Selepas makan malam, aku bergegas ke kamar karena Mama Ayudia melarang keras saat aku hendak membantu di dapur. Dia benar-benar tidak mau aku kelelahan, mengingat aku sedang hamil. Katanya, aku boleh membantu pekerjaan rumah kelak jika sudah melahirkan dan sudah sehat.
Malam ini aku pun tak menolak karena sejatinya pikiranku sedang dipenuhi oleh mama. Ucapan teman-temanku di kampus sore tadi masih mengusik pikiran. Benarkah mamaku membeberkan tentang dirinya yang akan memiliki cucu?
“Apa mama senang?” gumamku seraya menjatuhkan tubuh ke kasur. Bisa saja aku menghubungi mama dan mengajaknya bicara.
Namun, aku tau mama hanya akan merespons tak ramah seperti tadi sore. Benar, dia butuh waktu untuk menerima ini semua. Wajar lebih lama karena ibu mana yang ingin anaknya menempuh perjalanan hidup sepertiku? Dari kecil mereka sudah merawat dan membesarkan aku sehingga kelak bisa menjadi anak yang berguna dan membanggakan. Akan tetapi, lihatlah apa yang aku perbuat?
Di sisi lain, aku tidak mau mengecap anakku sebagai kesalahan. Dia hadir karena kuasa Tuhan. Dia ada karena Tuhan mempercayai kami. Meski demikian, aku tidak membanggakan perbuatanku dengan Mas Raja; maksudku … memiliki seorang calon bayi sebelum kami menikah.
Sekarang kami sama-sama harus belajar menjadi orang tua. Aku dan dia tak memiliki pengalaman. Kami sama-sama takut, meskipun Mas Raja tidak sering menyuarakan. Lebih-lebih aku yang selalu merasa takut akan kegagalan.
“Maafkan aku, mama, papa.” Aku bergumam lagi seraya membayangkan wajah mereka.
Getar ponsel di saku piyamaku mengalihkan fokus dan atensi. Aku merogoh benda pipi tersebut, sehingga terlihat sebuah pesan di bar notifikasi. Nama Mas Agas terlihat di sana. Ya, Tuhan! Aku sampai lupa akan Mas Agas yang beberapa kali mengajak bertemu. Namun, sekarang aku tidak bisa asal mengiakan. Mas Raja pasti tidak akan mengizinkan.
Mas Agas: Nad, kita beneran nggak bisa ketemu lagi, ya? Aku mau ke rumah keluarga kamu, kok, Nad. Apa Raja melarang?
Nadira: Maaf, Mas. Aku bukan nggak mau ketemu kamu, tapi kamu tau sekarang aku butuh persetujuan Mas Raja kalau ingin ke mana-mana.
Mas Agas: we’re family, Nad. Apa dia melarang bertemu keluargamu sendiri?
Nadira: Baiklah, baik. Aku akan bicara dengan Mas Raja. Nanti aku kabari, Mas.
Tak ada balasan dari Mas Agas meskipun aku menatap layar ponsel berkali-kali. Suara mesin mobil dari arah halaman depan membuatku refleks bangkit dari kasur. Aku hafal sekali suara mesin mobil suamiku. Maka aku berjalan ke balkon dan mengintip Mas Raja dari balik gorden.
Dia mendongak—entah kebetulan atau sengaja—dan melambai padaku. Senyum terlukis di bibirnya. Aku bersiap-siap menunggu Mas Raja karena seharian ini kami tidak bertemu. Mas Raja harusnya pulang sore, sekitar jam lima. Sayangnya, hari ini dia harus lembur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...