ch 2

386 58 13
                                    

Arshaka masih belum bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. hari-hari pertama setelah bangunnya terasa seperti berjalan di atas es tipis, setiap langkahnya diwarnai rasa takut bahwa kenyataan yang ia lihat sekarang hanyalah lapisan baru dari mimpi yang lebih gelap.

mimpi yang ia alami selama tiga tahun itu begitu nyata, begitu detail hingga terasa seperti serpihan ingatan.

setiap kali ia melihat wajah Jeffrey, perasaan itu menguar lagi—rasa aman yang asing dan membuatnya meragukan segalanya. bagaimana mungkin perasaan takut dan rasa aman bisa bercampur dalam sosok yang sama?

dalam perjalanan singkat ke ruang tamu rumah, Arshaka tiba-tiba berhenti ketika melihat cermin besar di lorong. ia terkejut melihat bayangannya sendiri.

matanya yang berwarna coklat tampak lebih kosong dan wajahnya lebih pucat dari yang ia ingat. tubuhnya terlihat kurus, dengan rambut coklatnya yang terlihat sedikit memanjang.

Arshaka berdiri mematung, menatap wajahnya yang asing di cermin.

apakah ini benar-benar dirinya? rasa sakit di dadanya tiba-tiba menyeruak lagi, diikuti dengan bayangan wajah Brian yang muncul di benaknya. sosok itu membuatnya merasa ngeri dan ingin melarikan diri.

tanpa sadar kakinya melangkah mundur,  hingga menabrak dada bidang seseorang.

“Arshaka?” suara Jeffrey terdengar dari belakangnya. Arshaka tersentak, seperti terbangun dari mimpi buruk, dan langsung berbalik menghadap ayahnya.

“oh, ayah…” Arshaka mencoba tersenyum, namun ekspresinya terlihat canggung. “aku… hanya sedang melihat bayanganku di cermin. terasa aneh, seperti bukan aku…”

Jeffrey tersenyum kecil dan menepuk bahunya dengan lembut. “itu wajar, sayang. kamu baru saja bangun dari tidur panjang. tubuhmu perlu waktu untuk menyesuaikan diri lagi.”

Arshaka hanya mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi kegelisahan.

dia ingin sekali bertanya, apakah Brian juga bagian dari kenyataan? apakah orang yang menyiksanya dalam mimpi benar-benar ada, atau hanya produk dari pikiran yang tidak stabil?

“ayah,” panggil Arshaka, dia menatap jeffrey dengan pandangan linglung. “apa aku mempunyai kakak laki-laki bernama, Michael?”

.
.
.

ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara rokok yang terbakar perlahan, menyebarkan aroma tembakau di udara.

dua pemuda berdiri di sana, saling memandang dengan ekspresi serius yang jarang mereka tunjukkan. masing-masing tenggelam dalam pikirannya, seolah-olah memikirkan langkah selanjutnya.

dia udah bangun, lo mau langsung nemuin dia?” tanya salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan rambut acak dan wajah yang terlihat datar tanpa gairah hidup.

pemuda lain yang berambut panjang dan diikat setengah, hanya menggeleng pelan sambil menyesap rokok di tangannya.

hembusan asap keluar dari bibirnya dengan pelan, menyelimuti wajahnya dalam kabut tipis.

pandangannya kosong, namun dalam tatapan itu tersimpan sesuatu yang sulit diungkapkan—sebuah kelelahan dan keengganan untuk menghadapi kenyataan yang ada.

“daddy bilang dia kelihatan ketakutan,” katanya, suaranya berat dan datar, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan emosi. “dia masih inget kejadian itu…”

yang mendengar hanya mengernyitkan alisnya, menatap temannya dengan kebingungan dan kekhawatiran yang semakin dalam. “mustahil,” gumamnya, setengah tidak percaya. “bukannya dokter bilang waktu dia bangun nanti, dia bakal lupain segalanya… termasuk kita,”

A World Without LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang