Setelah percakapan terakhir dengan Heeseung, Jake merasa hidupnya perlahan kembali stabil. Meskipun ada bekas luka di hatinya, ia mulai melihat hari-harinya dari sudut pandang yang berbeda. Kehadiran teman-temannya, terutama Sunghoon, memberikan warna baru dalam hidup Jake. Ia tidak lagi merasa sendirian, bahkan mulai merasakan kebahagiaan yang pernah hilang.
Di sekolah, Jake makin sering bersama Jungwon, Kyujin, dan Sakuya. Mereka sering menghabiskan waktu sepulang sekolah di kafe favorit mereka atau sekadar duduk-duduk di taman belakang sekolah. Kali ini, Sunghoon juga mulai ikut bergabung dalam geng kecil mereka. Semakin hari, Sunghoon menjadi lebih dari sekadar pendengar setia; ia menjadi teman yang selalu siap mendukung Jake kapan saja.
Suatu hari di kafe tempat mereka biasa nongkrong, Sunghoon terlihat lebih perhatian dari biasanya. Ia membantu Jake membawa tas, memesan minuman, dan bahkan memastikan Jake selalu dalam keadaan nyaman.
“Wih, perhatian banget nih, Sunghoon!” canda Kyujin sambil tersenyum menggoda.
Jake hanya tertawa kecil, namun ada rona merah yang tak bisa ia sembunyikan di pipinya. Meski awalnya hanya merasa nyaman berteman, Jake tak bisa menolak bahwa perhatian Sunghoon memberikan perasaan hangat yang berbeda di hatinya.
“Apa gue terlalu perhatian?” tanya Sunghoon sedikit khawatir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Gak, kok. Gue nyaman aja. Justru gue seneng ada lo di sekitar gue, Sunghoon,” jawab Jake, sambil tersenyum manis.
Jawaban Jake membuat Sunghoon tersenyum lebar. Jungwon, Kyujin, dan Sakuya yang duduk di seberang meja hanya saling melirik dan tersenyum penuh arti. Mereka menyadari bahwa mungkin ini adalah langkah baru bagi Jake, sebuah kesempatan untuk membuka hati dan memulai kisah baru yang lebih bahagia.
---
Di sisi lain, Heeseung merasakan kekosongan yang semakin hari semakin besar. Kehilangan Jake telah meninggalkan lubang di hatinya yang sulit diisi oleh apa pun. Jeno sudah tidak lagi bersamanya, dan kini ia benar-benar merasa sendirian. Meski mencoba bersikap biasa, Heeseung tidak bisa menepis rasa sesal yang mendalam.
Suatu sore, Heeseung sedang duduk di bangku taman sekolah sambil menatap langit yang mulai berubah warna. Tanpa ia sadari, Sunghoon datang menghampirinya. Sunghoon sebenarnya merasa enggan, namun ia tahu bahwa Heeseung butuh seseorang untuk bicara.
“Heeseung,” sapa Heeseung pelan.
Heeseung menoleh dan terkejut melihat Sunghoon di sebelahnya. "Sunghoon? Ngapain lo di sini?"
Sunghoon duduk di samping Heeseung, memandangi langit yang sama. “Gue cuma pengen ngobrol. Kayaknya lo lagi banyak pikiran, ya?”
Heeseung terdiam, lalu menghela napas panjang. “Gue gak tahu, Hoon. Gue ngerasa kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup gue.”
“Lo ngomongin Jake, ya?” tebak Sunghoon, langsung to the point.
Heeseung hanya menunduk, mengangguk pelan. “Iya. Gue tau, gue yang bikin dia pergi. Gue gak bisa nyalahin siapa-siapa selain diri gue sendiri.”
Sunghoon menatap Heeseung dengan penuh pengertian. “Gue gak bisa bilang kalau gue paham apa yang lo rasain. Tapi, gue tau satu hal, Heeseung. Jake itu orang yang kuat. Dia sekarang udah mulai bangkit, walau butuh waktu lama.”
Heeseung menatap Sunghoon dengan tatapan kosong, namun ada secercah harapan yang terlihat di matanya. "Menurut lo... gue masih punya kesempatan buat minta maaf sama dia?"
Sunghoon mengangguk pelan. “Minta maaf itu hal yang bisa lo lakukan kapan aja. Tapi, Heeseung, kadang kita harus siap kalau maaf itu gak cukup buat mengembalikan semuanya seperti semula.”
Kata-kata Sunghoon menusuk hati Heeseung, namun ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang harus dihadapinya. Heeseung sadar bahwa mungkin perasaannya tak akan pernah bisa diungkapkan lagi, namun setidaknya ia ingin melihat Jake bahagia, meskipun bukan bersamanya.
---
Di sekolah, hubungan Jake dan Sunghoon semakin dekat. Kehadiran Sunghoon membuat Jake merasa nyaman dan dihargai. Bahkan, lambat laun, Jake mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Suatu hari, sepulang sekolah, Sunghoon menawarkan diri untuk mengantar Jake pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol banyak tentang mimpi dan harapan masing-masing. Sunghoon ternyata memiliki impian untuk melanjutkan kuliah di luar negeri dan mengambil jurusan seni.
“Kenapa seni? Lo kan bisa ngambil jurusan lain yang lebih ‘aman’,” tanya Jake, penasaran.
Sunghoon tersenyum. “Gue selalu suka seni, Jake. Itu cara gue buat ngekspresiin perasaan yang mungkin gak bisa gue ungkapin lewat kata-kata. Lo sendiri punya impian apa?”
Jake terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan itu. “Gue gak tahu. Kadang gue ngerasa gak punya arah yang jelas. Tapi gue pengen hidup bahagia, dan gue pengen bisa bahagiain orang-orang di sekitar gue.”
Sunghoon menatap Jake dengan penuh kelembutan. “Gue yakin lo bisa, Jake. Lo orang yang penuh kasih, dan itu bikin lo istimewa.”
Jake terkejut mendengar kata-kata Sunghoon, namun ia merasa bahagia. Perasaan yang dulu sempat hancur perlahan kembali bersemi, kali ini dengan seseorang yang mungkin bisa memberikan cinta yang tulus.
---
Namun, kebahagiaan Jake tidak sepenuhnya bebas dari keraguan. Di lubuk hatinya, masih tersisa rasa takut bahwa ia akan terluka lagi. Namun, bersama Sunghoon, Jake belajar untuk membiarkan hatinya sembuh perlahan.
Di sisi lain, Heeseung semakin tenggelam dalam perasaan penyesalan yang tak berujung. Meski berusaha untuk melupakan, bayangan Jake tetap menghantui setiap langkahnya. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu saat, ia akan mampu melepaskan semua perasaan ini dan menemukan ketenangan dalam dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choices (sungjake) (Heejake)
Nouvellesjake diharuskan memilih lanjut tapi tersakiti atau menyerah.