Prolog

1 0 0
                                    

Malam yang tenang dan dingin, Yojun sendirian di dalam kamarnya sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya. Terdengar suara tawa dan candaan dari ruang tamu, sepertinya anggota keluarga yang lain sedang bersenang-senang di sana. Yojun tersenyum kecil, dengan tatapan masih pada buku di depannya.

Tak berselang lama, suara pintu kamar Yojun terdengar. "Masuk," serunya tanpa mengalihkan pandangan.

Saat pintu dibuka, Yojun menoleh dan tersenyum, mendapati sang ibu yang berdiri di sana sambil membawa sepiring makanan ringan dan satu gelas susu. Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar dan menyimpan yang dibawanya ke atas meja.

"Semangat, ya. Anak ibu rajin banget," ujar Jena sambil mengelus kepala Yojun dengan penuh kasih sebelum ia kembali keluar dari kamarnya.

...

"Ini bekal buat Abang, jangan lupa dimakan, ya."

Yojun menerima tas yang berisi bekal makannya dari Jena sambil tersenyum lebar. "Makasih, Bu."

Seorang pria dengan pakaian rapi datang dan menghampiri mereka berdua yang sedang berada di meja makan sambil membenarkan dasinya. Melihat hal itu, Jena segera mendekatinya dan membantunya membenarkan dasi.

"Ayah boleh minta tolong, gak, Bang? Ayah gak bisa jemput Nindi sama Bevan. Abang bisa, gak?" tanya Pratama. Pria yang merupakan kepala keluarga ini.

Yojun mengangguk sambil mengacungkan jempolnya tanda ia mengiyakan, bahwa dirinya yang akan menjemput kedua adiknya menggantikan sang ayah.

...

"Heh, kocak. Lu kenapa nangis?" tanya Yojun sembari memberikan helm pada Bevan.

Sambil memakai helmnya, Bevan bercerita pada Yojun bahwa ada salah satu teman perempuannya yang memukul kepalanya dengan botol minum. Yojun tertawa sedikit saat melihat kepala adiknya yang kecil dan memakai helm miliknya yang cukup besar.

"Kenapa bisa dipukul?"

"Dede gak sengaja megang pantatnya waktu kejar-kejaran sama Rafli," jawab Bevan sambil naik ke atas motor.

Yojun tidak bisa menahan tawanya lagi, ia pun tertawa terbahak-bahak. Bevan yang melihatnya hanya ikut terkekeh dengan hidung yang merah dan masih mengeluarkan ingus.

...

"Abang lama banget jemputnya, kaki Nindi sampai pegal, nih, berdiri terus."

Yojun memberikan helm pada perempuan yang terus menggerutu itu tanpa menghiraukannya. Setelah memakai helmnya, dia naik di belakang dan memegang jaket yang dikenakan oleh Yojun.

"Pegangan yang bener, dong!"

Nindi mendecak dan memukul pelan pundak sang kakak. "Terserah aku aja!" balasnya.

Yojun pun kembali menyalakan motornya dan tancap gas. Di perjalanan, ia bercerita bahwa dirinya menjemput Bevan terlebih dahulu sehingga membuatnya agak terlambat menjemput Nindi. Mendengar itu, Nindi sedikit merasa bersalah karena sudah menggerutu pada sang kakak. Namun, dia terlalu gengsi untuk meminta maaf.

...

Yojun menghentikan motornya di depan rumah, ia dan Nindi melepas helm yang mereka pakai lalu menyimpannya di atas jok motor. Yojun membentuk senyum di wajahnya pada wanita yang menjadi cinta pertamanya itu. Ketika Yojun berjalan mendekati Jena yang sedang merapikan pot bunga dan hendak memeluk wanita itu, ia didahului oleng Nindi.

"Nindi pulang, Bu," seru Nindi sambil meraih tangan sang ibu sebelum menempelkan punggung tangannya pada dahinya. "Mau Nindi bantu, gak?"

"Boleh, sayang. Tapi kamu ganti baju dulu, habis itu makan, baru bantuin ibu, ya."

"Siap, Bu." Nindi segera berjalan masuk ke rumah.

Jena menoleh, melihat anak pertamanya yang terus berdiri sambil memandanginya dengan senyum lebar. Dia tahu apa yang harus dilakukan, Jena segera merentangkan tangannya lalu Yojun dengan semangat mendekat dan memeluk perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Makasih, ya, pasti capek harus bolak-balik jemput adik-adiknya." Jena mengelus punggung Yojun dengan lembut.

Yojun menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok, Bu. Walaupun capek, tapi setelah lihat Ibu jadi hilang capeknya."

...

Di meja makan, satu keluarga berkumpul untuk makan malam. Sambil menyantap makan malam yang enak, sesekali mereka melontarkan candaan dan tertawa kencang. Malam yang dingin selalu menjadi hangat bagi mereka, jika sedang berkumpul seperti ini. Senyum terus terlihat di setiap wajah, tidak pernah mereka membayangkan sekalipun hal buruk akan terjadi dan menghilangkan senyum mereka.

"Kan dede gak sengaja, dia malah mukul kepala dede pake botol minum. Sakit banget, jadi dede nangis," jelas Bevan pada Pratama dan Jena setelah Yojun menceritakan Bevan yang menangis saat dijemputnya.

Semuanya tertawa. Rasa lelah setelah menghadapi semua hal di hari itu seakan sirna begitu saja.

"Lain kali hati-hati, dong. Tapi dede jangan pernah mukul balik, ya." Bevan menganggukkan kepalanya.

"Dede minta maaf, gak?" tanya Jena.

Bevan menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

"Harusnya dede minta maaf. Lain kali harus minta maaf, ya, walaupun gak sengaja."

Pratama kini mengalihkan perhatiannya pada Yojun, dan berterima kasih karena sudah menggantikan tugasnya untuk menjemput Bevan dan Nindi.

...

"Hari ini gak ada pr?" tanya Jena setelah menyimpan segelas susu di atas meja belajar Yojun.

Yojun meletakan ponselnya dan beranjak duduk, tersenyum dan berterima kasih pada sang ibu. "Makasih, ya, Bu. Hari ini gak ada, sih.

"Ya sudah." Jena duduk di atas kasur di samping Yojun. "Selalu jadi anak yang baik ya, Yojun sayang. Ibu bangga punya anak pertama seperti kamu."

Yojun Putra JenatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang