part 36

21 2 0
                                    

*********

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*********

Danny melaju kencang di jalanan, menembus malam yang gelap dengan suara motor yang meraung keras. Luna memeluknya dengan erat, tubuhnya menempel pada punggung Danny. Hatinya terasa hampa, penuh dengan kekhawatiran yang semakin menyelimuti. Setiap detik yang berlalu, pikirannya hanya tertuju pada satu hal—papanya. Ia tak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada ayahnya. Mata Luna terasa panas, air mata mengalir tanpa henti, meskipun ia berusaha keras menahan tangisnya.

"Ayo, cepat! Kak, tolong cepat!" suara Luna bergetar, hampir tak terdengar di tengah deru motor. Danny tetap fokus pada jalanan, mempercepat motor tanpa berkata apa-apa, hanya berharap bisa sampai dengan cepat. Luna semakin cemas, perasaannya semakin tertekan, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk menimpa ayahnya.

Di dalam hatinya, Luna merasakan kekosongan yang semakin membesar. Semua kenangan bersama papanya yang baru saja ia rasakan, berputar dalam pikirannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, dan banyak perbedaan yang ada, Luna tahu bahwa papanya adalah satu-satunya keluarga yang dia punya. Ia sangat bergantung padanya, dan tak ingin kehilangan orang yang paling penting dalam hidupnya itu.

Tangisan Luna semakin pecah di jalanan. Rasa takut dan cemas menguasai dirinya. Namun, bayangan yang paling menekan pikirannya adalah kata-kata Alma, neneknya. Alma selalu menyalahkan Luna atas setiap masalah yang terjadi di keluarga mereka. "Semua ini karena kamu! Kalau kamu tidak ada, semuanya tidak akan seperti ini!" Alma selalu mengatakan hal itu padanya, dan meski ia berusaha untuk tidak memikirkannya, kata-kata itu selalu membayangi pikirannya.

Luna merasa semakin terperangkap dalam rasa bersalah yang tak pernah ada habisnya. "Kenapa aku yang selalu salah?" pikirnya, semakin terhimpit oleh tuduhan-tuduhan itu. Seolah, segala kesulitan yang mereka hadapi adalah akibat kehadirannya di dunia ini. Bahkan, kematian ibunya, Lussi, selalu menjadi alasan bagi Alma untuk menyalahkannya. Luna tak pernah meminta untuk dilahirkan, namun ia selalu merasa menjadi beban bagi keluarganya, terutama Alma.

"Kenapa selalu aku yang disalahkan?" pikir Luna lagi, air matanya semakin deras. Ia merasa kesepian dalam pikirannya, terperangkap dalam rasa bersalah yang tidak bisa dihilangkan. Di satu sisi, ia sangat takut kehilangan ayahnya, namun di sisi lain, ia merasa tak pernah diterima sepenuhnya oleh keluarganya.

Tiba-tiba, motor berhenti di depan rumah sakit. Luna langsung melompat turun dan berlari menuju ruang gawat darurat, tubuhnya lemas karena ketakutan. Ia terus mencari ayahnya, berharap bisa melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Namun, ketika ia tiba di ruang rumah sakit, hatinya langsung terhenti melihat papanya terbaring lemah di ranjang. Matanya tertutup, dan berbagai peralatan medis terpasang di tubuhnya.

Luna terjatuh di samping ranjang, air matanya semakin deras. "Papa..." kata Luna dengan suara serak, suaranya hampir tak terdengar karena isakan tangis yang begitu keras. Rasa takut, rasa bersalah, dan cemas bercampur aduk dalam dirinya. Ia ingin berteriak, ingin mengubah segalanya, tapi hanya tangisan yang keluar.

Dear Luna (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang