ch 4

168 32 7
                                    

Arshaka menatap cermin wastafel dengan pandangan kosong. bayangannya sendiri terlihat begitu mengerikan disana—mata sembap dengan lingkaran hitam tebal, wajah pucat, dan bibir kering yang bergetar halus.

mimpi buruk itu telah merampas tidurnya sepanjang malam, meninggalkan tubuhnya yang lelah, dan pikirannya yang penuh dengan kekacauan.

dia menyentuh permukaan cermin dengan tangan gemetar, seolah mencoba menyentuh versi dirinya yang terpantul di sana. namun, pantulan itu hanya menatap balik, seolah-olah mengejek kelemahannya.

“kenapa... rasanya itu bukan hanya sekedar mimpi buruk,” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar di atas suara air keran yang mengalir.

tok! tok! tok!

suara ketukan lembut di pintu kamarnya memecah lamunannya. “sayang, kamu sudah bangun? jika sudah, mari sarapan bersama. ayah akan menunggu di bawah,” suara Jeffrey terdengar hangat.

Arshaka melirik ke arah pintu melalui ekor matanya, lalu menghela napas panjang.

dia memutar keran, membasuh wajahnya berkali-kali hingga merasa rona pucatnya sedikit memudar. namun, rasa takut dan kekosongan di dadanya tak kunjung pergi.

setelah menenangkan dirinya sejenak, ia melangkah keluar kamar dan menuju ruang makan.

sepanjang perjalanan, pandangannya melayang, pikirannya kosong. bahkan ketika ia tiba di ruang makan, ia masih larut dalam lamunannya, tidak menyadari kehadiran Jeffrey yang menatapnya dengan pandangan penuh perhatian.

“Shaka,” suara Jeffrey memanggilnya pelan namun tegas, membuat Arshaka tersentak.

“oh… maaf, ada apa, ayah?” Arshaka mencoba tersenyum, meskipun canggung.

dia duduk di kursi di sebelah Jeffrey, namun ada jarak tak kasat mata di antara mereka yang membuat Jeffrey semakin resah.

“apa yang sedang kamu lamunkan, hingga panggilan dari ayah kamu abaikan?” tanya Jeffrey, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Arshaka terdiam sejenak, pandangannya tertuju pada meja makan tanpa fokus. setelah beberapa detik, ia menggeleng pelan. “tidak ada, ayah. aku hanya merasa… mnn… bosan,” jawab Arshaka akhirnya, nada suaranya terdengar datar, tanpa semangat.

Jeffrey memperhatikan wajah putranya yang tampak begitu murung.

dia tau Arshaka tidak sedang berkata jujur, namun memilih untuk tidak memaksanya. sebagai gantinya, Jeffrey mencoba mendekat dengan cara lain. “kalau begitu, bagaimana jika kita pergi jalan-jalan hari ini? ayah sedang tidak ada pekerjaan penting. kita bisa pergi ke mana pun yang kamu mau.”

Arshaka mengangkat pandangannya, sedikit terkejut dengan tawaran itu. namun, setelah beberapa detik, ia kembali menunduk, pikirannya tampak tenggelam lagi. “aku… tidak tau, ayah. mungkin lain kali saja…”

“Shaka.” suara Jeffrey terdengar lebih tegas sekarang. dia meletakkan tangannya di atas meja, mendekatkan tubuhnya sedikit. “ayah ingin kamu tau, kamu tidak perlu menyimpan semuanya sendirian. apa pun yang kamu rasakan, kamu bisa bicara pada ayah.”

Arshaka menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba muncul.

dia ingin percaya kata-kata itu, tapi bayangan mimpi buruknya terus menghantui.

dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk kecil. “baiklah… jika begitu, kita jalan-jalan,” jawabnya lirih.

.
.
.

beberapa jam kemudian, mereka berada di taman kota yang sepi. Jeffrey sengaja memilih tempat ini, berharap suasana tenang bisa membantu Arshaka merasa lebih baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A World Without LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang