𝟒𝟏. 𝐖𝐚𝐧𝐭 𝐭𝐨 𝐌𝐞𝐞𝐭

203 12 0
                                    

The Growl of Despair

Entah bagaimana waktu terus berputar di ruangan itu, namun Valda dan yang lain tak bisa menyembunyikan rasa bosan yang semakin menumpuk. Udara di sana terasa pengap, berat, seolah memerangkap napas mereka dalam dinding-dinding kelabu yang mengelilingi. Setiap detik berlalu dengan lamban, menorehkan jejak kelelahan di wajah mereka. Keringat tipis membasahi dahi, dan suara detak jantung samar-samar menggema di telinga.

"Baiklah, Valda. Sekarang apa? Berdiam diri di sini seperti tahanan tanpa melakukan apa pun yang berguna? Kau benar-benar berniat menyiksa kami, bukan?" Jasper akhirnya memecah keheningan yang menekan. Ia berdiri, tangan terkepal, matanya yang tajam menusuk Valda dengan tatapan penuh tuntutan. Suaranya mengandung campuran frustrasi dan keinginan untuk memahami, meskipun nadanya lebih menyerupai keluhan daripada pertanyaan.

Valda menghela napas, mencoba menenangkan gemuruh emosinya sendiri. Wajahnya sejenak menyiratkan kebingungan yang sulit diartikan, tetapi ada bayangan kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa apa pun alasan mereka terjebak di tempat itu, semua berawal dari tindakannya. Namun, mengakui kesalahan di hadapan yang lain adalah sesuatu yang sulit ia lakukan.

"Aku juga tidak mau begini," gumamnya, suaranya bergetar tipis, seolah takut bergema lebih keras di dalam ruangan yang mengisap setiap nada menjadi keheningan yang sunyi.

"Lalu apa yang kau mau?" Jasper menatapnya lebih tajam, seakan mencoba membaca sesuatu di balik tatapan kosong Valda.

Satu jeda terisi hanya oleh napas terengah-engah mereka. Valda memejamkan mata, sejenak membiarkan dirinya hanyut dalam kenangan yang menyiksa, penuh dengan siluet wajah yang dirindukan namun terlarang untuk diingat.

"Aku ingin bertemu dengan kakak," katanya akhirnya, lirih, seperti sebuah rahasia yang tiba-tiba saja jatuh dan pecah di lantai. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuat semua mata di ruangan itu menoleh kepadanya, memahami makna di balik kalimat sederhana yang ia ucapkan.

Keheningan menggantung di udara seperti kabut tebal, membekukan waktu di dalam ruangan yang dipenuhi ketegangan. Mata kelima remaja itu beralih seketika ketika pintu berlapis baja berderit terbuka, suara besinya memecah suasana sunyi yang mencekam. Cahaya redup dari lorong di luar merembes masuk, menciptakan bayangan panjang di lantai yang kusam.

Sosok tinggi dengan postur penuh percaya diri muncul di ambang pintu. Max, pria dengan mata berkilat tajam dan seringai yang menghiasi wajahnya, bersandar santai pada kusen pintu, seolah-olah situasi di hadapannya hanyalah sebuah permainan. Tatapannya yang penuh sindiran menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Valda yang memandangnya dengan amarah yang berkobar.

"Ingin bertemu dengan Vanesha?" suara Max terdengar, berat dan menantang, menciptakan getaran yang membuat punggung Valda menegang. Nada main-mainnya seakan menghina, membuat darah Valda mendidih hingga ia menggertakkan giginya menahan emosi.

“Di mana Kakakku, sialan!” teriak Valda, langkahnya spontan maju ke depan, hanya terhenti oleh Jasper yang dengan cepat meraih lengannya, menahan agar gadis itu tidak mendekati pria tersebut. Ada ketegangan dalam genggaman Jasper, ketakutan tersembunyi yang terbungkus oleh ketenangan palsu.

Max tertawa pendek, sebuah tawa yang tidak membawa kebahagiaan, hanya ejekan yang menggantung di udara. “Wow, tenang, Nona Muda. Kau cukup agresif, sama persis seperti kakakmu,” ucapnya dengan tatapan memeriksa yang memantulkan percikan keisengan. Mata kelabu itu berkilauan seakan menyimpan rahasia gelap yang tak pernah diungkapkan.

