Pagi itu, langit tampak lebih suram dari biasanya. Awan gelap menutupi seluruh kota, menciptakan kesan bahwa matahari sudah lama enggan muncul. Jalanan kota itu selalu ramai, penuh dengan orang-orang yang bergerak cepat, tidak ada yang saling menatap atau berinteraksi lebih lama dari yang diperlukan. Mereka semua memiliki tujuan yang sama berjuang untuk bertahan hidup di dunia yang semakin tak manusiawi.
Di sebuah sudut kota, suara sirene tiba-tiba menggema, memecah kebisuan pagi yang hampir mematikan. Seorang wanita muda berlari melewati kerumunan, wajahnya pucat, matanya terbelalak ketakutan. Di belakangnya, beberapa pria bertubuh kekar mengejarnya, langkah kaki mereka berat dan pasti.
"Ada pembunuhan lagi," kata seorang lelaki tua yang berdiri di samping toko roti, mengamati wanita itu dengan pandangan dingin. "Bukan hal aneh lagi, bukan?"
Lelaki tua itu bukan satu-satunya yang berpikir demikian. Di dunia ini, pembunuhan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bukan karena kebencian atau dendam, tetapi karena kebutuhan. Kebutuhan untuk mengurangi jumlah manusia yang terus meningkat, merusak bumi yang sudah rapuh. Setiap hari, orang-orang diberi target. Pembunuhan yang dianggap sah. Tidak ada lagi hukum yang bisa menghentikan hal ini. Pembunuhan yang sebelumnya dianggap sebagai kejahatan besar kini telah diatur dalam sistem yang canggih dan terorganisir.
Dan untuk memastikan sistem ini berjalan tanpa hambatan, setiap manusia diberi sebuah angka-angka yang menandakan tempat mereka di dunia ini. Angka itu bukan hanya sebuah identitas, tetapi penentu nasib. Setiap angka diberikan berdasarkan kontribusi seseorang terhadap masyarakat dan ekonomi dunia. Semakin tinggi angkanya, semakin besar kekuatan dan perlindungannya. Namun, angka yang lebih rendah adalah tanda bahwa seseorang bisa menjadi target dalam proses pengurangan populasi.
Di seluruh dunia, jumlah manusia sudah melampaui batas. Setiap kota, setiap negara, dipenuhi dengan orang-orang yang tidak tahu harus pergi ke mana. Ruang hidup semakin sempit, dan sumber daya semakin langka. Negara-negara besar telah mulai mengesahkan "Pencairan Populasi" program yang mengizinkan satu individu untuk menghapus nyawa orang lain untuk tujuan pengurangan jumlah penduduk.
Kota ini, yang dulunya berkilau dengan cahaya kehidupan, kini hanyalah sebuah kenangan. Gedung-gedung tinggi yang menjulang hanya terlihat seperti bayangan, diselimuti oleh polusi udara dan kesedihan yang mencekam. Jalanan yang dulunya padat dengan aktivitas kini lebih mirip dengan area perang. Ratusan orang berlalu-lalang tanpa tujuan yang jelas, seakan-akan mereka sudah tak lagi peduli pada apa yang terjadi di sekitar mereka.
Di sebuah apartemen kecil di lantai dua, Sofia duduk di meja makan yang penuh dengan kertas dan dokumen. Matanya menatap kosong ke sebuah dokumen yang tergeletak di depannya. Sebuah formulir yang menunjukkan bahwa dia adalah salah satu "terpilih" untuk melaksanakan tugas berikutnya. Pembunuhan. Tugasnya adalah mengeksekusi seorang pria bernama Daniel Kline, yang memiliki angka 217, yang berarti dia sudah melebihi kuota kelangsungan hidupnya. Setiap individu yang memiliki angka di bawah 500 dianggap berisiko tinggi dan merupakan kandidat potensial untuk dieksekusi demi mengurangi populasi yang berlebih.
Sofia tahu betul bahwa angka 217 menandakan bahwa Daniel sudah tidak lagi diperlukan dalam sistem yang ada. Jika dia tidak menghabisi nyawa pria itu, sistem akan mencari cara untuk menghilangkan dirinya, karena dia tidak menjalankan perannya. Pembunuhan adalah kewajiban, dan itu telah menjadi hukum yang tak bisa ditentang.
Namun, di dalam hatinya, sebuah keraguan mulai tumbuh. Angka 217 adalah angka yang diberikan kepada Daniel bukan karena dia melakukan kesalahan, tetapi hanya karena ia termasuk dalam kategori yang telah ditentukan oleh otoritas. Angka yang mengidentifikasi siapa yang akan hidup dan siapa yang harus mati merupakan kekuatan yang mengatur segala hal. Sofia sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah hidupnya, atau hidup siapa pun, benar-benar tergantung pada angka ini?
Dia menggenggam formulir itu dengan erat. "Tidak ada pilihan," bisiknya. "Tidak ada yang bisa dipilih lagi."
Di luar apartemen, suara langkah kaki yang cepat bisa terdengar. Itu adalah langkah-langkah pelatihannya, langkah yang tidak pernah terlambat. Sejak usia lima belas, Sofia sudah dilatih untuk menjadi salah satu "Penyelesai", orang-orang yang dilatih untuk melaksanakan eksekusi berdasarkan surat perintah yang diberikan oleh pemerintah. Dengan demikian, dia sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa kematian bisa datang kapan saja, untuk siapa saja. Bahkan untuk orang yang tidak dikenalnya.
Meskipun telah terbiasa dengan kenyataan ini, Sofia tetap merasa ada yang salah. Ketika pertama kali menerima perintah eksekusi, dia merasa tidak lebih dari sekadar alat. Alat untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Namun hari ini, perasaan itu semakin menggerogotinya, seperti sebuah benang halus yang menarik hati dan pikirannya.
Kenapa mereka harus mati? Dan siapa yang benar-benar membuat keputusan ini? Apakah ada cara lain selain pembunuhan untuk mengurangi populasi? Atau ini hanya cara yang disetujui oleh sistem untuk mengendalikan semuanya?
Pikirannya melayang ke masa kecilnya. Sofia teringat bagaimana dulu dia bermain dengan teman-temannya di luar ruangan, di bawah sinar matahari, menikmati dunia yang penuh harapan. Semua itu kini hanya kenangan samar yang terhapus oleh kenyataan yang keras. Dunia telah berubah, dan dia tidak tahu lagi siapa yang harus dia percayai.
"Tapi aku tidak bisa lari," bisiknya pada diri sendiri. "Aku harus melakukannya. Aku tidak punya pilihan."
Dengan berat hati, Sofia melangkah ke pintu apartemennya dan menutupnya rapat. Ke luar, di jalanan yang penuh sesak, dia bisa melihatnya lagi sekelompok orang yang berjalan seperti robot, tidak menunjukkan emosi. Mereka hanya melangkah, mengikuti rutinitas harian mereka.
Sofia menahan napasnya sejenak. Dia tahu betul bahwa jika dia tidak melakukan tugasnya, hidupnya juga akan terancam. Tidak ada yang aman di dunia ini. Setiap orang berjuang untuk bertahan hidup, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan orang lain.
Dengan langkah mantap, Sofia melangkah ke kerumunan, menuju tujuannya yang sudah ditentukan. Pembunuhan adalah bagian dari hidupnya, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Tetapi, di dalam hatinya, ada seberkas pertanyaan apakah ada cara lain untuk menyelamatkan dunia ini tanpa harus membunuh?
Di tengah kerumunan, Sofia merasakan desakan yang semakin kuat. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang berjuang untuk tempat mereka, dan dia harus melakukannya juga. Mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan seratus lainnya apakah itu benar? Dan jika ini adalah yang benar, apakah dunia ini masih layak untuk diselamatkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
When Life Becomes a Number
Mistero / ThrillerKetika kehidupan menjadi sebuah angka. Karya : Sausan Nabila ⚠️ PERINGATAN ⚠️ ⚠️ DILARANG PLAGIAT/MENIRU KARYA ⚠️