Tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa Max, akan datang ke kantor yang sudah ditinggalkannya beberapa waktu pagi itu.
Pria itu melangkah masuk ke ruang rapat tanpa banyak bicara, wajahnya terlihat dingin dan serius, tapi pandangan matanya menyiratkan badai kemarahan yang hanya menunggu waktu untuk meledak.
Beberapa pegawainya menatapnya dengan kaget, mereka tentu tahu tentang kondisi bos tampannya itu, namun tidak bisa menutupi kegembiraan yang terselubung melihat Max telah kembali.
Ketegangan seolah bertambah saat Archie, yang tengah berbicara dengan beberapa petinggi perusahaan, menyadari kehadiran Max.
Pria yang lebih tua beberapa tahun dari Max itu menyeringai tipis, lalu berdiri, menyambut kedatangan sang sepupu dengan tatapan mengejek yang jelas-jelas disengaja.
"Max?" katanya dengan nada sok ramah.
"Senang akhirnya kau datang. Kupikir kau terlalu sibuk di rumah… atau sedang menghadapi ‘masalah mental’?"Max mengangkat dagunya sedikit, matanya setajam pisau yang menusuk langsung ke mata Archie.
"Kupikir kau terlalu sibuk menikmati kursiku, Archie," balasnya dingin. "Kau bahkan sudah terlihat nyaman… bahkan mungkin terlalu nyaman?"
Archie tertawa kecil, nada tawanya penuh ejekan.
"Yah, kursi ini tentu saja cocok dengan seseorang yang… stabil secara emosional, bukan?" Ia menatap Max dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Seseorang yang tidak perlu dikhawatirkan akan memukul atau membunuh orang lain hanya karena merasa terganggu."
Max diam sejenak, lalu mendekat ke Archie dengan langkah pelan namun mantap, cukup membuat Archie sedikit mundur meski berusaha tetap mempertahankan sikap percaya dirinya.
“Kau benar, Archie," ucap Max dengan suara rendah namun tajam, "hanya saja kau lupa, ada perbedaan besar antara terlihat stabil dan betul-betul kompeten."
Para petinggi yang menyaksikan tampak mulai gelisah, memandang satu sama lain. Mereka tahu, meskipun Archie tampak lebih 'aman,' tak ada yang bisa menandingi kecerdasan Max. Di tangan Max, perusahaan mencapai titik teratas, di tangan Archie, mereka masih was-was.
Archie mendengus, tak kalah sinis.
"Kompeten? Kau bicara soal kompetensi? Seperti saat kau mengamuk beberapa bulan lalu di sini dan nyaris menghancurkan ruangan ini? Atau saat kau memecat orang sembarangan hanya karena… mood-mu sedang buruk?"
Max tak bereaksi dengan marah seperti yang Archie mungkin harapkan. Sebaliknya, ia hanya tersenyum kecil, senyum yang malah membuat Archie merasa tidak nyaman.
"Ah, jadi menurutmu aku bertindak sembarangan? Aku hanya membersihkan lingkungan perusahaan ini dari orang-orang yang tidak berguna, dan tentu saja… yang hanya bisa berbicara besar tanpa ada hasil," kata Max, tatapannya menusuk Archie.
"Dan… bukankah hasil akhirnya tetap jelas?" lanjut Max. "Aku berhasil membuat perusahaan ini berada di puncak. Sesuatu yang sepertinya… masih sulit bagimu meski kau telah duduk di kursi itu."
Archie tersentak mendengar sindiran itu. Meski berusaha mempertahankan senyumnya yang angkuh, kekesalan mulai terpancar di wajahnya.
"Hasil? Jangan bicara soal hasil dengan orang yang tidak mampu bertahan tanpa harus mendapat peringatan medis."
Max tertawa pendek, lalu berkata dengan suara rendah namun dingin, "Jangan khawatirkan peringatanku. Kau hanya perlu menjaga dirimu sendiri di posisiku sementara… karena itu semua hanya 'sementara'."
KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Romance"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!