menatap kosong ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
“Kenapa dia harus pergi sekarang? Kenapa dia ninggalin caca sama Bacil?”
Widya mengelus punggung putrinya pelan, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya sendiri seolah terbelah.
“Sayang, Lian nggak pernah ninggalin kamu. Dia selalu ada di hati kamu, di hati Bacil. Cinta dia nggak akan hilang begitu aja.”
Salsa cuma menggeleng pelan, masih tak bisa menerima kenyataan itu. Rasanya seperti ada yang hilang—bagian dari dirinya yang nggak bisa ia temukan lagi.
“Tapi... caca butuh Lian Ma. Caca nggak tahu gimana ngelewatin hidup tanpa Lian di samping caca. Gimana caranya aku harus kuat?”
“Kamu nggak sendirian, Ca. Ada Bacil, ada mama sama papa. Kita semua di sini buat kamu. Lian pasti pengen kamu kuat... buat anak kamu.”
Salsa menatap bayinya yang tidur di sebelahnya, wajahnya yang polos, tanpa tahu apa yang terjadi. Malika—anaknya yang baru lahir, tapi sudah harus merasakan dunia ini tanpa ayahnya. Rasa sakit itu semakin dalam, semakin menusuk.
“Lian janji, Ma sama caca,” Salsa berkata pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Dia janji nggak akan ninggalin aku. Tapi kenapa dia pergi gitu aja?”
Widya hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya juga teriris. "Kadang, hidup memang nggak adil, Ca. Tapi kamu harus inget satu hal: cinta Lian nggak akan pernah hilang. Kamu dan malika adalah bagian dari dia. Cinta itu nggak akan pernah pudar."
Salsa mengusap wajahnya, mencoba menahan isakan, tapi semuanya terasa sia-sia. Ia merasa seperti dihantam berulang-ulang, tak bisa bangkit. Rasa hampa itu semakin menenggelamkan dirinya.
“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ma. Aku nggak bisa ngadepin ini sendiri.”
Ibunya memeluknya lebih erat lagi, seolah ingin memberikan kekuatan dari tubuhnya. "Kamu nggak sendiri, Ca. Kamu nggak pernah sendiri."
Di luar sana, hujan mulai turun deras, mengguyur bumi dengan dinginnya. Tapi di dalam kamar rumah sakit itu, Salsa hanya bisa merasa lebih dingin dari hujan di luar. Semua terasa hampa, kosong.
Salsa melihat surat itu lagi, membaca kata-kata Lian dalam hati. "Aku cinta banget sama kamu, Ca. Kamu dan Bacil, kalian segalanya buat aku."
Salsa menggigit bibirnya, menahan tangis yang semakin berat. Ia tahu, kata-kata itu adalah yang terakhir. Dan yang bisa ia lakukan hanya merasakan setiap jejak cinta Lian yang masih ada di hatinya.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Salsa menoleh, mengharap melihat Lian datang, tapi yang ada hanya Wisnutama, yang memasuki ruangan dengan wajah penuh kesedihan.
Wisnutama duduk di sebelahnya, menatap Salsa dengan tatapan yang lembut.
“Salsa, kamu harus tahu... Lian nggak pergi begitu aja. Dia selalu ada di sini. Di hati kamu, di setiap langkah kamu, dan di setiap tawa Bacil. Dia akan selalu jadi bagian dari hidup kamu, Ca.”
Salsa menatap ayahnya, tapi ia nggak bisa berkata apa-apa. Hanya ada tangis yang mencekik tenggorokannya. Rasanya terlalu berat. Rasanya, seperti ia harus melewati dunia ini sendirian, tanpa orang yang selama ini ada di sisinya.
“Gimana aku harus lanjut, Pa?” Salsa akhirnya bersuara, suaranya penuh keraguan.
“Aku nggak bisa ngelewatin ini...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Rasa
Hayran KurguDi Jakarta, ada Salsa, seorang psikolog yang nggak cuma cantik, tapi juga pintar banget. Dia dari keluarga terpandang, jadi dari kecil udah dapet pendidikan yang oke punya. Setiap hari, Salsa kerja di rumah sakit, ngebantuin pasien-pasiennya yang pu...