kesempatan ke dua bagi bumi

11 3 1
                                    

Tahun 2142, kehidupan di Bumi telah berubah seratus delapan puluh derajat. Bahan pangan alami, yang dahulu berlimpah dan mudah didapat, kini menjadi barang langka dan mahal.
Hanya mereka yang benar benar kaya yang masih bisa mencicipi sepotong apel atau sesendok madu. Hutan-hutan yang dulu hijau, laut yang dahulu biru, telah tergantikan oleh ladang tandustak berguna dan samudra air asam. Ribuan spesies flora dan fauna telah punah. Ekosistem telahhancur, menyisakan lubang besar dalam ekosistem. Keseimbangan yang pernah ada telah hilang, berganti dengan dunia yang terasa sunyi, tanpa suara burung atau bau tanah basah.

Sumber daya alami yang semakin sedikit berubah menjadi konflik dengan skala global. Setiap negara menginginkan sebuah pohon apel terakhir. Alih-alih membudidayakannya, mereka malah saling menumpahkan darah hanya untuk sesuatu yang sebenarnya bisa mereka bagi. Ratusan bahkan jutaan orang mati membuat populasi manusia semakin berkurang.

Di salah satu gedung, di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, Dewi terbangun dari tidur, memandang keluar dari jendela kecil yang menunjukan sebagian langit yang terlihat kelabu. Ia menarik nafas panjang, merasakan udara yang dingin dan kering masuk ke paru-paru. Awan-awan polusi bergelantung di langit. ‘yaahh… Setidaknya ia jauh dari wilayah perang’ pikirnya. Sekali lagi Dewi harus bertahan hidup di Bumi yang sudah mati sambil meratapi nasibnya.

Dewi bersiap berangkat ke sekolah, sudah enam bulan sejak ia menginjak kelas dua SMP. Setelah beberapa saat bel rumah Dewi berbunyi keras,Ia pun segera berjalan cepat menuju pintu.

”Dewi tasmu!” Seru ibunya dari belakang. Dewi mengambil tas dari tangan ibunya dengan cepat.

“Aku pergi, Mah!’ teriaknya sebelum terdengar suara pintu ditutup kasar. Dewi sudah pergi bersama temannya.

Waktu berlalu cepat, tanpa dirasa mentari telah tumbang digantikan rembulan. Dewi berbaring di ranjang miliknya. melihat berbagai rekaman flora fauna yang dulu hidup bersama mereka dari gadget miliknya. Ikan ikan berenang riang di laut biru, burung burung berterbangan di angkasa, pohon pohon menjulang tinggi dengan monyet bergelantungan di tiap dahan membawa berbagai macam buah, kuda kuda liar asik merumput bersama kawanan kijang, tak lupa sungai dan laut yang jernih sejauh mata memandang, juga langit biru yang indah tanpa gumpalan asap hitam.

Wahai... sungguh indah Bumi saat itu.

Pintu dibuka pelan, wanita paruh baya datang dengan kursi yang melayang di udara sebagai ganti roda yang sudah lama tak digunakan. Wajahnya penuh kerutan, rambutnya yang dulu hitam sudah memutih sepenuhnya, di lehernya tergantung sebuah liontin dengan ukiran bunga Tulip putih yang indah, wanita itu memakai batik yang sudah lama tidak lagi diproduksi akibat hilangnya pewarna alami dari alam. "Dewi, ayo makan" ucapnya dengan lembut.

            "Berisik" seru Dewi malas, masih melihat gadgetnya. "Dewi, ayo kita mak-"

      "Diamlah! Nek, nenek tahu kan aku bosan dengan semua makanan sintetis itu! Andai jagung, padi dan sorgum masih ada pasti aku tidak perlu memakan makanan hambar itu!"

         "Nek, kenapa aku hanya bisa memakan gel itu setiap hari?” seru Dewi dengan nada putus asa, tatapannya tajam. “Kenapa aku nggak pernah tahu rasanya makanan seperti yang nenek ceritakan? Nenek bilang dulu ada apel, roti, buah yang segar dan manis. Tapi aku? Aku cuma dapat gel  yang hambar!” Tegas Dewi, wajahnya mulai memerah, tangannya terkepal keras. Ia kesal, mengapa ia yang harus menanggung kesalahan generasi sebelumnya? Kenapa harus generasinya? Kenapa tidak hanya generasi yang merusaklah yang kena imbasnya? Ia kesal, tapi apa yang harus
ia berbuat,

      "Dewi..." suara nenek parau ia berusaha menahan tangis. Semua yang cucunya ucapkan benar. itu kesalahan dirinya, lebih tepatnya generasinya

 “Nenek, aku benar-benar muak dengan semua ini! Aku tidak pernah tahu rasanya apel, tidak pernah lihat ikan di laut maupun burung di angkasa, aku bahkan nggak tahu apa itu udara segar! Semua yang seharusnya aku miliki sekarang sudah kalian hancurkan! Cuma gel hambar yang bahkan nggak bisa disebut makanan yang kalian sisakan untukku! Kenapa aku yang harus hidup
dengan semua kesalahan kalian?!” Suara Dewi bergetar.

Cerita LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang