See Ya

2 0 0
                                    

Everybody come.

Everybody go.

Gelak tawa. Kesenduan. Semua datang dan pergi. Tidak ada yang dapat menghentikan.

Dari bangku taman ini, kusaksikan orang-orang itu berlalu lalang. Datang, lalu pergi.

"Kakak...."

Ia pun datang. Tanpa kutahu kapan ia akan pergi meninggalkanku.

Ia menghampiriku dengan wajah masam.

Aku tahu aku salah, karena kami janjian di tempat lain, bukan di taman ini. Aku tertawa. Melihat tingkahnya yang menggemaskan, menurutku. Tidak dapat kupungkiri, aku memang sengaja membuatnya kesal saat ini. Karena aku tahu, ia tidak akan pernah membencinku. Seburuk apapun keadaannya.

"Ayo...." Ia bergelayut di lengan kananku. "Kita ke taman bermain. Kakak kan udah janji."

Aku mengangguk.

Tanpa pikir panjang, kami langsung berangkat.

Hari semakin larut. Ia terus tersenyum sepanjang hari. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Apa aku membuatnya bahagia? Syukurlah jika memang begitu.

Waktu seakan melambat. Tuhan sangat baik sekali, mengizinkanku lebih lama melihatnya bahagia seperti ini. Akan aku simpan baik-baik momen ini dalam memoriku.

Hubungan kami tidak terlalu baik sejak awal. Tapi. Aku mengajaknya untuk menjadi satu. Dan ia pun menyetujuinya yang juga menyadari hubungan kami yang tidak terlalu baik.

Inilah yang dinamakan benci tapi cinta. Akhirnya aku paham makna kalimat tersebut.

Ya. Aku tadi memang bilang kalau ia takkan pernah membenciku. Tapi pada nyatanya ia memang membenciku. Itulah hubungan kami. Saling membenci dan kesal satu sama lain, yang kami artikan sebagai salah satu bentuk cinta, dan kasih sayang.

"Kakak nggak mau makan?" Ia menatapku yang sedang memandanginya dalam tenang. "Kenapa aku doang yang makan?"

Lagi-lagi aku tersenyum.

Ia sangat pengertian dan perhatian, diam-diam.

"Udah, makan aja. Belum makan 'kan dari pulang sekolah."

Ia menggeleng sambil tersenyum. Manis.

Andai saja umurnya sudah mencukupi, pasti aku sudah memilikinya seutuhnya saat ini. Sesuatu yang saat ini kusesalkan. Tapi itu ketetapan Tuhan. Tidak ada yang bisa mengubahnya dan menyalahinya. Aku menghela napas diam-diam.

Kami melanjutkan malam membahagiakan ini.

"Kak, ayo foto." Ia menarikku menghampiri komidi putar di taman bermain ini. Spot romantis yang disukai para pasangan.

Setelah pasangan lain selesai, ia kembali menarikku. Dan dengan tanpa malunya, ia meminta orang untuk memfotokan kami.

Kami pun berpose. Saling berhadapan

Di sini cahayanya terlalu terang. Membuatku kesulitan untuk memandangnya. Tapi aku masih dapat melihat senyum cerianya.

Ia tak pernah melepaskan genggamanku. Tangan mungilnya terasa sangat lembut membelaiku dengan hangat. Satu hal lagi yang tidak ingin aku lupakan.

"Gimana? Udah puas?" Tanyaku padanya saat kami berjalan di trotoar di pusat kota.

"Bukannya nggak akan pernah ada rasa puas untuk sesuatu yang dinamakan kebahagiaan?" Ia menyentakku, tanpa sadarnya. Walaupun nadanya sangat halus.

See Ya [Short Story / Cerpen by Alunara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang