Missing Out

125 16 1
                                    

Sekali lagi Becky mencebik kesal sembari berkutat layar di depannya. Kepalanya seperti akan pecah. Benar, rencananya untuk mengejar keberadaan Freen pagi kemarin gagal total. Gadis itu semakin kesal saat membayangkan Freen melakukan janji temu makan siang romantis dengan wanita lain setelah menidurinya semalaman. Sial, andai ia bisa menghampirinya. Ya, bahkan sekarang ia tidak tahu harus kemana untuk menemuinya, terlebih lagi dengan tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk. Sial, bahkan kini Becky merasa seperti Freen semakin jauh dari jangkauannya, rasanya seperti seorang penggemar delusional yang selalu berangan-angan setiap harinya.

"Becky, sweetheart" Becky berhenti dengan pikiran kacaunya tentang Freen dan menoleh kebelakang. Seorang pria tua mendekatinya dengan rentangan selimut di tangannya. Sesaat kemudian selimut hangat itu melindungi tubuhnya dari dinginnya udara malam di taman belakang rumahnya. "Tidak bisakah kau mengerjakan tugasmu di dalam kamar baby girl?"

Becky tidak menjawab, ia hanya menyandarkan kepalanya ke bahu sang ayah. Menikmati bagaimana kecupan-kecupan lembut itu menghujani puncak kepalanya. Jemarinya tetap bergerak di atas keyboard laptop di pangkuannya.

"Tidak meminta bantuan phi Freen untuk ini?"

"Tidak bisakah kita tidak membicarakannya dad?" Dengus Becky.

"Hmm.. maafkan daddy baby girl. Are you guys okay?" Becky tidak menggubris apapun lagi jika itu tentang Freen. Rasanya tidak perlu semua orang mengingatkannya tentang Freen, wajah perempuan itu sudah terus bermunculan dalam kepalanya. Mau sesering apa lagi ia merindukan Freen, apa setiap detiknya saja masih belum cukup untuk terus bertanya-tanya tentang perempuan itu?

"Freen mengirimkanmu beberapa referensi buku dan boba milk tea" Gadis itu menghela napas dalam. Peduli apa perempuan itu tentangnya? Lagi pula untuk apa juga ia mengirimkan barang-barang itu? Tidak ada gunanya, yang Becky inginkan hanya Freen menemuinya.

"Kembalikan saja dad, Becky sedang tidak membutuhkannya" Balas Becky ketus.

"Princess..." Tegur pria itu selembut mungkin. Ia tak tau apa yang sedang terjadi di antara keduanya, tapi ia yakin ini hanya kesalahpahaman yang harus segera diselesaikan. "Baiklah, daddy taruh di kamarmu. Cepatlah kembali ke kamar, daddy tidak ingin princess daddy sakit. Jangan lupa minum vitaminnya" Ucap tuan Armstrong sebelum mengecup pipi Becky dan berlalu meninggalkan segelas air dan sebutir vitamin meja. Becky mematung sejenak setelah melihat sebutir vitamin di atas piring kecil di sampingnya.

"Vitaminnya..."

###

Braakkh...

"Cut..!!"

Deru nafas Freen terdengar begitu menyesakkan. Peluh meluncur bebas di sepanjang kulit hingga lepas begitu saja dari tubuh kurusnya. Tenaganya terkuras begitu keras, membuat perempuan itu seketika luruh ke lantai di hitungan ketiga setelah potongan adegan diserukan sang mentor acting-nya.

"Good job Freen!!" Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.

"Jujur saja, ini di luar ekspektasiku" Ucap pria muda dari ujung ruangan. Alis Freen menukik, keningnya berkerut kesal. Perempuan itu meraih handuk kecil yang melilit lehernya, kemudian melempar handuk basah itu tepat ke muka tampan sang produser.

"Sialan! Jangan meremehkanku, dasar buaya!" Kini pria itu yang mengerutkan wajahnya tak suka. "Sial, buang keringatmu ke tempat yang benar"

Freen tak peduli, ia bangkit dan membaca naskah tebal yang sang mentor pegang "Kenapa? Wajah tengilmu sepertinya cocok untuk menjadi tempat pembuangan"

"Oiyy... Semua wanita tergila-gila akan wajah yang kau katai tengil ini"

"Tergila-gila apanya? Keringatku pun akan akan enggan menempel dengan wajah selicin itu, seperti lantai marmer saja" Ucap Freen sembari memperhatikan instruksi sang mentor.

The Untitled UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang