Chapter 14

29 5 0
                                    

Bangchan melanjutkan harinya dengan bekerja seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang terasa mengganggu pikirannya.

Meski dia berusaha tidak terlalu memikirkan Jisoo dan pertemuan aneh tadi, perasaan samar yang menggantung di benaknya tetap ada. Namun, sebagai seorang profesional, dia menyingkirkan itu sejenak dan fokus pada pekerjaannya.

Sore harinya, saat rapat terakhir selesai, Bangchan berjalan menuju kantornya untuk mengambil tas dan bersiap pulang. Di koridor, dia bertemu Minho yang tampak bersantai dengan secangkir kopi di tangannya.

“Kau terlihat lelah,” komentar Minho sambil menyeruput kopinya. “Atau masih memikirkan pertemuan dengan Jisoo tadi?”

Bangchan tersenyum tipis, menahan desahan. “Aku tidak terlalu memikirkannya. Sejujurnya, aku lebih khawatir soal proyek ini daripada masalah pribadi.”

Minho mengangkat bahu, “Yah, sebaiknya kau tidak terlalu tegang. Kadang, masalah pribadi justru lebih penting. Lagipula, siapa tahu kau memang punya ikatan dengan Jisoo yang belum kau sadari.”

Bangchan berhenti sejenak, mendengarkan ucapan Minho dengan sedikit terkejut. Ikatan? Bagaimana Minho bisa menyebutkan hal itu? Dia menggelengkan kepalanya dan menepis pikiran itu.

“Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan itu sekarang,” ujar Bangchan sambil menepuk bahu Minho. “Aku akan pulang dulu. Kau sendiri bagaimana? Masih banyak pekerjaan?”

Minho tertawa kecil. “Ah, pekerjaan tidak akan pernah selesai, hyung. Tapi aku akan menyelesaikan beberapa hal lagi sebelum pulang.”

Bangchan mengangguk dan berjalan menuju pintu keluar.

Saat dia sampai di parkiran dan hendak masuk ke mobil, perasaan aneh itu kembali muncul—seolah ada sesuatu yang berhubungan dengan Felix. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat dorongan itu. Sesuatu di dalam dirinya tahu ada yang salah.

Di tempat lain, Felix duduk di balkon apartemennya. Hari itu terasa sangat panjang, dan dia merasa lelah, tetapi bukan karena pekerjaan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya—sebuah perasaan yang tidak dia mengerti. Sejak bertemu Hyunjin tadi malam, pikirannya semakin kacau.

Felix menghela napas dalam-dalam dan menatap langit malam yang mulai gelap. Angin sejuk berhembus lembut, membuatnya sedikit rileks. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika dia mendengar pintu apartemen terbuka dengan bunyi pelan. Beomgyu akhirnya pulang.

“Felix?” panggil Beomgyu sambil berjalan ke balkon, membawa beberapa kantong belanja. “Kau tidak makan apa-apa hari ini? Aku membawakan makanan.”

Felix menoleh dan tersenyum tipis. “Tidak terlalu lapar. Aku hanya ingin menikmati angin malam.”

Beomgyu mengangkat alis. “Kau kelihatan aneh hari ini. Ada sesuatu yang mengganggumu?”

Felix terdiam sejenak, berpikir apakah dia harus bercerita tentang pertemuannya dengan Hyunjin, dan tentang perasaannya terhadap Bangchan yang tak dia mengerti. Namun, pada akhirnya, dia hanya menggelengkan kepala.

“Tidak ada. Aku hanya lelah,” jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan kekacauan yang dirasakannya.

Beomgyu menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. “Oke, tapi kalau ada apa-apa, kau bisa cerita padaku, ya.”

Felix tersenyum lemah. “Tentu.”

Beomgyu kemudian masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Felix sendirian di balkon.

Saat dia sendirian lagi, pikirannya kembali pada Bangchan. Rasa haus yang muncul saat bersama Bangchan, keinginan aneh yang muncul setiap kali dia merasakan aroma darah werewolf itu. Sesuatu di dalam dirinya menginginkan lebih—dan itu membuatnya takut.

Dibawah Cahaya yang Sama [END] √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang