My Silent Lover : 01

25.6K 1K 9
                                    

Luca (Bottom) :

Luca (Bottom) :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  

Samuel (Top) :

Samuel (Top) :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

James (Top) :

Felix (Bottom) :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Felix (Bottom) :

Felix (Bottom) :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Happy Reading......







Luca berdiri canggung di depan gerbang besar sekolah elit itu. Dengan bangunan megah yang menjulang tinggi, dinding-dindingnya terbuat dari marmer putih dan lapangan rumput hijau terhampar sempurna di depannya. Ini bukan dunia yang biasa Luca jalani. Semua terasa begitu asing dan dingin. Anak-anak berseragam rapi berlalu-lalang di sekitarnya dengan senyum percaya diri, jelas sekali mereka sudah terbiasa dengan kemewahan.

Saat berjalan masuk, perasaan tak nyaman itu semakin besar. Luca bisa merasakan tatapan-tatapan heran dari beberapa siswa yang melintas, seolah mereka tahu dia tidak sepantasnya ada di sana. Tapi, dia tak punya pilihan. Sekolah ini adalah tempat barunya sekarang, mau tidak mau dia harus bertahan.

Di ruang aula, Luca dipanggil ke depan oleh guru wali kelasnya. “Anak baru, silakan perkenalkan diri,” kata sang guru dengan nada ramah. Semua mata langsung tertuju padanya. Luca menelan ludah, tangannya gemetar sedikit saat dia membuka ranselnya, mengeluarkan kertas dan pulpen. Dia tahu, tak ada gunanya mencoba berbicara.

Dengan hati-hati, Luca menuliskan sesuatu di atas kertas itu. Tangannya sedikit gemetar, karena ia merasa gugup. Setelah selesai menulis, dia mengangkat kertas itu dan memperlihatkannya ke seluruh kelas. Di atas kertas itu tertulis, "Namaku Luca, semoga kita bisa menjadi teman."

Suasana kelas hening sejenak, lalu beberapa anak mulai berbisik-bisik. “Apakah dia bisu?” terdengar salah satu suara dari barisan belakang. Luca tidak bisa mendengar langsung, tapi dia bisa membaca ekspresi orang-orang. Beberapa anak tampak bingung, sementara yang lain sudah terlihat bosan.

Guru itu tersenyum, sedikit canggung, tapi dia mencoba menjaga suasana tetap santai. “Baiklah, Luca, kamu bisa duduk di sana,” katanya sambil menunjuk kursi kosong di barisan belakang. Luca segera melangkah ke tempat duduknya, berusaha mengabaikan tatapan tajam yang mengikutinya sepanjang jalan.

Ketika hendak duduk, Luca merasa ada yang memperhatikan dari kejauhan. Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam rapi menatapnya tanpa senyum, matanya tajam dan penuh rasa kebencian. Luca menoleh sedikit kearahnya, ia sontak terkejut saat menyadari ternyata itu adalah adik tirinya. Luca berpura-pura tidak melihatnya dan menunduk, membuka bukunya.

Pelajaran dimulai, tapi pikiran Luca melayang-layang. Dia merasa terasing dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Luca tidak mengira bahwa ayahnya akan menempatkan dirinya satu kelas dengan adik tirinya, padahal mereka dari awal tidak pernah akrab.

Di waktu istirahat, Luca memilih untuk duduk di pojok halaman sekolah. Dia tidak tahu harus pergi ke mana atau dengan siapa dia bermain, jadi dia mengambil kertas dan mulai menulis sembarangan diatasnya, mencoba untuk menenangkan pikirannya.

Tiba-tiba, bayangan seseorang datang menghalangi cahaya matahari, membuat Luca sontak menoleh keatas. Felix, adik tirinya datang menghampirinya dengan tatapan tajam. Dia duduk di samping Luca dan membisikkan kata-kata jahat padanya.
"Bisu sialan, jangan sampai ada yang tau kalo kita punya hubungan keluarga."

"Dan jangan sampai sesekali kau mengampiriku dikelas!!"

Karena Luca tidak bisa menjawab ia hanya mengangguk tanda ia mengerti. Sesudah mengucapkan 2 kalimat singkat namun menusuk itu Felix berdiri, menatap Luca dengan mata yang dingin, lalu berlalu pergi begitu saja. Luca menarik napas panjang, menatap ke arah kertas yang ada di tangannya. Kata-kata Felix terus terngiang di kepalanya, tetapi Luca sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Felix selalu membencinya sejak kecil meskipun umur mereka hanya berbeda 5 bulan saja. Felix bertindak seolah-olah keberadaan Luca sendiri adalah sebuah kesalahan.

Luca berjalan perlahan kembali ke kelas saat jam istirahat hampir berakhir. Saat masuk, ia melihat Felix sedang bercanda dengan teman-temannya, seperti tak ada yang terjadi. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sebenarnya bersaudara. Felix memang pandai menutupi kebencian di depan orang lain, tapi Luca selalu bisa melihatnya dengan jelas.

Pulang sekolah, Luca melihat Felix membawa motornya sendiri sedangkan dirinya harus berjalan kaki, ia hendak naik bus tapi ia tidak di beri uang jajan sepersen pun oleh ayah dan ibu tirinya dengan alasan karena sebelum berangkat sekolah ia sudah dibuatkan sarapan dan bekal oleh pembantunya.

Ketika hendak menyeberang jalan, pikirannya melayang. Tanpa memperhatikan sekeliling, Luca melangkah begitu saja ke tengah jalan. Tiba-tiba, suara klakson mobil yang keras mengagetkannya. Sebuah mobil mewah melaju kencang ke arahnya. Luca membeku di tempat, tidak sempat bereaksi

Mobil itu berbelok mendadak untuk menghindarinya, tetapi akhirnya kehilangan kendali dan menghantam tiang listrik di tepi jalan dengan keras. Luca terhuyung mundur, terkejut dan jantungnya berdegup kencang. Ia baru saja hampir menyebabkan kecelakaan besar.

Pintu mobil terbuka, dan seorang pria muda dengan seragam sekolah yang sama seperti Luca keluar dengan wajah marah. Dia tampak sangat kesal, matanya tajam menatap Luca. “Apa kau gila?! Tidak bisa lihat jalan?! Kau hampir saja membuatku mati tadi!” teriaknya.

Luca berusaha mengangkat tangan, mencoba menjelaskan, tetapi dia tidak bisa mengeluarkan suara. Pria itu semakin marah melihat Luca yang hanya diam. “Kenapa diam saja? Kau tuli juga? Atau bisu?” bentaknya lagi, kini dengan nada yang lebih tajam.

Luca merogoh saku dan mengeluarkan kertas serta pulpen. Tangannya gemetar ketika ia menulis sesuatu di kertas itu. "Aku bisu. Maaf, aku tidak sengaja." Dia menyerahkan kertas itu kepada pria tersebut, berharap amarahnya sedikit mereda.

Pria itu membaca tulisan di kertas, kemudian mendengus pelan.
"Sialan.." umpatnya pelan.

Luca hanya bisa menunduk, merasa bersalah dan tidak tahu harus bagaimana. Pria itu berjalan ke arah mobilnya yang penyok di bagian depan, tampak frustasi. Dia menendang roda mobilnya pelan, lalu kembali menatap Luca.

"Sini, ikut aku.." pria itu melambai kearahnya. Dengan polosnya Luca mengikuti instruksinya.

"Masuk sekarang..."

Luca mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi seolah-olah hendak bertanya mengapa.

Karena tidak suka bertele-tele pria itu membuka pintu mobilnya dan mendorong masuk Luca kedalamnya yang kemudian disusul pria itu duduk disampingnya sebagai pengemudi.

"Maaf saja tidak cukup" gumam pria itu sebelum menyalakan mesin mobilnya.






My Silent Lover [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang