Selaras.

93 8 1
                                    

Tentang jiwa yang belajar merawat kehidupan, menemukan ritme di tengah luka, berjalan seiring, dalam langkah yang tenang menuju pulih.

Mawar Sekar Maharani, atau yang akrab disapa Ami oleh lingkaran kecilnya, kini hidup dalam sebuah kisah perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mawar Sekar Maharani, atau yang akrab disapa Ami oleh lingkaran kecilnya, kini hidup dalam sebuah kisah perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia adalah anak sulung dari dua bersaudara, dan hampir delapan tahun telah berlalu sejak ia meninggalkan rumahnya di tanah kelahirannya untuk merantau, melangkah ke Ibu Kota. Awalnya, ia hanya membawa mimpi sederhana — melanjutkan pendidikan dan kembali, namun waktu berbicara lain. Rencana awal itu berubah, ia terlalu betah untuk pulang dari rantauannya. Ia tumbuh bersama teman-teman kos, rekan-rekan kampus, hingga kini, dalam lingkup kerja yang penuh tuntutan.

Pagi di kampus berganti dengan malam-malam lembur di kantor. Menjadi 'penjaga gerbang' atau IT Security di sebuah bank swasta tak hanya memberi tanggung jawab besar, tetapi juga memberi beban yang menguji ketangguhannya. Malam-malam panjang yang dileburkan dengan kepulan kopi dan pendaran layar monitor, sementara matahari bersembunyi, menyisakan jejak lelah yang perlahan menumpuk. Tetapi tanggung jawab adalah tali yang terus menahan langkahnya, menggiringnya kembali meski tubuh dan pikirannya sering kali ingin menyerah.

Bekerja sampai larut adalah hal yang sangat normal untuk Mawar dan timnya. Ketika sistem down, ketika 'ancaman keamanan' melintas tanpa undangan, divisi Mawar-lah yang pertama kali ditunjuk. Mereka bekerja dalam bayang-bayang, tak terlihat, namun menjadi penopang stabilitas dan keamanan perusahaan.

"Mawar bisa handle ini, kan?" kalimat yang hampir seperti mantra, menghantam telinga setiap kali ada krisis.

Rasa lelah sudah menjadi teman dalam keseharian, tetapi tidak semua kelelahan menggores luka yang sama. Fisiknya menjerit, namun mentalnya kadang lebih ringkih. Ada tangis yang tak tertahan di balik senyum ketika pulang, air mata yang menyelinap di balik kaca helm ketika motor melaju menembus keramaian ibu kota. Tapi, dalam perjalanan ini, Mawar tidak sendiri.

Ada Dinda, kakak yang tak pernah absen mengirim pesan meski hanya sekadar bertanya kabar. Ada Onad dan Yanti yang sering mengajaknya keluar, sejenak melarikan diri dari rutinitas yang mencekik. Cynthia yang selalu peka, mengirimi Mawar makanan saat lelah merayap dalam nadinya, dan Nenden yang tak henti-hentinya memberi kiriman vitamin sebagai tanda perhatian. Juga Cantika yang seperti menjadi sebagian dari perkerjaannya untuk mengantar jemput anak rantau itu. Juga adik-adiknya yang lain yang sering menghibur dengan tingkah laku di luar nalar, atau sekedar mengirimi video lucu di sosial media. Teman-temannya adalah pelindung tak kasat mata, mereka yang menjaga, menguatkan di saat-saat Mawar nyaris tenggelam.

Dan ada Wira Julian, lelaki yang kini duduk di ruang tunggu, dengan sebuah tablet di tangan. Padahal, Mawar datang sendiri hari ini, tanpa rencana untuk bertemu siapa pun setelah sesi konsultasi psikolognya. Namun, di sanalah ia, Wira, lelaki yang dahulu hanya sekadar senior yang acuh tak acuh. Kini, ia hadir bukan sekadar menjadi teman, tetapi seseorang yang memahami Mawar tanpa perlu banyak bicara.

Another Side of KBYY FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang