Happy reading all
-------------------------------------------------Chika kembali menatap cermin di sudut kamarnya. Sudah berapa lama ia memandang bayangan diri tanpa benar-benar mengenali sosok yang ada di sana? Wajah yang tampak begitu lelah, mata yang sembab, dan bibir yang tak lagi menampilkan senyuman. Setiap kali ia menatap pantulan itu, ia seolah melihat orang asing—seseorang yang berbeda dari dirinya yang dulu.
Suasana kamar Chika begitu tenang, hanya diterangi oleh remang lampu meja yang hampir kehabisan energi. Setiap benda di dalam ruangan itu terlihat tenang, seolah mengerti perasaan yang Chika rasakan. Di sini, di dalam ruang sempit yang menjadi saksi semua perasaan yang tak pernah terungkap, ia merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri, untuk melepaskan semua rasa sakit yang tersembunyi.
Malam semakin larut, dan Chika kembali tenggelam dalam perasaan yang sama, seperti malam-malam sebelumnya. Hatinya sesak oleh perasaan yang tak pernah ia bisa sampaikan. Seluruh tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena fisik, tetapi karena beban yang terus menumpuk di dalam pikirannya.
Pikirannya berputar pada Fiony, sosok yang sejak beberapa bulan lalu berhasil mengubah hidupnya. Awalnya, Fiony adalah sosok yang mampu menghadirkan warna dalam hari-harinya. Gadis itu hadir dalam hidupnya dengan cara yang lembut, tetapi pasti. Setiap tatapan, senyuman, dan kata-katanya berhasil membuat Chika merasa istimewa, merasa seolah ia benar-benar berarti bagi seseorang.
Namun, seiring berjalannya waktu, kehadiran Fiony perlahan-lahan berubah. Chika mulai merasakan ada jarak di antara mereka yang semakin lebar, meskipun Fiony selalu mengatakan bahwa ia ada untuk Chika. Ia merindukan sosok Fiony yang dulu, seseorang yang tak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara emosional. Kini, Fiony seakan hanya bayangan yang hadir sesekali, memberikan janji yang tak pernah ditepati, meninggalkan pesan yang sering kali tak terbalas.
Chika sering kali mencoba mengungkapkan perasaannya, mengungkapkan betapa ia merindukan Fiony yang dulu. Namun, setiap kali ia berbicara, Fiony hanya menjawab singkat, seolah-olah tidak mengerti kedalaman perasaan Chikq. "Aku di sini, Kak. Jangan khawatir," itulah kalimat yang selalu Fiony katakan. Tetapi entah mengapa, kalimat itu kini terasa hampa, seperti janji tanpa makna.
Chika semakin tersesat dalam pikirannya sendiri, merasa seolah-olah ia hidup dalam dua dunia yang berbeda. Di dunia luar, ia selalu mencoba terlihat kuat, mencoba tersenyum di depan orang lain, bahkan di hadapan Fiony. Namun, di dalam kamarnya, ia tak lagi mampu menyembunyikan kelemahan yang selama ini ia pendam.
Malam itu, Chikq tak mampu lagi menahan air mata. Ia menangis dalam diam, menahan suara tangisnya agar tak terdengar oleh siapa pun. Di setiap tetes air mata yang jatuh, ia merasakan sedikit beban yang terlepas dari hatinya. Namun, di saat yang sama, ia juga merasa semakin kosong.
"Apa aku tak cukup berharga bagimu, Fio?" tanyanya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu tidak ada jawaban yang akan datang.
Chika menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia merasa sangat lelah, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana harus melepaskan perasaan itu. Ia mencoba mengingat setiap momen indah yang pernah ia lewati bersama Reno, tetapi semakin ia mencoba, semakin sakit hatinya terasa.
Lalu, seiring waktu berlalu, Chika mulai merasakan bahwa ia harus membuat pilihan. Apakah ia akan terus bertahan dalam hubungan yang membuatnya menderita, ataukah ia harus berani melepaskan Fiony meskipun hatinya belum sepenuhnya siap? Dalam keheningan malam itu, ia sadar bahwa pilihan ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang dirinya sendiri.
Chika menyadari bahwa ia harus mencintai dirinya sendiri sebelum berharap untuk dicintai oleh orang lain. Ia harus belajar untuk merawat lukanya sendiri, untuk menerima bahwa terkadang, melepaskan seseorang adalah cara terbaik untuk menyembuhkan diri. Chika ingin percaya bahwa di balik setiap rasa sakit, ada pembelajaran yang bisa ia ambil.
Malam itu, Chika mengambil kertas dan pena. Ia menulis surat untuk Fiony, bukan untuk dikirimkan, tetapi untuk melepaskan semua perasaan yang ia pendam. Ia menuangkan seluruh isi hatinya, menulis tentang rasa sakit, kekecewaan, dan kesepiannya. Ia menulis hingga ia merasa tak ada lagi yang tersisa untuk dikatakan.
Di akhir suratnya, Chika menulis satu kalimat yang paling ia rasakan, "Jika saja kamu bisa melihatku menangis di kamarku, mungkin kamu akan mengerti betapa aku merindukanmu."
Ketika ia selesai, Chikq merasa sedikit lega. Surat itu bukan sekadar curahan hati, tetapi sebuah bentuk penerimaan, sebuah langkah awal untuk melepaskan. Ia melipat surat itu dengan rapi dan menyimpannya di bawah bantal, lalu berbaring di kasur sambil memejamkan mata.
Malam itu, di dalam kesunyian kamarnya, Chika berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba bangkit, untuk mulai mencintai dirinya sendiri lagi. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia berhak untuk bahagia.
Beberapa hari berlalu setelah malam itu, dan Chika mulai mencoba untuk menjalani hidupnya dengan cara yang baru. Ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri, mencoba mencari kembali hal-hal yang membuatnya bahagia. Meskipun hatinya masih sering merindukan Fiony, ia mencoba untuk tidak terjebak dalam kenangan masa lalu.
Setiap malam, Chika masih merasakan kesepian yang sama, tetapi ia mulai menemukan kekuatan dalam kesendiriannya. Ia mulai menulis setiap kali ia merasa sedih, menemukan pelipur dalam kata-kata yang ia tuangkan di atas kertas. Perlahan-lahan, menulis menjadi tempat di mana ia bisa menemukan kedamaian, cara untuk merangkul luka-lukanya sendiri.
Pada suatu malam, Chikq membuka surat yang pernah ia tulis untuk Fiony. Ia membaca setiap kata dengan hati yang lebih tenang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perasaannya tidak lagi sebesar dulu. Ia masih merindukan Fiony, tetapi rasa sakit itu tidak lagi mendominasi hidupnya.
Chika tersenyum pada dirinya sendiri, merasa bangga karena ia telah mampu melewati masa-masa sulit itu. Kini, ia merasa lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih mencintai dirinya sendiri. Meskipun ada bagian dari hatinya yang masih menyimpan kenangan tentang Reno, ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja.
Di akhir malam itu, Chika kembali menatap cermin. Namun kali ini, ia tidak lagi melihat orang asing di sana. Ia melihat dirinya sendiri, seseorang yang lebih kuat, lebih tenang, dan siap untuk menghadapi dunia dengan senyuman yang tulus. Kamar itu, yang pernah menjadi tempatnya menangis dalam kesendirian, kini menjadi saksi dari perjalanan penyembuhan dirinya.
Dan malam itu, di dalam keheningan yang sama, Chika berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan baik-baik saja."
-------------------------------------------------
Cerita Chika menjadi bukti bahwa terkadang, kita harus kehilangan untuk menemukan diri kita sendiri. Kadang kita harus melalui rasa sakit yang mendalam agar bisa bangkit lebih kuat, dan mencintai diri sendiri dengan lebih tulus.
-------------------------------------------------
First up nieh,vote yaa!!
YOU ARE READING
Oneshoot jkt48
Short Story"Saya memang tidak bisa nulis tapi saya punya cerita yang tertanam di otak saya" "Saya mengambil makna setiap oneshoot dari lagu lagu terkenal"