Bab 11. Balas Dendam?

73 7 3
                                    

☘️☘️☘️

Air mata Jingga luruh, usai mendengarkan cerita Langit tentang mimpi-mimpinya. Seakan-akan, dirinya masih berada di dalam masa lalu. Di mana kebodohan akan cinta, kepercayaan, membuat dirinya mati lebih cepat. Mati ditangan cinta dan kepercayaan itu sendiri.

Langit mengatakan, kalau hampir setiap malam, dia mendapatkan mimpi yang aneh. Mimpi itu terasa nyata dan banyaknya tentang Jingga. Langit merasa mimpi yang terjadi terus-menerus itu seperti alur cerita yang bersambung. Terasa nyata dan janggal.

Dia seperti diberi penglihatan akan masa depan. Dari mimpi-mimpi yang didapatkannya ketika sedang tidur. Mendengarkan cerita Langit tentang mimpi, akhirnya Jingga berkata jujur pada pemuda itu tentang apa yang terjadi padanya di masa depan. Sebelum waktu kembali ke masa lalu. Jingga tengah merangkai semua cerita Langit, menyatukannya seperti kepingan puzzle yang masih berantakan.

"Percaya atau enggak. Mimpi kamu itu pernah terjadi, Langit. Aku memang mati di masa depan dan tentang kamu yang menjadi polisi detektif, itu benar semuanya," tutur gadis itu sembari mengusap air matanya yang membasahi pipi.

"Aku tahu, ini emang nggak masuk akal, bisa jug disebut gila. Tapi ... aku memang benar-benar mati. Kak Dikta sama Laura, mereka berdua yang udah bunuh aku ...  mereka ....," lirih Jingga dengan bersungguh-sungguh.

Sedangkan Langit, dia masih bingung, harus bereaksi seperti apa, karena dia berpikir hal ini tidak mungkin terjadi. Sebuah keajaiban kembali ke masa lalu, seperti cerita di novel fantasi, adalah hal yang mustahil. Namun, bagaimana dengan mimpi-mimpi itu? Semua yang dikatakan Jingga ,sudah menjelaskan semua pertanyaan Langit tentang mimpi-mimpinya itu.

"Jadi bener ... mereka berdua yang udah bunuh lo, seperti apa yang ada di dalam mimpi gue?" tanya Langit yang langsung mendapatkan jawaban anggukan kepala dari Jingga. Gadis itu membenarkannya.

"Jadi mimpi itu benar-benar terjadi? Astaga!" Langit memegang keningnya yang mendadak pening. Dia masih merasa hal ini mustahil terjadi. "Itu artinya, tentang gue yang mencintai dia ... itu benar juga?" gumam Langit dalam hatinya.

Dalam mimpi tersebut, Langit merasa sangat kehilangan Jingga. Dia bahkan sangat marah, saat tahu kalau Dikta dan Laura adalah pelaku utama pembunuhan gadis itu di masa depan.

"Kamu juga merasa ini mustahil kan? Tapi ini benar-benar terjadi. Aku bahkan masih bisa ngerasain sakit dikhianati sama mereka berdua dan bagaimana aku mati," ucap Jingga yang sakit dan sesak, ketika dia teringat pengkhianatan Dikta dan Laura. Juga bagaimana dia mati ditangan dua orang yang paling dia percayai itu.

"Gue percaya sama lo. Karena setelah mimpi itu, ada beberapa hal yang memang terjadi." Langit mempercayai perkataan Jingga, bahwa mereka kembali ke masa lalu.

"Jadi, kamu suruh aku jauhin kak Dikta dan Laura, karena kamu tahu kalau mereka yang bunuh aku di masa depan?" tanya Jingga.

"Iya, karena gue nggak mau lo mati."

"Dulu kamu nggak sepeduli itu sama aku. Lalu sekarang kamu bilang kalau kamu nggak mau aku mati? Memangnya sedekat apa hubungan kita? Kamu lupa ya, kalau dulu kamu tuh selalu mandang aku kayak gini ...."

Mata Jingga menyipit tajam, menirukan tatapan pemuda itu kepadanya dulu. Seperti seseorang yang akan membunuh saja.

"Kenapa sekarang kamu peduli? Kita bahkan nggak dekat. Atau saat di masa depan, kamu ngerasa kehilangan aku?" kata Jingga sambil tersenyum pada pemuda yang berwajah dingin itu. Namun, atensinya tertuju kepada dirinya.

"Kehilangan? Ya, aku sangat kehilangan kamu di masa depan, Jingga. Karena aku mencintai kamu." Langit hanya mengatakannya dalam hati, karena dia tidak mungkin mengatakan perasaannya dalam keadaan seperti ini.

"Wajahnya serius banget sih! Aku kan cuma bercanda!" seru Jingga sambil melambai-lambaikan tangannya ke depan wajah Langit.

Langit pun terkekeh, kemudian dia mengusap pipi Jingga dengan jarinya. Seketika, Jingga tersentak kaget dengan tindakan pemuda itu yang menyentuhnya.

Tanpa sadar, netra keduanya saling bertemu dan berpandangan cukup lama. Menyelami perasaan yang tak dapat mereka jelaskan dengan kata-kata. Sampai beberapa saat kemudian, Langit menjauhkan tangannya dari pipi Jingga.

"Bersihin air mata, sama ingus lo. Dasar mata empat jorok!" ujar Langit dengan menunjukkan senyuman tipis dibibirnya. Membuat pemuda itu tampan berkali-kali lipat, karena senyumannya.

Jingga sampai merasa aneh melihat senyuman pemuda itu yang ternyata memiliki satu lesung pipi. Aneh, mungkin karena dia hampir tidak pernah melihat Langit tersenyum.

"Apaan sih gapura kabupaten? Nyebelin deh!" tukas Jingga yang lalu mencubit pipi Langit dengan kesal. Pemuda itu membalasnya dengan cubitan pada hidung mancung milik Jingga.

Keduanya pun saling melempar tawa dan senyum, usai keduanya mengungkapkan tentang mimpi dan kembali ke masa lalu. Mereka pun menghabiskan waktu bersama di sebuah taman yang tak jauh dari sana untuk bernostalgia ke zaman dulu.

"By the way, mata empat."

"Ya?" sahut Jingga sambil menjilati eskrim coklat yang ada diatas cone. Ya, mereka berdua sedang makan eskrim sambil duduk di atas kursi panjang bercat putih, di bawah sebuah pohon.

Pemuda itu menghela napas, sebelum dia mengungkapkan rasa penasarannya. "Lo tahu kan kalau si Dikta sama si pikmi Laura yang udah bunuh lo. Terus kenapa lo masih mau deket-deket sama mereka dan ... lo kayak sengaja narik perhatian si Dikta?" tanya pemuda itu seraya memperhatikan raut wajah Jingga.

"Dendam."

Satu kata yang dikatakan Jingga, sudah cukup untuk menjadi jawaban dan penjelasan bagi Langit.

"Maksud lo ... lo mau balas dendam?" tanya Langit.

"Iya. Aku akan membalas perbuatan mereka sama aku, dulu. Makanya aku masih dekat sama mereka," kata Jingga dengan tangan yang terkepal dan rahang yang mengeras. Kelakuan Dikta dan Laura, tidak bisa dibiarkan.

"Apa lo nggak bisa maafin mereka?"

Pertanyaan Langit, membuat Jingga langsung menatap pemuda itu dengan tajam. Tatapannya seolah mengatakan, kalau gadis itu tidak menerima perkataan Langit.

"Maafin?" ketus Jingga. "Setelah apa yang mereka lakukan sama aku. Aku harus maafin mereka?"ucapnya lagi tak terima.

"Sorry, maksud gue bukan maafin. Tapi lupain." Langit meralat ucapannya.

"Lupain atau maafin, aku nggak bisa, Langit. Mereka udah bunuh aku, mereka ngekhianatin kepercayaan aku! Aku nggak bisa maafin mereka, atau lupain semua yang terjadi sama aku."

Langit bisa melihat kemarahan yang ada dalam diri Jingga pada Dikta dan Laura. Matanya berkilat dengan api dendam, bercampur dengan luka. "Seenaknya aja kamu bilang maafin ... lupain? Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" sentak Jingga emosi.

Dia tidak bisa memaafkan, apa lagi melupakan apa yang mereka lakukan padanya di masa lalu. Rasa sakit ini, tidak bisa sirna begitu saja. Malah semakin menjadi-jadi dan mungkin kalau dia sudah membalas dendam, maka rasa sakitnya akan hilang. Berganti dengan kepuasan.

"Gue paham perasaan lo. Maaf kalau gue salah bicara barusan."

Jingga yang kesal, akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana. "Aku mau pulang."

"Tunggu!"

"Kamu mau apa lagi sih?" kata Jingga malas, tapi dia tetap menoleh ke arah Langit.

"Lo mau balas dendam kan?"

Pemuda itu menatap Jingga dengan lekat. "Libatin gue dalam balas dendam, lo."

Gadis itu terdiam, seraya menatap Langit yang terlihat bersungguh-sungguh mengatakan. Bahwa dia dilibatkan dalam misi balas dendamnya pada Dikta dan Laura.

🥀🥀🥀

Langit Biru JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang