Reva masih merasa gelisah setelah pertemuannya dengan Zean kemarin. Ia tak mengerti mengapa anak muda itu begitu mudah mengusik ketenangannya. Setiap kata dan tatapan Zean masih terngiang di kepalanya. Satu sisi dirinya ingin terus menghindar, tapi sisi lain justru merindukan godaan jahil Zean.
Tepat saat ia sibuk dengan pikirannya, ponselnya bergetar. Nama Zean muncul di layar, membuat Reva terkejut. Tanpa sadar, ia langsung mengangkatnya.
"Kak, kamu lagi di mana?" suara Zean terdengar riang.
"Kamu mau apa lagi?" jawab Reva, suaranya terdengar ketus, tapi hatinya berdebar.
"Kangen aja. Aku lagi di kafe biasa. Kalau nggak gengsi, mampir lah," katanya, lalu memutuskan panggilan tanpa menunggu jawaban.
Reva menghela napas panjang, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Apa sih yang dia mau?" gumamnya, berusaha menutupi rasa penasaran yang memuncak. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, ia akhirnya memutuskan untuk datang.
Di Kafe
Saat Reva tiba, Zean sudah duduk di salah satu sudut kafe, terlihat santai sambil memainkan gelas minumannya. Ia tersenyum lebar saat melihat Reva datang.
"Wow, nggak nyangka beneran datang. Kukira terlalu gengsi," goda Zean sambil menatap Reva dengan tatapan jahil.
Reva mendesah, berusaha memasang wajah tak peduli. "Aku cuma kebetulan lewat. Jangan terlalu percaya diri."
Zean tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menatap Reva dengan tatapan usil. "kamu itu, ya. Selalu ngomong gitu, tapi kelihatan kok, kakak sebenarnya suka."
Reva mendengus, merasa darahnya mendidih. "Jangan asal ngomong, Zean. Kamu itu masih anak-anak, tahu apa soal perasaan."
Zean mendekat, berbisik, "Justru aku tahu kakak berusaha menahan perasaan. Tapi aku nggak peduli, Reva. Aku akan terus mengusik kamu sampai kamu jujur."
Reva menatapnya tajam. "Mimpi saja, Zean! Aku nggak akan pernah menyerah sama anak muda sepertimu."
Namun, Zean hanya tersenyum penuh kemenangan. "Kita lihat saja, Mom," katanya, menekankan panggilan yang selalu berhasil membuat Reva kesal.
Reva merasa panas di seluruh tubuhnya, dipenuhi amarah bercampur gejolak hati yang sulit ia jelaskan. Merasa perlu memberi Zean pelajaran, ia punya ide yang cukup nekat. Ia tersenyum tipis, menyembunyikan rencananya.
Beberapa Jam Kemudian
Reva dengan lihai membuat Zean ikut minum lebih banyak dari biasanya. Ia mengajaknya bercanda, membuat suasana santai dan membiarkan Zean larut dalam tawa dan minuman. Akhirnya, Zean terlihat mulai tidak sepenuhnya sadar.
"Lihat, anak nakal, siapa yang menang sekarang?" gumam Reva pada dirinya sendiri sambil menatap Zean yang terbaring lemah di sofa kafe yang sudah hampir sepi.
Namun, saat Reva menatapnya, ia justru merasakan perasaan hangat dan rindu yang telah lama ia sembunyikan. Kehadiran Zean membuatnya merasa hidup dengan cara yang berbeda, walau ia selalu menyangkal perasaannya.
Perlahan, Reva mendekatkan wajahnya ke arah Zean. Ia menatap wajah pemuda itu yang kini tampak begitu polos dalam keadaan tertidur.
"Kamu memang berhasil bikin aku gila, Zean," bisik Reva, akhirnya mengakui perasaannya pada dirinya sendiri.
Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa perasaan ini berbahaya jika terus dibiarkan. Saat ia hendak berdiri untuk pergi, Zean menggenggam tangannya dengan lemah. Matanya sedikit terbuka, menatap Reva dengan pandangan lembut.