Di tengah hujan badai yang mencekam terlihat seorang wanita berdarah belanda sedang menyusuri jalan setapak, kaki putihnya yang tidak terbalut alas kaki terus berlari tanpa henti. Tersandung bahkan terguling tidak membuat wanita sakit itu menyerah.
Di dalam hatinya tertanam kekecewaan yang merasuk menjadi amarah besar, dan ia bertekad melepaskannya malam ini.
Tungkai jenjangnya kini telah sampai pada pagar rumah yang berdiri kokoh bergaya Eropa. Kepalanya terangkat kaku usai mendengar gemuruh petir yang nyaris menyambarnya.
Dengan napas tersengal-sengal, tangannya lekas mendorong pagar rumah itu hingga menunjukkan presensi sang pria yang tengah berdiri angkuh seperti menunggunya.
Semakin langkah membawanya mendekat menuju pria yang menjadi tujuannya, semakin ia tak mampu lagi melanjutkan. Karena kini manik hijaunya, menangkap sebuah benda asing yang berada di tangan prianya.
Sebuah pistol api siap melobangi tubuhnya. Entah bagian mana yang menjadi sasaran, yang pasti kematiannya telah datang.
"Javian," panggilnya. Dengan jemari terkepal kuat, wanita itu tersenyum hampa manakala pria bernama Javian itu justru semakin menarik pelatuknya.
"Kita bisa mati kapan saja, di mana saja, dan sama siapa saja. Dengan cara mati yang berbeda, dan dengan kehidupan malang mu, siapa yang tahu mati memang lebih baik?" katanya dengan nada dingin.
Alena terdiam beberapa saat, mencoba mencerna ucapan dari prianya. Namun tak lama kemudian ia menangis, tertawa, dan meraung. Semua emosi itu bercampur aduk membentuk sebuah perasaan yang semu. Karena..
Semua orang tahu, sejak beberapa tahun lalu Al divonis mengidap gangguan jiwa.
Javian merasakan kepahitan dari tangisan wanitanya, namun rasa ingin melenyapkannya jauh lebih besar di bandingkan rasa pedulinya. "Kembalilah ke tempat di mana kau di rindukan, karena kelemahan mu tak lagi berguna untukku." Setelah itu dengan kuat pelatuknya ia lepaskan.
DOR
DOR
Dua tembakan dari Javian tepat menembus bahu kanan dan perut wanitanya. Dingin dan kejam itulah gambaran Javian saat ini.
Berbanding terbalik dengan sosok yang tubuhnya kini bersarang peluru yang masih saja mempertahankan senyuman kosong.
"Aku tak berniat menjadi lemah, namun kau patahkan kuatku." Kata Alena saat itu, dengan bercucuran darah di tengah hujan badai yang gelap dan mencekam.
J berdiri, di depan rumah. Melihat, dan mendengar apa yang kekasihnya itu ucapkan.
Setelah itu dengan menahan sesak yang memukul hatinya, Javian berlari memeluk erat tubuh Alena yang terluka.
***
Alena Ottavia Morgana
Javian Roy Boskovic
---
Cuman iseng, kalau sudah merasa aneh akan segera di hapus wkwk
---Mitaladina
KAMU SEDANG MEMBACA
J. untuk Al
Фанфик"Aku tak berniat menjadi lemah, namun kau patahkan kuatku." Kata Alena saat itu, dengan bercucuran darah di tengah hujan badai yang gelap dan mencekam. J berdiri, di depan rumah. Melihat, dan mendengar apa yang kekasihnya itu ucapkan.