Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan jarak antara Jake dan Heeseung terasa semakin jauh. Meski begitu, Heeseung masih berusaha mendekati Jake, mencari celah untuk kembali menjalin hubungan seperti dulu. Namun, setiap kali ia mencoba, ia hanya merasakan dinginnya sikap Jake yang membuatnya semakin putus asa.
Di sisi lain, Jake juga merasa perasaan campur aduk. Ia masih mencintai Sunghoon, tetapi ia tak bisa melupakan luka yang sudah terlanjur mengakar dalam dirinya. Hubungan mereka kini seperti berjalan di atas pecahan kaca, setiap langkah terasa menyakitkan dan penuh kehati-hatian.
Suatu pagi, Jake sedang duduk di kantin bersama teman-temannya Jungwon, Kyujin, dan Sakuya yang mencoba menghiburnya. Mereka selalu berusaha membuat Jake tersenyum, meskipun tahu bahwa luka di hatinya belum benar-benar sembuh.
“Jadi, lo udah mikir mau gimana sama Heeseung?” tanya Jungwon pelan, berusaha untuk tidak terdengar terlalu memaksa.
Jake terdiam sejenak, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. “Gue nggak tahu, Won. Gue ngerasa terlalu banyak hal yang udah rusak di antara kita. Bahkan kalau gue coba maafin dia, gue nggak yakin semuanya bakal balik kayak dulu.”
Kyujin, yang duduk di seberang Jake, mengangguk pelan. “Kadang, kalau udah retak, susah buat nge-rekatin lagi, Jake. Mungkin lo harus mikir tentang diri lo dulu. Kalau lo terus ngasih kesempatan ke orang yang sama, bisa-bisa lo yang terus tersakiti.”
Sakuya menyentuh lengan Jake dengan lembut, menawarkan dukungan tanpa banyak kata. “Lo nggak sendirian, Jake. Kami semua di sini buat lo. Kalau lo butuh waktu buat ngerapihin semuanya, ambil aja. Jangan terlalu terburu-buru.”
Jake tersenyum tipis mendengar dukungan teman-temannya. “Gue bener-bener bersyukur punya kalian semua. Mungkin gue memang harus belajar buat lebih fokus ke diri gue sendiri. Tapi... rasanya tetap berat. Gue masih sayang sama Heeseung, tapi gue nggak bisa terus-terusan ngebiarin diri gue sakit karena dia.”
Suasana obrolan mereka terhenti ketika Sunghoon tiba-tiba muncul di depan meja mereka. Ia tersenyum kecil, terlihat canggung. “Hei, Jake. Boleh gue duduk di sini?”
Jake mengangguk, memberi isyarat bahwa Sunghoon boleh bergabung. “Tentu, duduk aja, Sunghoon.”
Sunghoon langsung mengambil tempat di sebelah Jake, dan para teman Jake segera memberi mereka ruang, meninggalkan mereka berdua untuk mengobrol. Setelah mereka pergi, Sunghoon menatap Jake dengan ekspresi serius, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting.
“Gue denger dari Jungwon, lo masih bingung soal Heeseung,” ujar Sunghoon hati-hati.
Jake mengangguk, matanya tampak lelah. “Iya, gue nggak bisa berhenti mikirin dia, tapi gue juga nggak mau terus-terusan sakit hati.”
Sunghoon menatapnya dengan penuh simpati. “Jake, lo berhak buat bahagia. Gue tahu lo sayang sama dia, tapi kadang kita harus memilih jalan yang bikin kita lebih tenang, meskipun itu sulit.”
Jake merasa hangat mendengar kata-kata Sunghoon. Ada ketenangan yang selalu ia rasakan setiap kali berbicara dengannya, sesuatu yang tidak ia rasakan dari Sunghoon belakangan ini. “Gue tahu, Sunghoon. Gue pengen nyoba buat mikirin kebahagiaan gue sendiri, tapi gue juga takut kehilangan dia sepenuhnya.”
Sunghoon tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Jake sejenak. “Lo nggak perlu buru-buru. Gue bakal selalu ada buat lo, kapan pun lo butuh. Kadang, orang yang tepat buat kita ada di depan mata, tapi kita terlalu fokus sama luka di masa lalu sampai nggak bisa lihat yang sekarang.”
Jake terdiam sejenak, mencerna kata-kata Sunghoon. Ada perasaan aneh yang muncul di dalam hatinya, perasaan nyaman yang perlahan mulai tumbuh. Namun, ia belum siap untuk mengakui apa pun pada dirinya sendiri, terutama karena perasaannya pada Heeseung masih kuat.
---
Di tempat lain, Heeseung sedang berdiri di lorong sekolah, memperhatikan Jake dan Sunghoon dari kejauhan. Ia merasa cemburu melihat kedekatan Jake dengan Sunghoon, apalagi saat ia melihat mereka tertawa bersama. Rasa bersalah dan ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Ia takut kehilangan Jake, namun ia juga sadar bahwa kesalahan-kesalahannya di masa lalu sudah terlalu banyak.
Jeno, yang kebetulan lewat, menyadari ekspresi Heeseung yang terlihat kesal. “Kok ngeliatin Jake sama Sunghoon dari jauh? Lo nggak cemburu, kan?” tanya Jeno dengan nada menggoda, meski ia sebenarnya tahu jawabannya.
Heeseung mendengus pelan. “Lo tau jawabannya, Jeno. Gue... gue cuma nggak tahu lagi harus gimana. Gue sayang sama Jake, tapi gue juga tahu kalau gue udah nyakitin dia. Dan sekarang, dia malah deket sama Sunghoon.”
Jeno memasang ekspresi serius, meski di dalam hatinya ia merasa senang melihat Heeseung kesulitan. Ini adalah celah yang ia tunggu-tunggu untuk bisa merebut perhatian Heeseung. “Kalau lo beneran sayang sama Jake, mungkin lo harus kasih dia ruang. Jangan terus-terusan maksa dia buat balik kalau akhirnya malah nyakitin diri lo sendiri.”
Heeseung terdiam, mempertimbangkan kata-kata Jeno. “Lo mungkin benar, tapi gue nggak bisa nahan diri gue buat nggak mikirin dia. Gue takut kehilangan dia.”
Jeno tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Heeseung. “Lo nggak sendiri, Heeseung. Gue di sini buat lo. Kalau lo butuh temen buat ngobrol atau sekadar ngehibur diri, gue selalu ada.”
Sunghoon mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Jeno. Tanpa ia sadari, perhatian Jeno sebenarnya bukan hanya sebagai teman. Jeno ingin lebih dari sekadar menjadi pendengar bagi Heeseung, dan ia melihat kesempatan ini sebagai jalan untuk mendekatkan diri.
---
Sore harinya, Jake pulang ke rumah dan langsung disambut oleh saudara-saudaranya. Lily dan karina, kedua kakak perempuannya, segera memeluk Jake dan menanyakan kabarnya. Eunwoo dan jiwoong, kedua kakak laki-lakinya, hanya tersenyum hangat dari kejauhan, tahu bahwa Jake sedang dalam kondisi yang sensitif.
“Jadi, gimana kabar sekolah, Jake?” tanya Lily dengan senyum lembut.
Jake menghela napas, menatap keluarganya dengan campuran perasaan lega dan lelah. “Nggak terlalu bagus, Kak. Gue lagi ada masalah sama Heeseung.”
Karina menepuk bahu Jake dengan lembut. “Kamu nggak perlu memaksakan diri, Jake. Kalau memang hubungan itu bikin kamu nggak bahagia, mungkin kamu harus mikir ulang.”
Jiwoong, yang biasanya pendiam, ikut angkat bicara. “Kami semua sayang sama kamu, Jake. Kamu layak untuk bahagia. Jadi jangan pernah ragu buat mengambil keputusan yang menurut kamu terbaik.”
Jake tersenyum, merasa bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Meskipun perasaannya pada Heeseung masih sulit untuk dilepaskan, ia mulai merasa bahwa kebahagiaannya juga penting.
---
TBC
Jake kini berada di persimpangan jalan, dengan dukungan dari teman dan keluarganya. Di sisi lain, Heeseung masih berjuang dengan rasa bersalah dan cemburunya. Bagaimana kelanjutan hubungan mereka di tengah kemunculan Sunghoon dan Jeno yang diam-diam memiliki perasaan terhadap mereka?
Jangan lupa votement nya
KAMU SEDANG MEMBACA
Choices (sungjake) (Heejake)
Historia Cortajake diharuskan memilih lanjut tapi tersakiti atau menyerah.