16. Berpura-pura Tidak Tahu

1.5K 224 10
                                    

Tidak, Bang Kalla sama sekali tidak mengadukan apapun kepada Mami dan juga Om Johan pada akhirnya. Dia hanya menghela nafas sembari memejamkan matanya sejenak menenangkan dirinya sebelum akhirnya dia kembali pada mode diamnya.

Dan diamnya itu semakin menjadi saat akhirnya acara dimulai. Suasana ramai yang sebelumnya riuh dengan obrolan perlahan mulai tenang saat MC mulai mengeluarkan suaranya. Ucapan terimakasih satu persatu terdengar ditujukan untuk para tamu, dua kali lampu sorot diarahkan ke mejaku saat nama Papi yang diwakili Mami disebut, begitu pula saat Om Johan dan Tante Siwi.

Sudah bisa diperkirakan saat lampu itu diarahkan kepada kami, semua tamu pun jadi mengetahui kalau Bang Kalla bergabung di meja bersisian denganku, beberapa bisikan mulai terdengar namun pria ini sama sekali tidak bereaksi. Seacuh itu Bang Kalla terhadap bisik-bisik yang membicarakan dirinya yang hadir di acara pernikahan mantan istrinya, orang yang tidak tahu pun menjadi tahu soal status mantan tersebut, dan keriuhan baru mulai mereda saat Tuan rumah acara mulai datang, dimulai dari pihak orangtua laki-laki, sosok Om Haris Handoko yang membuatku memutar bola mata malas karena tatapan angkuhnya, beserta dengan istri dan anak-anaknya beserta pasangan dan anak-anaknya.
Sekilas aku melihat keterkejutan di wajah Om Haris saat melihat Bang Kalla yang duduk disampingku namun dengan cepat Tante Yuli mencubitnya, begitu pula dengan saudara mempelai pria, mereka seperti keheranan mendapati Bang Kalla yang ada di meja VIP bersama dengan Mami dan Om Johan.

Alih-alih memperhatikan reaksi keluarganya Pengantin yang terkejut, aku justru lebih berminat untuk tahu seperti apa reaksi Bang Kalla, duda yang berpisah karena perselingkuhan mantan istrinya tersebut tampak acuh, Bang Kalla bahkan membiarkan tanganku yang ada di lengannya, dia benar-benar tidak peduli dengan acara pernikahan yang tengah berlangsung, bahkan sampai akhirnya Pengantin memasuki ruangan, Bang Kalla baru menegakkan tubuhnya, tanpa sungkan dia menatap ke arah pengantin yang berjalan dengan senyuman sumringah.

Di titik ini sebenarnya aku tidak habis pikir bagaimana bisa dua orang yang bersama di awali sebuah perselingkuhan bisa tersenyum tanpa rasa malu sedikit pun, bahkan menggelar acara megah ini mengundang banyak orang yang tahu skandal perselingkuhan mereka.
Muka tembok kali dua orang tersebut, mulutku diam namun hatiku berbisik julid dan Mami yang sudah sangat paham dengan gelagatku langsung memberikan tatapan maut, mewanti-wantiku agar mulut pedasku tetap terdiam.

"Mantan Abang nggak cantik!"

Celetukku sembari berbisik tepat ke telinganya Bang Kalla, pria ini menoleh ke arahku sebentar sebelum dia kembali menatap lurus ke depan.

"Jika dibandingkan Mbak Aira, pasti kalah jauh....."

Tanggapan ambigu yang diberikan Bang Kalla membuatku reflek memintanya melihat ke arahku lagi. "Maksudnya? Siapa yang kalah? Aku atau dia?"

Bang Kalla menghela nafas panjang, mataku sudah melotot ke arahnya yang begitu tenang. "Dia yang kalah, Mbak Aira. Mbak Aira yang jauh lebih cantik."

Sama sekali tidak romantis namun sukses membuatku tersipu, ada banyak pujian yang pernah aku dapatkan, namun pujian dari Kulkas berkaki ini nyatanya mampu membuat pipiku memerah, hal yang rupanya di dengar oleh Tante Siwi dan juga Mami, dehaman menggoda terdengar dari mereka yang membuat pipiku semakin panas walau aku yakin seribu persen Bang Kalla menjawab demikian selain karena aku anak atasannya tapi juga karena short solution terhindar dari kecerewetanku.

Sayangnya siapa yang peduli soal hal itu?! Bodo amat apa alasannya menjawab, yang penting dia mengakui jika aku cantik, kan?

"Aira kamu puji cantik itu kepala bisa melendung segede balon gas, Kal!"

Celetuk Mami yang langsung membuat Tante Siwi tertawa, "tapi memang cantikan kamu dibanding
Si Itu, Aira! Kikiki, Kalla ya ampun selera kamu bagus."

Tante Siwi turut menimpali yang membuatku akhirnya turut terkekeh pelan sembari menatap Bang Kalla, mungkin karena tawa dari Ibu Bhayangkari tersebut, pengantin yang sebelumnya berjalan lurus sembari tebar pesona menoleh ke arah meja kami, sebelum-sebelumnya mereka yang berjalan sudah terkejut dengan kehadiran Bang Kalla di meja VIP namun keterkejutan sepasang pengantin tersebut yang paling epic, bahkan pengantin wanitanya sampai menghentikan langkah.

"Bang Kalla...."

Aku melihat bibirnya bergerak memanggil nama laki-laki yang ada di sampingnya, wanita itu begitu terkejut, wajahnya campuran antara marah dan tidak menyangka seolah tengah menemukan pengganggu di hari bahagianya. Tidak terima dengan reaksinya, otomatis aku langsung melingkarkan lenganku kepada Bang Kalla dan tanpa dosa sama sekali aku langsung melambaikan tanganku ke arah si Pengantin, aku berpura-pura tidak tahu jika wanita terkejut dengan kehadiran mantan suaminya. Aku menganggap wanita itu menatap ke arah kami karena ingin menyapaku, tentu saja sikapku yang berpura-pura tidak tahu ini membuat si Pengantin pria yang setengah mati menjaga wajah cool-nya langsung menegur istrinya, membuat MC yang sempat agak kacau dengan interupsi tidak terduga ini melanjutkan acaranya kembali.

"Tante mau ketawa, Aira! Bisa-bisanya kamu ini."

Tawa Tante Siwi susah tidak bisa diselamatkan lagi, beliau bahkan hampir menangis diantara tawanya yang tidak bisa dihentikan.

"Lah salah dia sendiri, kaget sampai berhenti jalan! Kan Aira cuma gandeng plus one-nya Aira, Tante." Ujarku sembari mengerjap-ngerjapkan mataku dengan polosnya.

Om Johan yang mendengar obrolanku dengan istrinya yang penuh makna seketika mendengkus penuh kesarkasan. "Aira, Aira, nggak diragukan Gen Sura mengalir deras kepadamu! Katakan Maira, bagaimana kamu sanggup menghadapi dua Wibawa berbeda generasi ini?"

Tidak ada rasa tersinggung yang aku rasakan mendengar apa yang diucapkan oleh Om Johan, ya bagaimana lagi, dari wajah sampai sikap semua orang selalu mengatakan jika aku adalah duplikat Papiku.

"Ya nikmati saja, Mas Johan. Gimana lagi, tapi sekarang kayaknya beban saya agak berkurang deh, Mas. Ada sasaran buat Aira gangguin." Mendengarnya semua orang di meja ini serempak menatap kulkas berkaki yang ada di sampingku, wajah geli dan penuh keprihatinan terarah kepada Bang Kalla yang masih sedatar papan tulis, pria disampingku ini sepertinya sudah pasrah dengan nasibnya yang mendadak buruk karena menghadapiku.

"Yang sabar ya, Kall. Gimana lagi Kal, satu-satunya putri Bapak Jendral!"

Ucap Om Johan yang dibarengi dengan tawa menggelegarnya, alih-alih fokus dengan pengantin, percakapan kami justru melenceng kemana-mana, namun terserahlah yang penting selama acara ini meski banyak orang silih berganti menyapa Mami dan Om Johan, tidak ada yang membicarakan omong kosong tentang perjodohan, perkenalan dan sejenisnya usai melihat tanganku yang selalu nangkring di lengan Bang Kalla. Aku bisa melewati acara malam ini dengan tenang yang bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku merasa setenang ini saat menghadiri sebuah acara.

"Aira, ayo kita ikut antri ngucapin selamat."

Tante Siwi turut mengangguk, "ayo kita barengan saja, Mbak."

Mami mengangguk, semuanya bangkit begitu pula dengan Bang Kalla, aku tahu dia akan menyingkir namun dengan cepat aku menahannya dengan penuh drama.

"Eeeeh, eeeeeh mau kemana, Bang! Ini pacarnya masak iya mau ditinggal gitu saja?! Nggak takut kalau digondol perjaka gabut?"

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang