Tiga

458 52 6
                                    

Rasyid menatap kosong ke arah gedung apartemen yang dulu menjadi tempatnya pulang. Di tempat itu, ia pernah merasa memiliki segalanya, termasuk harapan untuk hidup yang penuh warna bersama Mira. Namun, gedung megah itu kini hanya menjadi saksi bisu dari semua yang telah ia lepaskan. Di sanalah, ia menghabiskan hari-hari penuh kebahagiaan, masa-masa dimana ia masih punya kekuatan untuk bermimpi dan bercita-cita.

Tapi takdir berbicara lain. Kanker yang meranggas tubuhnya memaksa Rasyid melepaskan apa yang pernah ia bangun. Saat dokter menyampaikan vonis, Rasyid tahu ia harus melakukan segala yang mungkin untuk bertahan. Tanpa keluarga atau teman dekat yang bisa membantu, satu-satunya jalan adalah mengorbankan apartemen yang ia miliki. Keputusan itu tak mudah, namun ia melakukannya tanpa ragu demi satu hal kesempatan untuk hidup lebih lama. Setiap sen dari hasil penjualan apartemen itu ia gunakan untuk membiayai pengobatan dan kebutuhan hidup yang kini terasa berat.

Sejak hari itu, hidup Rasyid berubah. Dari apartemen luas yang dulu selalu menyambutnya hangat, kini ia pindah ke kamar kos kecil, ruangan sempit yang hanya cukup untuk satu kasur, lemari tua, dan meja kecil. Namun, yang lebih berat dari keterbatasan ruang fisik adalah rasa sakit yang setiap hari semakin menggerogoti tubuhnya. Langkah demi langkah menaiki tangga ke kamar kosannya yang terletak di lantai dua menjadi perjuangan yang melelahkan. Setiap anak tangga ia lalui dengan napas yang tersengal, sementara di dalam tubuhnya, efek kemoterapi terasa bagai racun yang menghancurkan.

Saat akhirnya ia mencapai pintu kamar, Rasyid segera membaringkan tubuhnya, merasakan dinginnya tempat tidur yang hanya ditemani tembok kosong. Di sana, ia berbaring lama, tubuhnya yang lemah menggigil oleh efek obat, sementara pikirannya melayang-layang dalam kesendirian yang mencekam.

Di tengah rasa sakit itu, satu nama selalu hadir di benaknya Mira. Nama yang kini hanya menjadi ilusi di layar ponsel. Berkali-kali ia memandangi kontak itu, jari-jarinya hampir saja mengetik pesan, namun berhenti lagi dan lagi. Dalam hatinya, ia tahu bahwa menghubungi Mira hanya akan memperlihatkan sisi lemahnya, sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan. Mira harus mengenangnya sebagai Rasyid yang kuat dan penuh semangat, bukan sosok yang kini nyaris hancur tanpa daya.

---

Di sisi lain kota, Mira menjalani hidup yang berbeda. Pasca kepergian Rasyid, kesibukan menjadi pelariannya, benteng yang ia bangun untuk menghalangi rasa sakit. Setiap proyek penelitian, pengabdian masyarakat, dan tugas kampus yang ia ambil adalah upayanya untuk menghapus bayangan Rasyid. Di setiap jadwal yang padat, ia menemukan cara untuk bertahan, meyakinkan diri bahwa hidup bisa terus berjalan tanpa lelaki yang pernah mengisi hatinya.

Rutinitas yang melelahkan itu semakin hari justru mempertemukan Mira dengan seseorang baru: Andri, dosen muda yang baru bergabung dalam timnya. Andri berbeda dari yang lain, selalu hadir dengan antusiasme yang tak pernah pudar, ide-ide segar yang mendorong Mira untuk ikut berpikir, bahkan kadang tersenyum tanpa disadarinya. Di antara percakapan-percakapan serius tentang proyek penelitian, Andri menunjukkan sikap yang selalu siap mendengar dan membantu, sikap yang secara perlahan membuka hati Mira.

Suatu sore, ketika mereka sedang berdiskusi di ruang fakultas, Andri mengusulkan ide untuk proyek yang mereka garap bersama. “Kalau kita coba pendekatan baru ini, hasil penelitian mungkin akan lebih kuat,” ujarnya sembari menunjukkan diagram yang ia buat di laptopnya.

Mira mengangguk, mencoba memahami gagasan Andri. “Menarik juga. Mungkin kita bisa uji coba di kelas dulu sebelum mempresentasikannya ke fakultas,” jawabnya sambil meneliti diagram itu dengan cermat. Ia merasakan semangat yang berbeda di dalam dirinya, sesuatu yang lama hilang sejak kepergian Rasyid.

Di tengah diskusi itu, Andri menangkap tatapan Mira yang perlahan-lahan berubah. Meski ia tidak tahu pasti, Andri bisa merasakan ada luka yang Mira sembunyikan, luka yang tak mudah sembuh. Namun, alih-alih memaksanya berbicara, Andri memilih untuk ada di sampingnya, memberi dukungan tanpa syarat, tanpa menuntut Mira untuk membuka diri sepenuhnya.

---

Beberapa hari kemudian, setelah menyelesaikan pekerjaan, Andri dan Mira berjalan menuju parkiran. Angin sore terasa sejuk, dan di tengah keheningan, Andri memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sudah lama mengganggunya. “Mira, pernahkah kamu merasa perlu untuk memulai dari awal?”

Pertanyaan itu membuat Mira terdiam sejenak, menatap Andri dengan pandangan yang sulit ditebak. Di matanya, ada keengganan dan harapan yang bercampur. Pertanyaan itu membawanya kembali ke masa lalu, ke kenangan tentang Rasyid yang masih terpendam dalam hati. Setelah hening sejenak, Mira menjawab dengan suara lirih, “Kadang, ingin… tapi sulit untuk benar-benar melupakan.”

Andri tersenyum lembut, tatapannya penuh pengertian. “Memulai dari awal bukan tentang melupakan, Mira, tapi tentang menerima. Menerima apa yang sudah terjadi dan memberi ruang bagi hal-hal baru yang bisa membawa kebahagiaan kembali.”

Kata-kata Andri, yang sederhana namun dalam, membuat hati Mira bergetar. Dalam perjalanan pulang, ia tak henti-hentinya memikirkan ucapan Andri. Di malam yang sunyi, Mira akhirnya menyadari bahwa ia tak perlu terus berlari dari bayangan masa lalu. Mungkin, ia bisa mencoba menerima, meski tidak mudah. Dan di dalam hatinya, ia mulai menemukan sedikit ruang untuk merasakan perasaan yang baru, yang mungkin selama ini tidak ia sadari tumbuh bersama kehadiran Andri.

---

Sementara itu, di kamar kosan sempitnya, kondisi Rasyid semakin memburuk. Rambutnya mulai rontok, kulitnya pucat, dan tubuhnya makin kurus. Batuk-batuk tak henti menghantam paru-parunya, membuat napasnya sesak dan tenggorokannya kering. Setiap malam terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah rasa sakit dalam tubuhnya semakin kuat menguasai.

Di tengah kesakitan yang mendera, ia kembali teringat pada Mira. Kenangan tentangnya adalah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup, meski hanya untuk sementara. Namun, setiap kali bayangan Mira muncul, Rasyid harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusannya untuk pergi adalah yang terbaik. Dengan menghilang dari hidup Mira, ia berharap perempuan itu bisa menemukan kebahagiaan yang layak, kebahagiaan yang tak mungkin ia berikan dalam kondisi seperti ini.

Pada suatu malam yang dingin, ketika rasa sakit di kepalanya memuncak, Rasyid terbangun dengan keringat dingin mengalir deras. Tubuhnya bergetar, dan ia berusaha menahan suara agar tak terdengar oleh penghuni kos lainnya. Dalam kesunyian itu, ia menutup mata, berdoa untuk kebahagiaan Mira. Di antara kesakitan yang seolah tak bertepi, Rasyid menyadari bahwa cintanya pada Mira tak akan pernah hilang, bahkan jika harus berakhir dalam kepedihan.

SEE U DEAR ♥️♥️♥️

One Love Two Souls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang