10

266 39 4
                                    

Malam semakin larut, membawa kegelapan yang pekat ke setiap sudut ruangan yang hanya dihuni dua jiwa yang saling terpaut erat, terikat dalam ikatan yang rumit dan membingungkan. Di tengah kesunyian malam itu, hanya terdengar suara napas halus dan detak jam yang berjalan pelan. Suasana terasa sunyi, namun Sing masih terjaga. Pikirannya melayang jauh, tertarik oleh bayangan kejadian yang belum lama mereka alami sore tadi. Sementara di sisinya, Zayyan terbaring dalam pelukannya, tenggelam dalam lelap yang damai.

Ingatan tentang sore di bukit itu kembali menyeruak, saat seorang pemuda misterius tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Sejak saat itu, ada firasat yang menghantui pikirannya, firasat yang membuatnya gelisah. Pemuda asing itu datang tanpa peringatan, hanya membawa aura yang menimbulkan kegelisahan dalam hati Sing. Entah mengapa, Sing merasa kehadirannya adalah sebuah peringatan, sebuah tanda yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah mereka kembali dari bukit, Sing sempat bertanya pada Zayyan tentang pemuda asing itu. "Apakah kau mengenalnya?" tanyanya dengan nada datar, mencoba menyembunyikan gejolak yang sebenarnya. Namun Zayyan hanya menggeleng pelan. “Tidak... aku tidak tahu siapa dia,” jawab Zayyan dengan yakin. Meski jawabannya terdengar pasti, bagi Sing, ada sesuatu dalam sikap Zayyan yang membuatnya ragu. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan, atau mungkin... terlupakan. Sing tak bisa menyingkirkan pikiran bahwa meskipun Zayyan mungkin tak mengenal pemuda itu secara sadar, di dalam dirinya ada tanda-tanda samar yang tak bisa disembunyikan. Sing melihat ada keakraban di mata Zayyan ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu—keakraban yang membuat dada Sing terasa sesak, membuatnya merasa... terancam.

Sing menghela napas panjang. Ia tak tahu sejak kapan sosok Zayyan mulai berarti sedalam ini baginya. Mungkin awalnya hanyalah rasa penasaran, namun perlahan rasa itu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih menggugah. Sekarang, ia tak lagi peduli apa yang telah terjadi di masa lalu Zayyan, atau mengapa pemuda itu kehilangan sebagian dari ingatannya. Yang ia tahu, ia tak akan membiarkan siapa pun merebut Zayyan darinya. Tak ada seorang pun yang boleh memasuki dunia mereka, termasuk pemuda asing itu.

"Aku mencintaimu, Zayyan," bisik Sing dalam kesunyian malam, sambil mengecup lembut kening Zayyan. "Sangat mencintaimu." Ia tak pernah menyangka bahwa seseorang akan mampu menggugah perasaannya sedalam ini, memberi warna di tengah kelam yang selama ini menguasai hidupnya. Zayyan adalah satu-satunya harapan yang ia miliki, satu-satunya yang membuatnya merasa hidup. Di dalam hatinya, Sing berjanji tak akan ada yang mampu memisahkan mereka. Ia rela melakukan apa saja demi mempertahankan Zayyan di sisinya.

Sing mulai memejamkan mata, membiarkan kantuk perlahan-lahan membawanya ke alam mimpi. Namun, baru saja Sing hendak menyerah pada kantuk yang semakin dalam, terdengar bisikan lirih yang merayap keluar dari bibir Zayyan, memecah kesunyian yang menyelimuti ruangan.

Suara itu kecil, hampir seperti hembusan angin, namun menggugah Sing dari keinginannya untuk tertidur. Nada lirih yang mengandung kesedihan membuat Sing terjaga sepenuhnya, memusatkan perhatian pada sosok Zayyan yang masih tenggelam dalam tidur, namun dengan raut wajah yang kini tampak sedikit muram. Sing merasa ada sesuatu yang berbeda, seolah kata-kata yang keluar itu menyimpan beban tak kasat mata yang meresahkan.

"Jangan... jangan pergi... aku mohon... maafkan aku..."

Sing menajamkan pendengarannya, pandangannya tak lepas dari wajah Zayyan yang mulai gelisah dalam tidurnya. Pipi Zayyan terlihat berkilauan, basah oleh air mata yang mulai mengalir tanpa suara. Sing menepuk lembut pipi Zayyan, mencoba membangunkannya dari mimpi buruk yang tampaknya semakin menghantuinya.

"Aku mohon, jangan tinggalkan aku... Maafkan aku...."

Sing semakin gelisah, hatinya terasa teriris mendengar suara penuh kepedihan dari bibir Zayyan. Ada rasa sakit yang tersembunyi di balik kata-kata itu, perasaan yang begitu dalam, seolah-olah pemuda itu sedang berusaha mempertahankan sesuatu yang sangat berharga namun perlahan-lahan menghilang. Melihat Zayyan yang tenggelam dalam kesedihan itu, Sing merasa jantungnya berdenyut keras, seakan ikut merasakan kepedihan yang dialami Zayyan dalam mimpinya.

Namun tiba-tiba, Zayyan berteriak keras, memecah kesunyian malam yang pekat.

"Leo... tunggu!"

Mata Zayyan terbuka lebar, napasnya terengah-engah, seakan baru saja lari dari mimpi buruk yang menyiksa. Tatapan matanya tampak kosong sejenak, mencoba menyadari kenyataan di sekitarnya, sebelum akhirnya ia mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Sing menatapnya dengan perasaan campur aduk, antara khawatir dan cemburu yang mendesak dalam dadanya. Di benaknya, nama "Leo" terngiang tajam, menusuk dengan perasaan cemburu yang tak bisa ia tahan.

Dengan suara yang dingin dan datar, ia akhirnya bertanya, "Siapa Leo?"

Zayyan tersentak mendengar suara Sing. Baru kini ia menyadari kehadiran pemuda itu di sampingnya, menatapnya dengan mata tajam yang seolah tak mau melepaskan pandangannya. Tatapan itu membuat Zayyan merasa tertekan, seakan-akan pandangan Sing menembus ke dalam jiwanya, mencari kebenaran yang ia sendiri tak mampu jelaskan.

"Bu-bukan siapa-siapa," jawab Zayyan tergagap, berusaha mengendalikan kegugupannya dan mengalihkan pandangannya. Namun Sing tak melepaskannya begitu saja, tatapannya tetap tajam dan dingin, mengunci pandangan Zayyan.

"Jujur padaku, Zayyan," desak Sing dengan suara penuh ketegasan. "Aku tahu kau memimpikan seseorang. Siapa dia? Apa yang telah terjadi antara kalian?"

Zayyan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Bayangan mimpi tadi kembali melintas di benaknya, membangkitkan perasaan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kenangan itu berasal dari pemilik tubuh ini yang tak sepenuhnya ia pahami, namun ia tak sanggup mengungkapkan kebenaran itu pada Sing. Jantungnya berdebar cepat, namun ia tahu bahwa kejujuran bukanlah pilihan yang tepat saat ini.

Kesabaran Sing mulai memudar, dan dengan gerakan tiba-tiba, ia menahan Zayyan di bawah tubuhnya, mencengkeram bahunya dengan kuat. "Dengar, Zay," bisiknya tajam, suaranya penuh emosi yang terpendam. "Sejak kau setuju untuk menjadi milikku, tak ada lagi kesempatan bagimu untuk pergi. Kau milikku, dan akan selalu menjadi milikku." Ucapnya penuh penekanan, kata-katanya seolah menjadi ultimatum yang menutup segala ruang bagi Zayyan untuk mundur

Tanpa memberi Zayyan kesempatan untuk berkata-kata, Sing menundukkan wajahnya dan mencium bibir Zayyan dengan intensitas yang penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar ungkapan cinta, melainkan sebuah deklarasi yang jauh lebih dalam. Sing ingin mengukir perasaannya dalam diri Zayyan, ingin menandai pemuda itu sebagai miliknya, hanya miliknya.

Zayyan terkejut, mencoba menolak, namun tubuhnya terasa lemah di hadapan kekuatan Sing. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Sing sedang dikuasai oleh perasaan cemburu yang mendalam, perasaan yang membuatnya seolah kehilangan akal. Namun setiap kali Zayyan mencoba melawan, Sing semakin mendesak, seolah ingin menunjukkan bahwa tak ada satu pun yang bisa menghalangi keinginannya untuk memiliki Zayyan seutuhnya. Sing ingin menghapus bayangan siapa pun yang mungkin pernah hadir di hati Zayyan, termasuk sosok bernama Leo yang baru saja ia dengar.

Dengan nafas memburu, Zayyan akhirnya menyerah dalam dekapan kuat Sing, merasa tubuhnya diliputi perasaan yang berbaur antara cinta, cemas, dan ketakutan yang samar. Dalam kegelapan malam yang pekat, tubuhnya kini dikuasai oleh Sing, namun pikirannya masih terjebak dalam bayangan samar yang perlahan meresap ke dalam hatinya—perasaan pada sosok yang tak sepenuhnya ia ingat, namun begitu melekat di alam bawah sadarnya.

Sementara itu, di hati Sing, ada kepuasan yang aneh dan gelap ketika ia merasa Zayyan sepenuhnya miliknya malam itu. Di balik ciuman yang semakin dalam, ia ingin memastikan bahwa apa pun kenangan yang mungkin pernah terjalin antara Zayyan dan orang lain, tak akan mampu merebut posisi dirinya dalam hati pemuda itu.

Namun, di balik rasa puas itu, Sing juga merasa ketakutan yang ia coba pendam. Seperti bayangan gelap yang mengintai, kehadiran Leo, baik di dalam mimpi maupun kenyataan, kini menjadi ancaman yang ia tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Dan dalam malam yang kelam itu, Sing berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa Zayyan tetap bersamanya, sampai kapan pun.






















To be continued......

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang