Prolog

267 36 4
                                    

Di sebuah benua penuh keindahan dan keajaiban, berdirilah dua kerajaan besar yang dihormati dan disegani oleh seluruh negeri. Kerajaan Erlando, yang terletak di dataran tinggi Lysandra dengan bukit-bukit hijau dan ladang emas, serta Kerajaan Arvani yang tenang di Lembah Orlin, yang dipenuhi sungai berkilauan dan hutan yang subur. Raja Eryon dari Erlando dan Raja Gaelan dari Arvani telah lama menjalin persahabatan yang kuat, menandai perdamaian di antara kedua kerajaan itu.

Namun, suatu hari yang kelam, musibah yang tak terduga menimpa kerajaan Arvani. Wabah mematikan menyebar seperti angin, merenggut nyawa rakyat Arvani satu per satu tanpa ampun. Tidak ada yang terhindar, bahkan keluarga kerajaan ikut dilanda bencana tersebut. Dalam hitungan hari, Kerajaan Arvani menjadi kota sunyi yang ditinggalkan oleh kehidupan. Dari seluruh rakyatnya, hanya satu yang bertahan—Putra Mahkota Jayan Gaelenir, yang saat itu baru berusia 10 tahun.

Berita kehancuran Arvani terdengar ke telinga Raja Eryon di Erlando, yang merasa kehilangan besar atas sahabatnya. Sebagai tanda belasungkawa dan bentuk persaudaraan yang masih ia pegang teguh, Raja Eryon memutuskan untuk mengadopsi Jayan dan merawatnya sebagai putranya sendiri. Ia membawa Jayan ke Erlando, memperkenalkannya pada kehidupan istana yang hangat namun penuh aturan.

Sedangkan di ujung timur kerajaan, Putra Mahkota Sing Eryonir, anak tunggal Raja Eryon yang dikirim ke medan perang sejak usia 12 tahun, masih berjuang tanpa mengetahui perubahan yang terjadi di istana. Dengan informasi yang terbatas di medan perang, Sing tak tahu bahwa ayahnya telah mengadopsi seorang putra dari kerajaan lain. Baginya, istana tetaplah rumah yang ia tinggalkan—tak terbayang bahwa ada sosok asing yang kini menempati ruang yang dulu hanya menjadi miliknya.

Seiring berjalannya waktu, kabar mengenai adik angkatnya yang baru pasti akan sampai kepada Sing, meski tak tahu kapan dan bagaimana. Akan datang saat di mana ia harus menghadapi kenyataan itu, entah sebagai kejutan yang manis atau sebagai kenyataan pahit yang sulit ia terima. Dan ketika hari itu tiba, saat ia menjejakkan kakinya kembali ke istana, akankah ia menerima Jayan dengan tangan terbuka, sebagai saudara yang kini menjadi bagian dari hidupnya? Ataukah perbedaan nasib di antara mereka—yang satu ditempa peperangan, yang lain ditempa oleh kehancuran—justru akan membentuk jurang yang dalam, tak terselami, memisahkan keduanya dalam diam yang dingin?

Atau mungkin, justru di balik kebisuan mereka, akan tumbuh sesuatu yang lebih rumit: perasaan yang tak terdefinisi, keakraban yang tak diinginkan, namun tak terbantahkan. Seperti benih yang tersembunyi dalam tanah, perasaan asing itu mungkin akan tumbuh perlahan, teramat halus, seiring langkah mereka yang tanpa sadar saling mendekat.

Di setiap tatapan yang terlontar, setiap pertemuan yang terasa canggung, dan setiap percakapan yang berakhir dalam kebisuan, ada sesuatu yang tertinggal di antara mereka. Sebuah dorongan, ketertarikan yang tak terjelaskan—tak sepenuhnya persaudaraan, tak sepenuhnya persaingan. Perasaan itu bagaikan angin sepoi yang mendekap, terasa ringan namun tak bisa diabaikan, mendebarkan hati mereka meski keduanya menyangkalnya.

Akankah Sing dan Jayan menemukan makna dari perasaan asing ini? Ataukah mereka akan terjerat oleh ikatan yang samar, seolah menapak di atas garis tipis antara kedekatan dan pertentangan? Hanya waktu yang akan mengungkapkan, apakah perasaan ini akan membawa mereka menuju harmoni atau justru menuju jalan yang penuh konflik. Dan di tengah takdir yang bergulir, istana Erlando akan menjadi saksi dari segalanya—tempat di mana mereka akan saling menemukan dan kehilangan dalam tarian takdir yang sulit mereka pahami, namun begitu nyata terasa di dalam hati.


















Continued......

Hidden FactsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang