CHAPTER 11

0 0 0
                                    

Satu lagi hari bersejarah lain Aldo akan hadapi di sekolah barunya yang sudah tidak terasa asing lagi itu. Hari LDKA, begitu rata-rata warga sekolah menyebutnya.
“ Aku sebenarnya masih bingung sih gimana caranya bikin tenda.”
“ Ya udah. Kan kita seregu juga, Yan.” Aldo menjawab Bian selagi semua murid masih menunggu rombongan angkot yang katanya akan datang dan menjadi tumpangan mereka ke area perkemahan nanti.
“ Eh, memang Kamu bisa bikin tenda, Do?”
Aldo tidak mengangguk seketika mendengarnya sekalipun sadar betul bahwa skill nya dalam apapun yang berbau Pramuka sebetulnya tidak bisa dibilang kelas pemula lagi. Kelas menengah pun tidak. Ia sekedar mengangkat kedua alisnya. Mengangguk kecil dan menjawab dengan kesan abu-abu. “ Lumayan lah.”
“ Waduh, bahaya Kamu ini ya ?”
Rombongan angkot pun masuk ke pekarangan sekolah dengan berjejer–lagipula mana mungkin kendaraan tersebut bisa berdesak-desakan berpacu melewati gerbang kelas yang lebarnya itu pas-pas an untuk dua mobil saja.
“ Sudah sampe itu,” Ransel yang semula dibiarkan teronggok di sisi kakinya pun kembali disandang. “ Bagusnya kita duduk di belakang supir.” Bian langsung membalas. Sudah duluan memacu kaki dan berjalan di depan Aldo.
“ Kenapa ?”
“ Biar keliatan jalan. Biasanya sopir angkot tuh kan jago banget nyalip. Seru liatnya !”
“ Kenapa nggak di depan kalau gitu ?”
Bian menoleh padanya. Memberi gestur agar Aldo mau menunggu jawabannya selagi ia memasukkan tas terlebih dahulu ke dalam angkot. Lantas tubuhnya sendiri lah yang naik ke dalam angkot. Disusul dengan gestur serupa oleh Aldo.
“ Kalau di depan rasanya kayak Kamu betulan yang nyalip-nyalip. Ga asik !”
*******
Aldo sudah menduga bahwa penampakan bumi perkemahan di pelatihan LDKA pertamanya di Kota Bandung ini tidak akan jauh berbeda dengan pemandangan yang ia peroleh ketika field trip beberapa bulan yang lalu.
Pepohonan menjulang tinggi dan berderet di kiri kanan jalur. Menghalangi panas dan terang benderang matahari dengan jutaan daunnya yang membuat setiap pohon jadi terlihat gimbal apabila dipandang dari kejauhan. Alhasil, sorot bercahaya yang turun dan sampai ke permukaan tanah terlihat bagaikan sinar jutaan senter berbagai ukuran yang dibidik ke permukaan bumi.
“ Semuanya kumpul dulu !” Beberapa Kakak Pembina yang sudah ditugaskan di beberapa titik tidak henti-hentinya mengingatkan dan memberi arah menuju titik kumpul.
“ Tasnya dibawa saja. “
“ Pakai topinya !”
“ Cepetcepetcepet.”
Begitu kira-kira titah mereka ke hampir setiap gerombolan murid yang masuk ke radius mereka.
“ Semuanya sudah kumpul semua ini ya ?” Di area kosong dan terbuka yang kian dikerumuni oleh para remaja tersebut, sosok pria yang Aldo kenali sebagai pembina pramuka sekolah sudah berdiri tegak di depan para kerumunan.
“ Eh sudah mulai Do !” Bian spontan berlari duluan. Terdengar begitu ribut dan menarik perhatian sebab kargo di punggungnya itu tidak bisa untuk tidak berdenting selagi si pemilik berlari dengan begitu berantakan seperti itu.
Kebiasaan Aldo untuk selalu disiplin dan menghindari keterlambatan pun mau tidak mau mendorongnya untuk mempercepat laju tungkainya. Namun di sisi lain, ia begitu membenci suara gemerincing dan sebagainya yang biasanya akan menggema dari hentakan yang tubuhnya harus terima sebab berlari setengah melompat. Tapi di antara dicap betulan terlambat dan menahan ricuh barang bawaan, Aldo lebih memilih untuk menghindari alternatif pertama dengan segala daya upaya yang ia punya.
“ Sebelum kegiatan kita mulai, kita berdoa dulu. Menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” Aldo dan Bian yang baru saja sampai dan mengambil posisi di baris paling belakang pun langsung bereaksi cepat dengan menangkupkan kedua tangan dan mengangkatnya hingga sepantaran leher. Kepala otomatis tertunduk. Seragam dengan setiap kepala yang hadir. Beberapa ada yang memilih untuk memejamkan mata demi meningkatkan rasa khusyuk dan berharap doa apapun yang akan disampaikan bisa terkabulkan dengan lebih cepat. Aldo memilih untuk mengikuti gestur kelompok ini sebab sinar matahari membidik tepat sekali ke tubuhnya, memantul ke beberapa area termasuk telapak tangannya sendiri. Dan jika bukan dengan menutup mata, Aldo tidak tahu bagaimana caranya menghindari pantulan cahaya yang kelewat tajam itu.
“ Berdoa mulai.”
Kurang lebih seperempat menit mereka semua menundukkan kepala dengan ragam doa pilihan masing-masing dilantunkan tanpa suara. Tidak sedikit juga sih yang saking singkatnya doa yang mereka inginkan, sudah bisa mengatupkan bibir dan berdiri hingga termenung sejenak di lima detik pertama.
“ Baik.” Si pembina menghela napas. Memandangi setiap kluster murid yang tersebar dengan rapi di hadapannya. “ Sesuai rencana, setelah berdoa kalian kembali berkelompok, lalu membangun tenda.” Tangan kanannya teracung ke area kiri. Bisa ditebak, semua murid pun refleks mengikuti kemana telunjuknya itu mengarah.
Dengan kepala yang juga menoleh kemana para murid memandang, si pembina pun melanjutkan. “ Tenda itu akan menjadi tempat kalian istirahat, jadi jangan main-main ! Semuanya harus membantu ya !” Lantas kembali lagi menghadap audiensnya dengan sikap istirahat yang tidak sengaja muncul.
“ Mengerti !”
“ Siap mengerti !”
Sang pembina angkat peluit yang terkalung di lehernya tinggi-tinggi. Menggesernya sedikit ke kanan dan kiri agar semua remaja-remaja yang imutnya sudah berkurang banyak dan kini menjadi audiensnya ini bisa mendeteksi dengan tepat apa yang ada di tangannya itu.
“ Sampai peluit dibunyikan, silahkan membangun tenda bersama kelompoknya.” Ia mengangguk tipis tepat saat seorang siswa beratribut lengkap sudah menampakkan diri dari sudut paling belakang barisan. Turut mengangguk lantas kembali memasuki area dimana dua puluh tenda akan didirikan nantinya.
“ Mulai !”
PPPRRRIIIIITTT
*******
“ Loh, kemana ?”
Di malam hari, para murid menjalani kegiatan penjelajahan menyusuri hutan dengan mengandalkan rute-rute yang memang sudah diberi petunjuk arah besar-besar. Namun, di tengah perjalanan nantinya, setiap kelompok dijamin–katanya–akan menemukan berbagai sandi pramuka yang dilaporkan detailnya di check-point terakhir.
Dan di menit ke dua puluh tiga, Aldo–ia menjadi ketua regunya kali ini–bersama rekan-rekan satu timnya tengah menginterpretasikan berbagai sikap yang ditunjukkan oleh seorang Kakak Pembina di ujung sana–yang sejatinya di malam hari begini cukup Aldo ragukan keaslian wujudnya–yang fokus sekali memamerkan berbagai pose semaphore.
Tadinya Aldo yang tingkat kejeliannya sampai ditandai sebagai ‘menyeramkan’ itu tidak sengaja menangkap sinyal morse dari seberkas cahaya yang menyisip di antara pepohonan. Sempat si pemuda kira bahwa sorot cahaya tersebut hanyalah sinar lampu dari ujung bumi perkemahan, atau mungkin kunang-kunang yang hampir habis masa hidupnya. Terlebih lagi ketika ia berpapasan dengan regu lain dan mereka sama sekali tidak mengakui kehadiran sinar tersebut sebagai sesuatu yang berarti.
Hingga Aldo menyadari bahwa sinar tersebut bersinar dan berpendar-pendar dalam interval yang tidak biasa untuk diiyakan bersumber dari senter rusak ataupun kunang-kunang. Dan singkat cerita, mereka tampaknya menemukan si peraga sandi semaphore yang saat ini masih diperdebatkan kata-kata apa saja yang sejatinya dikirimkan.
“ Yang tadi itu en nggak sih ?”
“ Nggak-nggak ! Kalo en seharusnya kedua-duanya turun. “ Salah satu di antara mereka juga ikut memperagakan balik sandi yang dipraktekkan di seberang sana.
“ Eh, serius en turun dua-duanya ?"
“ Tapi masak iya Kakaknya bilang ‘Tambun’ sih ?”
Mendadak yang lain di antara mereka berdiri. “ Jumlah katanya ada enam ! Bukan lima.” Saat mulai menyadari dimana huruf pertama dimulai dan huruf terakhir betulan diisyaratkan.
“ Iyaa tauu.” Aldo menimpali balik. “ Tapi ini kita kan lupa semua huruf di sandi semaphore itu bentuknya kayak apa.”
“ Betul.” Pemuda di sebelah Aldo mengiyakan. “ ‘Tambun’ aja kayaknya mustahil. Apalagi ‘Tambung’.”
“ Tapi siapa tau juga memang betulan ‘Tambung’. “ Yang berdiri tadi lantas melanjutkan. “ Kan itu kombinasi huruf saja. Bisa jadi saja–“
“ Do, kita kurang anggota.”
Hah ?! Serasa ditepuk hantu Aldo ketika berita tersebut melenggang dengan begitu mudahnya ke telinga. Anggotanya hilang ! HILANG ! Dan sudah berapa lama mereka sibuk memperdebatkan kebenaran sandi-sandi ini sampai tidak menyadari sama sekali bahwa satu dari lima orang yang membentuk regu mereka ternyata tidak kunjung menampakkan diri. Bahkan Aldo baru menyadari kehadiran sosok yang menyampaikan berita tadi itu saat ini juga. Sungguh, si pemuda betulan lupa dengan rupa anggotanya sendiri.
“ Kok bisa ?!”
“ Nggak tau !” Nada suaranya bergetar ketika menjawab dengan lantang.
“ Terakhir liat di mana ?”
“ Ampun Dooo ! Nggak tau !!!” Jika ini bukan malam, Aldo yakin betul kedua mata si pelapor ini akan memerah dan mengkilap.
“ Ya masak Kamu nggak tau terakhir liat Dia di mana tapi tau kalau Dia nggak ada ?!” Sebal dengan panik tak berujung yang menguar dari si lawan bicara, akhirnya Aldo balas dengan nada bicara yang sama tingginya. Jiwa otoriter si pemuda tidak sengaja keluar. Aldo, bukannya menolong, tampak seolah-olah tengah menghardik.
“ AKU NGGAK TAU DO !” Pun lawan bicara Aldo membalas dengan setengah histeris. Marah dan takut bercampur aduk di setiap gelisah geraknya memberi emfasis atas gentingnya suasana. “ DIA CUMA ILANG GITU SAJA ! AKU BARU SADAR–“
“ Ada apa ?”
Tidak ada angin maupun hujan, Aninda tiba-tiba menyempil dan masuk ke dalam lingkaran mereka. Beratribut lengkap khas pramuka, namun kali ini telah mengenakan rompi berwarna hijau stabilo yang langsung menarik perhatian.
Kedatangan mendadak si gadis tampaknya terlalu mengejutkan bagi ke empat murid itu hingga tidak satu pun di antara mereka yang mampu berkata-kata. Semua pandangan fokus kepada Aninda seorang.
“ Ada apa ?” Tanyanya sekali lagi dengan penuh penekanan. Sebentuk balok hitam dengan ujung serupa antena seketika keluar dari tangannya–Aldo rasa hal itu terjadi lantaran minimnya sumber pencahayaan yang membuat mereka semua tidak menyadari berbagai gerak-gerik cepat yang Aninda lakukan.
“ S-satu orang anggota kami nggak ada.”
Aldo kira Aninda akan ikut panik bersama mereka. Lalu sadar diri dan menghardik mereka saat itu juga selagi menghubungi rekannya sendiri via....tepat sekali dengan reaksi Aninda yang tidak luput mengangkat balok hitam di tangan ke depan wajahnya.
Ah ! Walkie-talkie !
“ Ini Aku bawa. “ Kata si gadis seolah-olah terdengar jengkel berat. Hanya saja, saat kembali melirik setiap kepala yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab Aldo itu lagi, Aninda hanya memandang sekenanya saja.
“ Oke. Aninda out.” Walkie-talkie pun kembali ke sisi pinggang kanan. “ Kalian semua ikut Saya. Misi buat kalian dibatalkan !” Katanya lalu memimpin perjalanan ‘spesial’ bagi Aldo dan kawan-kawan untuk kembali ke check-point pertama. Tempat yang Aldo percaya akan menjadi tempatnya dan rekan se-regu menjalani hukuman.
*******
Serius, malu bercampur kesal rasanya berkerumun jadi satu seiring bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk menunggu ke seluruh lima anggota OSIS–yang sejatinya memang ditugaskan pada peran-peran terkait kedisiplinan–untuk datang lantas memberi wejangan satu per satu. Namun, apa daya bagi mereka yang memang terbukti bersalah. Terlebih buat Aldo yang notabenenya adalah ketua dari regu yang telah digaris merah namanya ini.
Salah seorang dari kelima anggota OSIS itu maju tepat di hadapan Aldo. Menjulang tinggi dengan angkuh di hadapan si ketua regu yang masih setia menunduk semenjak pertama kali mengisi tempat di baris paling depan. “ Gimana Kamu ini,” Ia berdecak. Kedua tangan di angkat dan dilipat di depan dada.
“ Temen Kamu ga ada satu. “ Suara yang lain, kali ini perempuan dan bukan Aninda, menyambung dari sisi kanan Aldo. Tak kalah terdengar sombong daripada rekan prianya tadi. “ Kalo Dia tersesat gimana ? “ Katanya lantas ikut mendekat. Melempar pandang pada rekan-rekan sesama OSIS-nya. Menghela napas dengan bosan, perempuan itu kemudian berjalan ke belakang Aldo. Berhenti di posisi yang Aldo yakin sekali berada tepat di depan rekan se-timnya.
“ Menurut Kamu, hukuman apa yang pantas buat, Kamu ?” Ia terdiam sejenak. “ Namanya siapa ?”
“ Re-rehan, Kak.”
Oh, yang ngadu tadi.
“ Nah Rehan, bagusnya hukuman seperti apa yang pantes buat kalian semua ?”
Rehan menelan ludah dengan getir. Keringat dingin rasanya saat hendak menjawab meski cemas setengah mati.
“ Nggak–“
“ Aduh kelamaan !”
Rehan spontan berjingkat dibuatnya.
Kembali ke sosok yang masih betah berdiri di depan Aldo, si pemuda yang dimaksud lantas menyambung rekannya yang sudah beranjak untuk kembali ke posisi semula.
“ Aldo, kan ya ?”
Hampir saja Aldo terkesiap mendengar namanya tiba-tiba disebut. “ Siap, benar Kak.”
“ Eh, anak pramuka sejati ini,” Ia balas mengejek. Menertawai ironi bahwa anak pecinta pramuka seperti Aldo bisa-bisanya memiliki kemampuan kepemimpinan yang kepalang rendah. “ Ngurus empat orang aja nggak mampu Kamu.”
Sekali lagi hening dibiarkan menguasai malam dan dibiarkan terlalu lama hingga terkesan tidak nyaman. Seolah-olah ada hal lain yang lebih kejam yang sudah menunggu Aldo berikut rekan-rekannya itu.
“ KAMU BISA GAK JADI PEMIMPIN ?!”
“ Siap bisa, Kak !”
“ MIMPI KAMU ! Gini dibilang bisa mimpin !” Hadiknya lantang dan berat. “ Ini hukumannya apa ini ?! “ Entah sudah kesekian kali sosok pemuda OSIS yang satu ini mendengus marah, yang jelas Aldo sudah menyusun hipotesa bahwa andaikata sang pemuda OSIS ini adalah sebuah mesin uap, maka ia akan meledak tidak lama lagi.
“ Hukumannya push-up, Kak !”
Di tengah ributnya deru api unggun beserta hening yang terasa memekakkan telinga, suara Aninda yang ternyata relatif pelan tiba-tiba mengutarakan opininya sendiri.
“ Push-up ?” Sebuah suara merespons dari kiri Aldo.
Aninda mengangguk mantap. “ Push-up, Kak.”
Bisa Aldo rasakan baik pemuda OSIS yang menghardiknya tadi, maupun pemudi OSIS yang menakut-nakuti Rehan tengah sama-sama saling pandang sebab menimbang pendapat Aninda. Namun, tentunya itu hanya sebuah dugaan belaka. Nggak mungkin lah ! Aldo bersikeras selagi api sebal yang benar-benar baru terpatik dari dalam dirinya. Mana mungkin dua orang yang tidak berdekatan bisa saling berdiskusi via raut wajah dan sorot mata begitu saja.
Kecuali mereka memang bisa. Aldo sendiri yang membuktikannya lewat mata kepalanya sendiri tatkala melirik sekilas ke atas. Yang laki-laki sangat fokus memperhatikan wajah sosok perempuan di sebelah kanan. Sementara lawan bicaranya itu hanya perlu memainkan alisnya beberapa kali sebelum akhirnya menutup mata sejenak.
“ Oke. Buat kalian push-up ! SERATUS KALI !”
Mati Akuuu !!!
Sisa dua orang anggota OSIS lainnya lantas gerak cepat memastikan bahwa Aldo dan teman-teman akan menjalani hukuman mereka dengan tepat dan tuntas.
“ Tengkurap ! Bertopang ke tangan masing-masing !” Titah pertama secara resmi diserukan. Pertanda bahwa tahapan sesungguhnya dari hukuman ini sebentar lagi akan dimulai.
“ Satu !”
“ Ngomong-ngomong soal teman kalian itu. Kami duluan ketemu sebelum kalian sadar Dia ilang.”
Tawa renyah yang singkat kemudian mengudara, melompat ke sisi kanan Aldo lagi.
“ Dua !”
“ Katanya kebelet pipis tadi. Makanya stop dulu.”
Aah, bocah tengil bersumbu pendek. Aldo mengutuk selagi kedua tangannya bekerja keras mendorong tubuhnya ke atas di aba-aba ke-tiga.
*******

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang