Bapak Belum Pulang

5 0 0
                                    

Hampir pukul 5 sore. Ibu menonton berita sore seperti biasa. Aku masih membaca komik Tom and Jerry hadiah ulang tahun dari Tante. Hari ini ulang tahun Bapak. Makan malam paling enak buatan Ibu sudah tersaji di meja makan. Begitu juga cangkir itu. Cangkir teh Bapak yang terbuat dari tanah liat. Lengkap dengan air teh buatan Ibu yang tidak pernah terlalu manis. Konon, cangkir itu adalah hadiah yang didapat ketika Bapak bertugas di Sevilla, Spanyol, sepuluh tahun yang lalu. Aku belum lahir waktu itu. Tapi aku tahu, cangkir itu punya arti tersendiri untuk Bapak.

Seperti Bapak, aku punya cangkir sendiri. Hanya saja, cangkir milik Bapak itu punya daya magis tersendiri. Ukiran panorama kota Sevilla pada dinding cangkir barangkali yang membuatnya seperti itu. Atau malah segenap perasaan dan kenangan yang tertinggal disana. Suatu makna yang hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa saja pikirku. Mungkin, suatu saat nanti aku punya cangkirku sendiri. Yang selalu tersaji untukku di meja makan, setiap pulang bekerja. Kelak, jika aku telah dewasa nanti.

Hari ini, aku punya hadiah untuk Bapak. Aku dapat nilai 10 lagi untuk ujian PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), Pelajaran Sejarah, dan Bahasa Indonesia. Aku pikir Bapak pasti akan sangat senang menerima kabar ini. Sehabis makan malam nanti, aku bayangkan Bapak akan memelukku erat sambil berpesan untuk selalu rajin belajar agar jadi orang pintar. Aku rindu saat-saat seperti itu. Aku bisa melihat mata Bapak yang teduh. Seakan bicara bahwa segala pengorbanan dan dukungan yang Bapak berikan untuk sekolahku tidak sia-sia.

"Bapak belum pulang, Bu?"
"Belum. Sebentar lagi mungkin."
"Tumben ya, Bu. Nggak biasanya. Ini hari ulang tahun Bapak. Kenapa Bapak masih harus lembur?"
"Sudah, nanti juga pulang. Barangkali memang lagi banyak pekerjaan."

Aku kembali masuk kamar. Aku melamun sambil tiduran. Aku mulai merasa bersalah karena tidak punya sesuatu lagi untuk ulang tahun Bapak. Aku tidak punya kado untuk Bapak. Aku pikir, Ibu pasti sudah menyiapkannya. Ibu tentu lebih tahu untuk hal itu. Aku berharap bahwa Bapak akan selalu jadi Bapak yang selama ini kami kenal. Bapak yang tidak pernah mengeluh tentang perasaannya. Bapak yang tidak pernah mau membahas masalah pekerjaan di rumah dengan siapa pun. Bapak yang akan selalu memutar kaset Koes Plus kesukaannya setiap Jum'at malam.

Aku keluar kamar menuju teras rumah. Melihat ke arah jalan, barangkali Bapak ada disitu. Tidak ada. Hanya anak-anak tetanggaku yang main petak umpet di jalanan komplek. Aku masuk kembali ke rumah. Sudah setengah enam. Lembayung senja perlahan muncul di ujung mega. Seakan langit pun ikut berbahasa. Cahayanya menusuk lewat jendela. Bapak belum juga pulang. Tidak seperti biasanya. Aku tatapi cangkir Bapak. Masih tetap disitu walau hangatnya pudar.

Betapa aku selalu rindu pada suara motor Bapak yang selalu begitu, suara motor yang punya melodi sendiri ketika melintasi belokan terakhir di depan Warung Bu Wawan. Satu hal lagi kebiasaan Bapak yang selalu membuatku rindu, setelah masuk rumah beliau akan langsung meraih cangkir teh yang sudah disiapkan. Disitu. Selalu disitu. Siapapun yang membuatkan teh untuk Bapak, selalu menempatkan cangkir itu disitu. Hampir mendekati ujung meja makan. Tidak akan ada lagi yang berani menyentuhnya.

Lalu, dengan gagahnya, beliau langsung menghabiskan secangkir teh tadi. Seakan tidak pernah takut bahwa airnya masih panas dan paduan gula yang kurang atau kelebihan. Kalaupun ada sesuatu dalam tehnya, beliau hanya berkomentar singkat. "Ini bukan Ibu yang bikin ya?" Kalau sudah begitu, Ibu akan segera mengisi cangkir Bapak. Seakan tahu apa yang Bapak inginkan. Cangkir itu terisi kembali. Bukan hanya teh semata. Ada limpahan kasih sayang Ibu juga didalamnya.

Adzan maghrib hampir berkumandang. Dari kejauhan samar-samar aku mendengar lantunan Ayat Suci dibacakan. Sebentar lagi Maghrib tiba. Tiba-tiba ada perasaan asing menguasaiku. Aku disentak perasaan kehilangan yang sangat dalam. Aku pikir itu firasat saja bukan tanda bahaya. Aku masih menatap kosong pada cangkir Bapak sambil berharap semua itu hanya perasaanku saja. Aku perhatikan cangkir Bapak. Cangkir dari tanah liat Spanyol itu. Seakan berkata kepadaku, "Bapak kemana? Kenapa belum juga menyentuhku sampai sekarang?" Pertanyaan yang aku juga tidak tahu jawabnya.

Aku keluar dari kamar. Aku lihat Ibu masih menonton televisi sambil menyuapi adik kecilku. Aku pegangi cangkir teh Bapak, masih hangat dalam warna kemerahan yang pekat.

"Bapak belum pulang, Bu?"
"Belum. Sudah, siap-siap shalat Maghrib. Jangan tidur dulu."
"Bapak kemana ya, Bu?"
"Sudah. Shalat dulu saja. Berdoa untuk Bapak."

Usai maghrib, aku berdoa. Semoga Tuhan melindungi Bapak. Aku semakin khawatir dengan pertanyaan kenapa Bapak belum pulang. Aku ingin perasaanku tenang apalagi ini hari ulang tahun Bapak. Aku tidak ada sesuatu yang menganggu hari bahagia Bapak. Aku lihat Ibu masih berdoa lalu mengaji. Adik sudah lama tidur setelah disuapi Ibu. Aku menuju meja belajar. Mencoba untuk mengalihkan perasaan khawatir pada tumpukan PR. Tadi Ibu Guru bilang besok ujian Bahasa Inggris. Ah, banyak sekali yang harus aku pelajari malam ini.

Biasanya, Bapak selalu menemaniku belajar. Bapak akan duduk disampingku sambil memegang cangkir tehnya. Aku selalu bertanya apa saja tentang pekerjaan rumah dari Ibu Guru. Dengan teliti, Bapak akan segera membaca buku pelajaranku itu untuk kemudian menemukan bagian yang harus aku baca sendiri. Kalau tidak begitu, kadang-kadang Bapak harus bangun tengah malam dan keesokan paginya Bapak menyuruhku membaca buku yang sudah ditandainya semalam. Aku tahu Bapak bangun tengah malam karena keesokan paginya aku lihat cangkir teh Bapak ada di dekat meja belajar. Aku selalu ingat pemandangan kota Sevilla itu yang selalu menghadirkan perasaan rawan setiap cangkir itu ada disitu.

Hampir Isya. Bapak belum juga pulang. Aku lihat Ibu masih mengaji. Adik semakin lelap tidur. Aku mencoba keluar rumah sebentar. Aku berdiri diluar pagar. Aku perhatikan tetanggaku sudah pulang semua. Mungkin mereka sekarang sedang makan malam bersama. Aku jadi iri pada sahabat-sahabatku disini. Ade, Ricky, Iyes, dan Bery. Mereka semua tentu sudah bertemu dengan Bapak masing-masing. Saling melepas rindu tentunya. Aku lihat dari kejauhan, Iyes berpegangan tangan dengan Bapaknya menuju warung Bu Wawan. Angin malam semakin menderu. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Masih diliputi tanya kenapa Bapak belum pulang.

*

Ibu bergegas menuju rumah Pak Zain di depan rumah. Ada telepon untuk Ibu. Dari siapa, aku belum tanya. Yang aku tahu, setelah menerima telepon Ibu tergesa dan setengah berlari. Aku tahu Ibu menahan tangis. Ah, semoga bukan kabar dari Bapak. Sementara Ibu berada di kamar, aku dan adik berada di ruang tamu, sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak punya daya untuk bertanya pada Ibu. Aku terpaku di depan pintu kamar. Aku lihat Ibu mengemasi pakaian.

Aroma teh dari cangkir Bapak masih mewangi terbawa angin dari dapur. Ada sesuatu yang aneh disini. Apakah ada sesuatu yang mengharuskan Ibu segera pergi dari rumah? Apakah Bapak menyuruh Ibu untuk segera meninggalkan rumah? Apakah Ibu sedang dalam bahaya sehingga harus berkemas dan meninggalkan kami? Bapak bukan seorang intel. Bukan pula seorang penagih hutang.

"Ikut Ibu sekarang, kita ke Rumah Sakit."
"Kenapa, Bu?"
"Bapak kecelakaan. Motornya ditabrak orang."

Cangkir Bapak masih belum tersentuh. Hangatnya pun telah lama pudar. Hanya sisakan tanya yang terjawab. Kenapa Bapak belum pulang.


Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 4 Maret 2012.

Ditulis sebagai memoar untuk Bapak dan diikutsertakan dalam Lomba Menulis Soultea Charity (2012).

Surat Buat Ninda dan Hal-Hal yang Tak SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang