Hari yang telah Winter nantikan akhirnya tiba. Matahari bersinar terik diatas lapangan baseball, membasahi tanah dengan cahaya emas yang memantul diatas helm dan peralatan olahraga para peserta seleksi.
Winter mengenakan jersey dengan nama punggung Minjeong bernomor 01, berdiri di antara kerumunan siswa yang penuh semangat dan harapan.
Jantungnya berdebar-debar, tidak hanya karena gugup, tetapi juga karena ia harus menjaga penyamarannya tetap rapi.
Kapten tim, seorang siswa dari kelas 2-2 bernama Eric, berdiri di tengah lapangan dengan tangan terlipat di dada.
Eric terkenal karena sikapnya yang perfeksionis dan sering dianggap menyebalkan oleh para pemain lainnya. Tatapannya tajam, seolah ingin mengukur setiap peserta dengan pandangan saja. Winter bisa merasakan mata Eric menatapnya sejenak, seakan menilai apakah 'Minjeong' ini layak diperhatikan.
Di sisi lain, pelatih tim, Coach Jhonny seorang pria berotot dengan sorot mata yang serius, memegang clipboard di tangannya. Tidak ada senyuman yang terlukis di wajahnya; ia terkenal sebagai pelatih yang tegas dan tidak mentolerir kesalahan.
Menarik napas dalam-dalam, Winter merasakan jantungnya berpacu seolah berlari di trek.
"Baik, kita mulai dengan sesi pemanasan, lalu uji coba memukul dan melempar." jelas Coach Jhonny dengan suara beratnya.
Perintah itu diikuti oleh langkah-langkah cepat para peserta menuju posisi masing-masing.
Winter meregangkan otot-ototnya, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Pandangannya sesekali beralih ke arah Eric yang tampak berdiri dengan ekspresi datar, mengawasi setiap gerakan.
Dari sudut matanya, Winter melihat Sunwoo dan Ningning duduk di tribun melambai ke arahnya dengan senyum lebar, ekspresi ceria sahabatnya itu seperti angin segar di tengah ketegangan.
"Ayo, Jeong! Tunjukin ke mereka kalo lo juga jago!" seru Sunwoo, suaranya penuh semangat.
Di sampingnya, Ningning mengangguk dengan antusias, rambutnya yang dikuncir berayun mengikuti gerakannya.
"Lo pasti bisa, Jeong!" tambah Ningning.
Menarik napas dalam, Winter membiarkan semangat dari kedua temannya meresap dan menguatkan tekadnya. Ia tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang meski sorotan mata dari para pemain lain masih membuatnya gugup.
Disisi lain lapangan, Karina duduk di tribun bersama dua sahabatnya, Giselle dan Yeji.
Mereka tertawa-tawa kecil sambil memperhatikan seleksi yang sedang berlangsung, namun perhatian Karina hanya terfokus pada satu sosok.
Matanya mengikuti gerakan Winter atau Minjeong, seperti yang dikenalnya. Ada ketertarikan dan keingintahuan di matanya yang tak ia ungkapkan pada siapa pun.
Sosok 'Minjeong' yang berusaha keras di lapangan membuat Karina merasa penasaran dan tidak bisa mengalihkan pandangannya.
"Karina, lo serius amat? Lagi ngelihatin siapa, sih?" tanya Giselle, menyikut lengannya dengan tawa menggoda.
Karina tersenyum, menghindari pertanyaan itu.
"Gak ada." elaknya, meski matanya tetap tidak terahlihkan dari sosok 'Minjeong'.
"Pake nanya Gi, jelas ngelihatin Minjeong dong." Yeji ikut menggoda Karina. Membuat wajah gadis itu memerah.
Sementara itu di lapangan, pelatih sudah memanggil Winter maju. Gadis itu menarik napas panjang sekali lagi, membulatkan tekadnya. Ia melangkah ke tengah lapangan dengan dagu terangkat, siap menghadapi apapun yang datang. Di benaknya, kata-kata Sunwoo dan Ningning bergaung, mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian.

KAMU SEDANG MEMBACA
She Not Boy [END]
FanfictionDemi ambisinya pada baseball, Winter Astawijaya terpaksa nekat menyamar sebagai laki-laki agar bisa masuk ke tim baseball di sekolah barunya. Menyamar bukanlah hal yang mudah, apalagi saat Karina Valeria, siswi populer dan kapten tim pemandu sorak m...