🍀🍀🍀
Cukup lama Jingga memandang Dikta dengan tajam dan mengingat rasa sakitnya dulu. Akhirnya, gadis itu menepis tangan Dikta yang memegangnya. "Apa hubungan kita sedekat itu ... sampai saya harus membenci Kak Dikta?"Dikta terdiam mendengar kata-kata Jingga, hatinya membenarkan perkataan gadis itu. Mereka tidak cukup dekat, apalagi untuk memiliki perasaan benci satu sama lain. Dikta juga baru mendekati Jingga selama satu bulan ini. Tapi mendekati gadis itu, rupanya sangat sulit. Jadi, tidak mungkin juga kalau Jingga membencinya.
"Tapi kenapa kamu kelihatan benci sama aku? Tatapan kamu, sikap kamu, bahkan nada bicara kamu ... seolah mengatakan kalau kamu benci sama aku."
Sikap, tatapan mata, nada bicara, adalah hal yang Dikta notice dari Jingga. Rasanya janggal saja, ketika semua orang menatap dirinya dengan kagum, dengan biasa saja, hanya Jingga yang bersikap begini. Tadinya, Dikta berpikir kalau sikap yang ditunjukkan oleh Jingga adalah sikap jual mahal seorang wanita. Namun, Dikta harus mengenyahkan pikiran itu, karena Jingga bukan tipe wanita yang suka jual mahal. Dia dapat melihatnya dengan jelas.
"Itu hanya perasaan kakak aja," jawab Jingga singkat. "Saya permisi Kak, saya harus pergi ke perpus," pamitnya kemudian, tanpa mau berinteraksi dengan Dikta lebih lanjut.
"Tadinya aku berniat balas dendam sama kamu dengan mendekati kamu, Kak. Tapi sekarang aku akan mengubah caraku." Batin gadis itu.
"Jingga, aku benar-benar nggak nyaman seperti ini," ujar Dikta yang lagi-lagi memegang tangan Jingga. Gadis itu mendelik sinis dan tajam ke arahnya, barulah Dikta melepaskannya.
"Aku cuma mau deket sama kamu." Dikta menatap Jingga dengan memelas. Dia hanya ingin dekat dengan gadis itu, tentu saja dengan niat terselubung.
"Tapi saya nggak mau. Terutama ketika saya tahu ... sahabat saya, naksir sama kak Dikta."
"Sahabat kamu? Naksir aku?" tanya Dikta dengan kening berkerut. Siapa sahabat Jingga yang naksir dirinya?
"Iya, dan saya nggak tega lihat dia sedih karena kak Dikta terus deketin saya," ucap Jingga dengan raut wajah yang muram.
"Apa dia Laura?" Dikta menebak, kalau gadis itu adalah Laura.
Bukannya menjawab, Jingga malah kembali pamitan pada ketos SMA Venus itu. "Udah ya Kak. Saya mau pergi."
Jingga berjalan dengan cepat meninggalkan Dikta yang masih berdiri di sana dengan wajah bingungnya. "Kalau kalian mau bersatu, silahkan. Aku akan bantu kalian bersama-sama, karena kalian memang cocok," gumam Jingga sambil tersenyum sinis. Dia sudah tidak memiliki rasa cemburu, kalau Dikta bersama Laura. Di dalam hatinya ada rasa benci dan jijik pada mereka berdua.
Tanpa mereka berdua sadari, Laura dan Langit melihat kebersamaan Dikta dan Jingga barusan dari kejauhan. Mereka berdua panas melihat Jingga dan Dikta bersama-sama.
"Bisa-bisanya kak Dikta merhatiin dia! Emang apa sih lebihnya dia dibandingkan gue?" gerutu Laura sambil meremas tangannya sendiri dengan kesal.
"Jelas, kalian memang tidak bisa dibandingkan."
Laura tersentak kaget, saat mendengar suara seseorang dibelakangnya. Suara yang terdengar dingin dan mengeluarkan aura yang membuatnya ngeri. Laura menoleh ke belakang dan melihat pemuda bertubuh tinggi dibelakangnya, tengah menatap dirinya dengan tajam.
"Ka-kamu ..." Mata Laura terbelalak saat melihat Langit.
"Kalian nggak bisa dibandingkan. Lo sendal jepit murah, kalau Jingga itu berlian mahal. Dari jenis aja udah beda jauh. Apalagi harganya," ketus Langit dengan sarkas menyindir nilai seorang Laura yang tidak bisa dibandingkan dengan Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru Jingga
Teen FictionDi malam pertama pernikahannya, Jingga dikhianati dan dihabisi dengan kejam oleh kedua orang yang dia sayang. Namun, Jingga tidak benar-benar mati, dia terbangun dan kembali ke masa lalu, saat usianya 17 tahun. Aneh tapi nyata, dia benar-benar kemb...