"Kamu ada Tionghoa dari pihak mana?"
"Hah?" Bukannya menjawab, aku malah bertanya balik. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan dari atasanku tersebut dengan apa. Lebih tepatnya tidak mengerti.
Apakah rupaku tidak mencerminkan orang Indonesia? Aku memang suka hiburan, budaya, alam dan musim negara asing. Bahkan aku mempelajari bahasa mereka. Apakah hal tersebut merubah rupaku menjadi seperti mereka? Tidak– Apakah hal tersebut merubah identitasku?
Suatu hari aku pergi nongkrong dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama, menyukai idola dan hiburan dari Negeri Ginseng. Tentunya kami nongkrong di rumah makan negara tersebut.
Teman-teman menyampaikan pendapat tentang makanan di sana yang sudah pernah mereka cicipi terlebih dahulu ketimbang aku. "Yang ini enak," "Yang ini enak," "Ini juga enak," ujar mereka.
Aku pun memesan dengan mempertimbangkan ulasan singkat teman-temanku.
Hidangan sampai dan aku menyuapkan suapan pertama.
Lidahku kelu. Aku menahan bibirku untuk tidak meringis. Air mataku ingin keluar. Padahal masih di Indonesia, tapi kenapa aku merindukannya? Aku merindukan cita rasa masakan Indonesia. Sambil berusaha menghabiskan santapan luar negeri ini aku berpikir, dan aku mencerna bahwa lidah ini dengan jelas mengatakan kalau aku memang orang Indonesia. Aku menangis dalam hati dan merencanakan untuk makan masakan Indonesia setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lidah yang Berkata
Non-FictionTulisan ini terpilih untuk dipamerkan di online exhibition "Am I an Indonesian?" Ilustrasee.com/pameran yang diselenggarakan oleh ILUSTRASEE X WIUI (What Is Up, Indonesia?" pada 17 Agustus 2024 - 17 September 2024.