*********Hannah tersenyum tipis, namun sorot matanya dipenuhi emosi yang sulit ditebak. "Kamu sangat mirip dengan seseorang yang sangat berharga bagi kami."
Luna mengernyitkan dahi, merasa penasaran. "Siapa itu, Nek?"
Sherly, yang sejak tadi sudah mengamati percakapan itu, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya lembut namun terdengar penuh emosi. "Lussi," ucapnya pelan. "Dia adalah kakakku… yang telah tiada."
Keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Semua tawa dan canda yang sebelumnya menghangatkan suasana hilang begitu saja, digantikan oleh keheningan yang berat.
Luna terdiam. Nama itu—Lussi—terasa familiar, menusuk hati kecilnya. Ia mengingat cerita Willi beberapa waktu lalu tentang bibinya yang bernama Lussi, seseorang yang katanya penuh kasih sayang namun pergi terlalu cepat.
Namun, yang membuat dada Luna terasa sesak adalah kenyataan bahwa nama itu juga milik ibu kandungnya, Lussi, yang telah lama tiada. Perasaan resah mulai merayap di hatinya. Ia mencoba menenangkan diri, namun rasa penasaran tak bisa ia hindari.
"Mengapa kalian melihatku mirip dengannya?" tanya Luna akhirnya, suaranya bergetar.
Hannah menatap Luna dengan lembut, seolah menimbang-nimbang jawabannya. "Kamu memiliki senyuman yang sama, sopan santun yang serupa, dan cara bicaramu… semuanya seperti menghidupkan kembali ingatan kami tentang Lussi."
Sherly mengangguk pelan, menambahkan, "Kakakku adalah orang yang sangat baik hati, Luna. Kehilangannya meninggalkan luka mendalam bagi kami. Dan melihatmu… rasanya seperti melihat sebagian dirinya kembali."
Luna merasa semakin resah. Kenyataan bahwa mereka mengaitkan dirinya dengan Lussi, bibi Willi, membuat pikirannya berputar. Mungkinkah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua ini?
Saat Luna semakin gelisah, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Ma, kalau boleh… bolehkah aku melihat foto bibi Lussi? Aku penasaran, seperti apa sosoknya."
Sherly tersenyum kecil, meski ada keharuan di matanya. Ia menoleh ke Willi. "Willi, ambilkan bingkai foto keluarga kita yang di ruang tamu, yang ada foto mama dan bibi Lussi waktu remaja."
Willi mengangguk dan beranjak mengambilnya. Luna merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Perasaan takut dan penasaran bercampur aduk dalam dirinya. "Semoga ini hanya kebetulan," pikirnya.
Tak lama kemudian, Willi kembali dengan sebuah bingkai foto tua di tangannya. Ia menyerahkannya kepada Luna dengan senyum hangat. "Ini, sayang."
Luna mengambil foto itu dengan tangan bergetar. Saat matanya tertuju pada gambar dalam bingkai tersebut, dunia seakan berhenti. Di sana, ia melihat dua gadis remaja berdiri berdampingan—salah satunya jelas adalah Sherly, sementara yang lainnya… adalah sosok yang tidak mungkin ia lupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Luna (END)
Teen Fiction⚠️jangan plagiat‼️ide mahall sengkuu, yuk guys sebelum baca janlup follow dulu⚠️ "Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi, mereka menangis karena telah berusaha kuat dalam waktu yang lama" -Luna Ruzelia "Tujuanku adalah selalu membuatmu, ter...