“Persetan!” Valda mendesis, nadanya beracun, matanya menyala dengan kemarahan yang mengaburkan rasa takutnya. Suasana di ruangan itu mendadak terasa semakin tegang, seolah udara dipenuhi dengan percikan api yang hanya menunggu untuk meledak.

Zephyr, yang sejak tadi memperhatikan dengan waspada, segera berdiri. Langkahnya mantap namun berhati-hati saat ia mendekati Valda. Tangannya yang kuat namun lembut mendarat di bahu gadis itu, memberikan tekanan menenangkan seolah mencoba menyalurkan ketenangan melalui sentuhannya.

“Tenang, Valda,” bisiknya, nadanya rendah tapi tegas. Matanya menatap Valda dengan kekhawatiran yang dalam, mencoba menembus dinding amarah yang sudah hampir meledak di wajah gadis itu.

Max, yang melihat interaksi tersebut, hanya menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Ia tertawa kecil, suara yang keluar seperti bisikan licik yang bergema di ruangan. “Para tikus malang … Yah, sepertinya sudah cukup aku mempermainkan kalian,” katanya sambil melipat tangannya di dada. Tatapan matanya yang kelabu seolah mengandung sesuatu yang sulit ditebak, membuat suasana makin tak menentu. “Pasti kalian membutuhkan penjelasan atas banyak hal yang terjadi semenjak melangkahkan kaki ke dalam hutan ini, kan?”

Valda menyipitkan matanya, curiga. Setiap otot di tubuhnya menegang, seperti seekor harimau yang siap menerkam. Pikiran-pikirannya berlari cepat, mencoba mencari tahu apakah ada jebakan di balik kata-kata Max yang menenangkan itu.

“Apa itu sebuah jebakan?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah namun bergetar dengan tantangan. Di dalam ruangan yang pengap dan dibanjiri bayangan, pertanyaan Valda menggantung di udara seperti pedang tajam yang siap menebas keheningan.

Max menundukkan kepalanya sedikit, senyuman lebar merekah di wajahnya, seakan-akan pertanyaan itu adalah lelucon pribadi yang hanya ia pahami. Mata abu abunya berkilat tajam, menyiratkan permainan yang ia nikmati sepenuhnya. “Mungkin iya, mungkin tidak,” jawabnya, suaranya terdengar berbelit, menggantung di antara ancaman dan cemoohan.

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, pandangan Max beralih pada para penjaga yang berdiri kaku di dekat pintu. “Bawa mereka ke ruangan yang sama dengan Vanesha,” perintahnya, nadanya penuh kendali yang dingin. Para penjaga itu mengangguk patuh, langkah kaki mereka terdengar berat saat mereka bergerak menuju kelima remaja tersebut.

Setiap dari mereka merasakan cengkraman kasar di lengan, memaksa mereka untuk berdiri dan bergerak keluar. Zephyr mengatupkan rahangnya rapat-rapat, mencoba menahan amarah, sementara Jasper memandang Valda dengan sorot mata yang seakan bertanya apakah mereka siap menghadapi apa yang akan datang dan Ava, Emma benar-benar merasa lemah untuk melawan.

Valda, dengan napas yang kini terengah-engah, menatap Max dengan mata yang menyala penuh kebencian. Ia berusaha melawan cengkraman penjaga di lengannya, namun sia-sia. Namun, bukan ketidakberdayaannya yang menonjol, melainkan semangat membara yang tergambar jelas di wajahnya.

“Kau akan mati jika melukai kakakku!” ancamnya, suaranya tegas dan memotong keheningan seperti pisau. Setiap kata yang keluar membawa beban peringatan yang tak main-main, menggetarkan ruangan seolah ada petir yang baru saja menyambar.

Max hanya mengangkat satu alisnya, senyumnya tak berkurang sedikit pun. “Oh, Nona Valda,” katanya sambil bersandar lebih santai pada kusen pintu, seolah ancaman itu tak lebih dari sekadar bisikan angin. “Kau akan terkejut betapa jauhnya aku mau pergi untuk memastikan ini menjadi permainan yang menyenangkan.”

Saat para penjaga mulai menyeret mereka keluar, Valda masih menatap Max dengan tatapan yang tak mau kalah. Dalam keheningan yang diselingi oleh langkah kaki yang bergema.

 Dalam keheningan yang diselingi oleh langkah kaki yang bergema

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang