Bagaimana Esok?

22 2 0
                                    

Author : ISTIANA

Malam ini hujan tampak membasahi bumi, disertai petir yang menggelegar membuat seorang gadis semakin menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Sudah larut, namun ia tidak bisa tertidur. Mencoba menutup mata, namun kembali terbuka tatkala petir kembali menyapa. Ah ia rasa malam ini ia akan tidur setelah hujan dan petirnya berhenti.
Menyibak selimutnya, gadis tersebut berjalan menuju jendela kamarnya. Menyibak gorden, lalu menatap dalam awan yang gelap diatas sana.
"Huft, ngantuk tapi petirnya belum reda gimana dong" Lirihnya sambil melirik jam dinding di samping lemari kamar nya.
Jam sudah menunjukkan angka 3, namun belum ada tanda-tanda petir mereda, mau tidak mau ia harus memaksakan diri untuk tidur.

***
Tok tok tok
"Zara bangun" Teriak seorang wanita paruh baya sambil mengetuk pintu
Tak mendengar sahutan sang anak, orang tersebut kembali berteriak  "Zara udah jam setengah tujuh"

Sementara orang yang dipanggil-panggil mulai terusik dari tidurnya.
Enghh...
"Iya Bu" Balas Zara sambil merenggangkan otot-ototnya
Zara mulai bangkit dari ranjangnya, lalu berjalan menuju kamar mandi guna bersiap pergi ke sekolah

***
Sepertinya hari ini Dewi Fortuna tidak berpihak pada Zara, terbukti saat ini Zara tengah di hukum hormat pada bendera di tengah teriknya matahari. Ya! Zara telat
"Panas banget astaga" Ucap Zara sambil menyeka keringatnya
"Kenapa? Panas? Makanya jangan datang terlambat Zara!" Sahut guru BK yang terkenal killer itu dengan nada membentak. Hei seluruh siswa-siswa bahkan tidak ingin mencari masalah dengan guru killer ini, siapa coba yang mau dipermalukan seperti Zara saat ini? Dibentak di hadapan banyak orang.
"Kalian yang lain juga, kalian gak kasian sama orang tua kalian yang udah banting tulang demi nyekolahin kalian hah? Muak saya melihat anak berandal kayak kalian semua, sudah diberi nasihat tetap saja dilakukan" Ucap guru BK tersebut dengan nada tidak ramah
Zara ingin protes, tidak tau kah guru tersebut bahwa Zara telat karena mengerjakan PR yang bejibun itu? Tidak taukah guru tersebut bahwa ia bisa tidur jam setengah 4 pagi? Tidak taukah guru tersebut bahwa Zara tidak bisa kertidur apabila ada petir? Namun, mendengar kata orang tua, membuat Zara mengurukan niatnya dan malah terdiam seribu bahasa

***
Semilir angin menerpa wajah Zara dan membuat hijab yang di pakainya bergerak mengikuti arah angin tersebut. Suara ombak yang sangat menenangkan ditambah matahari mulai menenggelamkan dirinya di ufuk barat menghasilkan warna awan yang sangat indah membuat Zara memejamkan matanya sejenak.
Sudah bisa ditebak saat ini Zara dimana? Ya Zara berada di pantai. Bagi Zara, pantai bukan hanya sekedar hamparan laut yang terdapat banyak biota di dalamnya. Namun, bagi Zara pantai lebih dari sempurna. Apalagi jika ia mengunjungi pantai di jam-jam seperti ini. Jam 5 sore, yang artinya sudah 2 jam Zara berada di pantai setelah jam pelajaran berakhir.
Pantai itu menenangkan. Membuat seluruh beban Zara rasanya hilang seketika. Pantai dengan suara deburan ombaknya, dengan anginnya yang menenangkan, pun dengan sunset nya. Kalau bisa, Zara tidak akan pulang dari tempat ini. Tapi tidak mungkin dan mustahil itu terjadi.

Tring

Tring

Tring

Zara di kagetkan dengan rentetan suara notifikasi yang berasal dari aplikasi wa nya. Buru-buru Zara membukanya

Mbak cahya :

P
Km kemana aja!? Ibu sakit
Pulang!


Deg! Bagaimana disambar petir di siang bolong, Zara terdiam kaku. Bak orang linglung, Zara tak tau harus berbuat apa.

Mbak cahya :

P
Km kemana aja!? Penyakit ibu kambuh
Pulang!
Cepat!

Zara kembali melihat pesan dari kakak perempuannya itu. Sadar, Zara dengan cepat berlalu dari pantai tersebut dan menuju ke rumahnya.

***
Di perjalanan, Zara tidak bisa fokus mengendarai kuda besinya, bahkan ia mendapat umpatan dari remaja laki-laki seumuran dengannya lantaran hampir saja Zara menabrak laki² tersebut di lampu merah. Tak ambil pusing, Zara terus mengendarai Sepedanya dan kali ini lebih fokus serta hati-hati.

Setelah sampai di rumahnya, Zara menaruh asal sepedanya dan buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Membuka pintu kamar sang ibu dengan hati-hati, Zara tertegun melihat pemandangan di depan matanya
"Ibu" lirihnya
Zara mendekat ke ranjang tempat ibunya berbaring, lalu mengusap pelan tangan sang ibu. Ucapan maaf terus Zara lontarkan dengan lirih
"Kenapa nak?" Tanya ibu dengan suara lemah
"Ibu apanya yang sakit? Ayo kerumah sakit bu...Atau ibu pengen makan sesuatu?" Tanya Zara

Ibu tersenyum mendapat pertanyaan sang anak
"Ibu gak apa-apa, cuma kambuh seperti biasa. Gak perlu kerumah sakit, mending uangnya buat beli keperluan sekolah Kamu aja"
"Kamu harus tetap semangat ya nak, belajar yang rajin. Cari masa depanmu sendiri, ibu gak ngerti begituan, ibu cuma ibu yang gagal merakit masa depan anaknya sendiri" tambah ibu dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Walaupun sebenarnya Zara tau, sang ibu mati-matian berusaha agar air matanya tidak jatuh
Zara tak lagi bisa menahan air matanya, air matanya luruh begitu saja. Melihat sang ibu terbaring lemah namun masih memikirkan masa depannya membuat Zara merasa sangat tertampar.

***

Langit pagi hari ini diselimuti awan berkabut yang pekat, sinar matahari tak dapat menembusnya. Angin tertiup pelan, membawa hawa dingin menusuk. Sesekali terdengar suara gemuruh petir yang sangat menggelegar, pertanda akan turunnya hujan.
Disinilah Zara sekarang, tempat yang sangat Zara hindari. Pemakaman. Satu kata yang membuat orang pasti berpikir siapa yang sedang dikunjungi? Atau siapakah yang telah berpulang?

Seakan bumi turut berdukacita, langitpun mulai menumpahkan kesedihannya. Tetesan demi tetesan air hujan mulai membasahi pemakaman tersebut. Namun hal tersebut tak membuat Zara beranjak. Zara semakin menatap dalam nisan bertuliskan
Santi Dewi Binti Jihad Amrullah.
Santi, ibunya. Ibunya telah berpulang dan tidak akan bersamanya lagi. Tak akan membuatkannya bekal,  tak akan ada lagi yang mengingatkan Zara untuk sholat, tak akan ada lagi tempat berkeluh kesah yang sebaik ibunya, bahkan tak ada lagi sosoknya di rumah sederhana itu.
Dibawah guyuran hujan ini, Zara menatap kosong nisan ibunya. Setelah ayahnya, sekarang ibunya?
Tidak bisakah tuhan melihat hamba-Nya ini sangat terluka? Air matanya kembali luruh namun tersamarkan dengan basahnya wajah Zara.
Hujan semakin deras membuat Zara menggigil bahkan tak sadarkan diri...

***
Enghh...
Zara mulai membuka matanya Pusing, menggigil dan flu. Itu yang Zara rasakan setelah sadar dari pingsannya. Dengan gerakan lemahnya, Zara dengan cepat turun dari ranjangnya dan menuju ke kamar ibunya.

Cklek
"Ibu" Panggil Zara dengan suara bergetar
Tak menemukan ibunya di kamar, Zara dengan cepat menuju kamar kakak perempuannya
"Kak, ibu mana?" Tanya Zara seperti orang linglung

"Huftt... Ikhlasin aja, biar ibu tenang di sana" Jawab kakak Zara lalu menarik tubuh ringkih Zara ke dalam pelukan hangatnya
Hiks...Hiks...
Pecah sudah tangisan Zara, padahal saat terbangun tadi, Zara berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Namun? Lagi dan lagi Dewi Fortuna tidak berpihak padanya.

***

Lampu di teras rumah dinyalakan, hal ini biasa dilakukan jika malam sudah tiba.
Di rumah sederhana ini, terlihat gadis meringkuk di atas ranjangnya. Diluar hujan kembali membasahi bumi. Zara bangkit lalu menuju ke jendela kamarnya, membuka jendela lalu menghirup dalam kala harum petrikor terdengar di indera penciumannya. Menutup mata sejenak, lalu dibuka kembali di susul buliran air mata yang sejak tadi ia tahan. Menangis dalam diam tanpa suara sangat menyakitkan bukan? Ya, ini yang Zara rasakan saat ini.
Sakit, sungguh.

"Tuhan, apakah aku harus berhenti sampai disini saja?" Lirihnya
"Tuhan, aku takut. Kedua sayapku telah patah"
"Aku takut untuk menghadapi hari esok"
"Bagaimana esok?"
"Bagaimana aku menghadapi dunia yang fana ini tanpa sosok ibu di sampingku"

Pertanyaan lirih nan menyakitkan terus Zara lontarkan. Zara tak tau bagaimana esok ia menjalani hari.
Zara termenung memikirkan pesan terakhir ibunya  "Kamu harus tetap semangat ya nak, belajar yang rajin. Cari masa depanmu sendiri, ibu gak ngerti begituan, ibu cuma ibu yang gagal merakit masa depan anaknya sendiri"
Zara menatap langit yang gelap lalu berucap lirih

"Bu... Ibu gak pernah gagal menjadi ibu. Bahkan sekarang aku bingung saat ibu gak ada lagi di sampingku. Bu aku takut, aku bingung. Bagaimana esok?" Monolog Zara
"Tuhan, bolehkah aku meminta bawa ibuku kembali?"
"Bolehkah aku berharap bahwa semua ini hanya mimpi?"
"Tolong aku tuhan"
Zara takut, sungguh. Zara tidak siap untuk menghadapi hari esok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bagaimana Esok? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang