1

182 32 5
                                    

Jayan berdiri di balkon istana, mengamati pemandangan istana Erlando yang diselimuti sinar matahari pagi. Istana ini, dengan taman-tamannya yang indah dan bangunan megahnya, telah menjadi rumahnya selama hampir empat tahun. Setiap sudut istana ini begitu akrab baginya, seperti seorang sahabat yang diam namun selalu menyambutnya dengan hangat. Namun, meski merasa diterima, perasaan tak pantas kerap mengusik hatinya—terutama hari ini, ketika kabar tentang kepulangan Putra Mahkota Sing berhembus di lorong-lorong istana.

Selama ini, Jayan dikenal oleh para pelayan dan rakyat sebagai pangeran yang penuh kelembutan dan perhatian. Senyumannya selalu membuat siapa pun yang berada di sekitarnya merasa nyaman. Tak peduli apakah itu seorang pengawal yang bertugas di gerbang, seorang pelayan yang menyajikan makanannya, atau bahkan anak-anak kecil yang sering ia temui ketika berkunjung ke pasar—semua merasa kehadiran Jayan membawa kedamaian tersendiri.

Rakyat kerajaan Erlando tahu bahwa Jayan bukan pangeran asli kerajaan ini. Namun, hubungan persahabatan antara Erlando dan Arvani sudah mendarah daging di hati mereka. Bagi mereka, keputusan Raja Eryon untuk mengadopsi Jayan adalah tanda persaudaraan sejati, pengabdian tanpa syarat antara dua kerajaan yang pernah saling membantu. Maka, tidak ada yang memandang Jayan dengan prasangka. Ia telah menjadi bagian dari mereka.

Namun, pagi ini, Jayan merasa kegelisahan yang berbeda. Ia mendengar kabar bahwa Putra Mahkota Sing akan kembali ke istana hari ini. Setelah hampir enam tahun di medan perang, putra kandung Raja Eryon itu akhirnya pulang, seiring dengan persiapan perayaan penobatannya di umurnya yang ke-18.

Dalam hatinya, Jayan tak bisa menghindari perasaan resah yang tiba-tiba muncul. Meskipun ia dianggap bagian dari keluarga kerajaan, tetap saja, ia hanyalah seorang putra angkat—seseorang yang, dalam pikirannya, menempati tempat yang bukan miliknya. Apalagi, ia tahu bahwa Sing adalah pewaris sah Erlando, seseorang yang selama ini berjuang mempertaruhkan hidupnya di perbatasan untuk melindungi kerajaan.

"Seharusnya hanya ada satu pangeran di sini," gumam Jayan pelan, pandangannya kosong mengarah ke kejauhan. Ia merasa kecil di hadapan bayangan Putra Mahkota Sing yang gagah dan penuh kehormatan.

Seorang pelayan yang lewat tak sengaja mendengar gumaman Jayan. Dengan penuh hormat, ia menyampaikan kabar bahwa Raja Eryon meminta Jayan untuk bersiap-siap menyambut kedatangan Sing di aula utama.

Jayan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Bagaimanapun, ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga kerajaan, meskipun hatinya diliputi keraguan dan ketakutan. Dengan langkah tenang, ia meninggalkan balkon dan bersiap menuju aula.

Di aula utama, suasana terlihat sibuk. Para pelayan mempersiapkan segala sesuatu dengan hati-hati, memastikan semuanya sempurna untuk menyambut kepulangan Putra Mahkota. Karpet merah terbentang, bunga-bunga segar menghiasi sepanjang lorong, dan para bangsawan sudah berdiri di tempat masing-masing, menunggu dengan antusias.

Ketika Jayan tiba, para bangsawan menyambutnya dengan takzim, membungkukkan setengah tubuh dan melantunkan kata-kata penghormatan. Namun, bagi Jayan, setiap kata dan senyuman penghormatan mereka hanya semakin mengingatkannya akan posisinya—seseorang yang, meski dihormati, tetap merasa seperti bayangan yang tak sepenuhnya nyata di istana ini.

Tak lama kemudian, bunyi terompet menggelegar memenuhi aula, menandakan kedatangan Putra Mahkota Sing. Semua hadirin, termasuk Jayan, memusatkan pandangan mereka ke arah pintu besar yang perlahan terbuka.

Sosok Sing, dengan pakaian perang yang berkilauan dan aura kepemimpinan yang kuat, melangkah masuk. Wajahnya yang tegas dan penuh bekas pertempuran menunjukkan bahwa ia bukan lagi anak yang dulu meninggalkan istana. Ia kini adalah seorang pangeran sejati, pewaris takhta yang telah ditempa oleh pertempuran dan pengorbanan.

Hidden FactsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang