Dua Puluh Enam

345 21 6
                                    

Dua minggu kemudian ....

"Ra. Ada yang mau ketemu."

Lara terkesiap. Entah mengapa, setiap ada yang mengabari bahwa ada yang ingin bertemu dengannya, Lara selalu berpikir kalau Raka yang menemuinya. Dan ketika dia mendapati yang menemuinya ternyata bukan Raka, entah mengapa dia merasa kecil hati.

Tak mungkin Raka tak tahu kantor tempat Lara bekerja. Tak mungkin juga Raka menelan mentah-mentah informasi dari Jerry bahwa Lara pindah ke luar negeri. Tapi kenapa Raka tak mengejar Lara sampai ke sini untuk membuktikan bahwa Lara masih ada di kota yang sama dengannya?

Lara menggeleng. Dia merasa ngeri dengan bisik-bisik benaknya belakangan ini. Dia merasa dirinya seakan-akan berharap sekali Raka akan mengejarnya. Mengapa? Mengapa Lara tak bisa menjernihkan pikirannya dari pria itu sepanjang hari, meski hanya sekejap mengedipkan mata?

"Siapa?" tanya Lara pada rekan kerjanya.

"Yo ndak tau kok tanya saya."

Lara tersenyum kecut. "Kalo nggak jelas, nggak usah diladenin."

"Dia bercadar, tapi masih pake seragam SMA. Ke sini langsung tanyain namamu."

"Ooh. Itu penulis favoritku. Coba suruh samperin aku ke sini langsung aja, Mbak Yuk."

"Siap!"

Saat rekan Lara pergi untuk memanggil tamu, Rita yang tadinya fokus di depan layar monitor tiba-tiba memutar kursi kerjanya agar bisa menghadap Lara leluasa.

"Sejak kapan editor garang kita ini punya penulis favorit?" kaget Rita. Ternyata, sefokus-fokusnya dia tadi dengan pekerjaannya, telinganya tetap bisa menyaring pembicaraan lain.

"Nggak favorit juga, sih. Penulisannya juga masih acakadul sebenernya, mana PUEBI kacau di mana-mana. Diksi juga lebay banget kayak naskah teater jaman Romawi. Tapi ya gimana ya ... gue suka aja sama dia."

"Karena dia mau belajar, ya?" tanya Rita.

"Iya. Padahal nih, followers dia banyak. Semua followers dia bilang karyanya bagus. Tapi dia lebih percaya komentar pedas gue ketimbang komentar pujian readers-nya."

"Ooh. Yang karyanya dibaca sampe empat juta orang di platform oren?"

"Ho'oh. Gila, 'kan? Padahal banyak penerbit lain yang pick up karyanya. Tapi dia malah ngajuin diri buat digoreng sama gue ke sini. Nggak kelar-kelar kan, naskahnya. Tapi dianya masih gigih. Makanya gue suka."

"Azab anak orang lo buat, Ra. Tapi mau gimana. Kenyataannya, semakin sering seorang penulis diazab sama lo, semakin berkualitas karya yang dia punya. Sampe-sampe gue pernah denger si Bos takut banget kehilangan editor kayak lo."

"Kalo Bos kehilangan gue, paling cuma pas gue udah mati aja, sih. Saling untung. Gue juga nggak nemu tempat lain yang senyaman ini. Yang mau nerima idealisme gue ...."

"Juga yang siap buat ngedengerin kisah lengkap hidup lo selama nikah sama Mas Raka ganteng!" Rita tiba-tiba memasang wajah memohon. "Ayo dong, Ra ... cerita sama gue gimana keseharian Mas Raka selama nikah sama lo .... Katanya dia jago masak, ya? Berarti imbang banget dong sama lo yang mau masak apa pun pasti hancur?"

Alih-alih berbicara, Lara hanya menatap sadis ke arah Rita dengan sudut matanya. Tepat saat itu, seorang gadis SMA berseragam putih abu-abu dengan hijab lebar putih dan cadar abu-abu yang seLara dengan warna roknya, akhirnya datang bersama Mbak Ayuk yang sebelumnya datang untuk menyampaikan kabar kedatangan tamu yang tak lain adalah gadis SMA itu.

Penampilannya terlihat asing, tetapi Lara salut. Mudah-mudahan gadis itu bercadar bukan untuk mengikuti trend. Sebab, menutup wajah dengan niat ibadah, benar-benar akan menjadi nilai ibadah yang spesifik.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang