#13. Stadium Empat

97 19 3
                                    

Suasana di ruangan Pradita Damar Mardani siang ini ricuh bin rusuh. Bagas, sang sekretaris, sudah tidak bisa mengendalikan suasana. Oji, sang office boy, seperti gangsing bergerak kesana-kesini.

"Gas, pecel lele gw yang mana?" teriak Radit.

Belum selesai, Yuan ikut membuat rusuh. "Gw kagak mau kemangi, ada yang mau gak nih?" Setangkai kemangi melayang-layang di udara. "Woy, gak ada yang mau? Gw buang nih."

"Jiiii," teriak Gasim tidak mau kalah. "Gw kan udah bilang gak pake bawang goreng." Sambil nunjukin bungkus nasinya.

"Ya ampun Bapak, itu kan ada tiga bungkus. Coba di cek satu-satu." Dan setelah di cek memang ada nasi yang tanpa bawang goreng. Pak Gasim, Pak Gasim, bacot mu itu lho Pak, tentu hanya diucap dalam hati Oji, karena kalau diucap lantang tentu nyawanya terancam.

Damar tetap fokus duduk di kursinya, memandangi aksi teman-temannya yang bacotnya menyaingi preman terminal. Sesekali ia memandangi ponselnya menunggu kabar dari Naya. Beberapa hari yang lalu perempuan itu meminta bantuannya. Namun setelah bantuan didapatkan hingga kini tak terdengar kabarnya, selain ucapan terima kasih.

Selalu seperti ini. Naya selalu sulit memberikan kabar, namun jika sudah bertemu langsung ia akan menjadi gadis yang cerewet dan banyak bercerita, bahkan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.

"Mardani, lo gak mau makan?" teriak Gasim dari meja rapat di ruangan Damar yang kini berubah jadi meja makan.

Damar segera bangkit dari kursinya, berjalan malas menghampiri teman-temannya. Mati-matian ia sudah menolak ide Yuan untuk makan siang di ruangannya. Tapi Gasim berkukuh kangen pecel lele di gang belakang kantor Harsa Grahita. 

Namun saat ia menghampiri piring makanannya, terasa ada yg kurang.

"Es Podeng gw mana Ji?" tanya Damar.

Raut ragu, takut dan khawatir semua berkumpul di wajah Oji, sambil pelan-pelan menunjuk ke salah satu peserta makan siang. "Itu Pak, diambil Pak Radit. Saya udah bilang itu pesanan Bapak."

"Babi, emang si Radit." Satu tangkai kemangi pun sukses melayang.

🍒 ----------- 🍒

Suasana ruangan Damar sudah jauh lebih tenang sekarang, para peserta sibuk mengusap perut mereka yang kekenyangan. Tinggal pecel lele, es podeng dan rujak buah bertarung di dalam sana. 

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," ucap Yuan fasih, memulai pembicaraan. Memimpin pembahasan penting empat sekawan tampan, menawan dan menuju lansia ini.

"Bahlul ngapain pake salam? Udah log-in lo?" Sebuah tepakan dari seorang Gasim Alatas tepat mendarat di belakang kepala Yuan, yang notabene seorang penganut ajaran Sidharta Gautama. "Buruan, lo mau ngomong apa?"

Yuan mengelus-elus manja belakang kepalanya yang terasa panas. Mantab juga Arab satu ini, tepakannya.

"Jadi gini brodie, investor-investor banyak yang mulai resah terkait Matur Suksma," jelas Yuan.

Matur Suksma, sesaat nama itu disebut, udara yang mencekat terasa memenuhi ruangan itu. Sekumpulan pria berusia 30-an pertengahan itu tanpa sadar menegakkan posisi duduknya.

"Mereka mau tahu kemana Sigma akan berlabuh." Satu kalimat sederhana dari Yuan, namun penuh makna.

Sigma Venture Capital adalah perusahaan pendanaan yang didirikan oleh Yuan bersama dengan ketiga sobat kentel-nya itu. Damar tentu saja dipercaya oleh Harsa Grahita untuk mengelola sebagian dana simpanan mereka di sana. Sigma VC adalah salah satu investor terbesar di Matur Suksma, bersama Ellwood Compass, VC milik sahabat Barry.

City of EchoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang