Hari-hari terus berlalu dalam kesibukan yang mengalir tenang di hidup Mira, beriringan dengan perhatian Andri yang tiada henti menemani. Mira yang kini larut dalam pekerjaannya, sedikit demi sedikit mengubur bayang-bayang masa lalunya, mencoba membuka lembar baru bersama Andri yang selalu ada di sampingnya. Lelaki itu bagaikan sandaran yang kokoh, selalu menjaga dan melindunginya dalam setiap langkah. Setiap hari bersama Andri memberinya kedamaian yang begitu ia butuhkan, hingga membuatnya perlahan percaya bahwa hidup barunya akan dipenuhi kehangatan yang berbeda.
Namun, di tempat lain, dalam kesunyian yang dingin dan menyiksa, Rasyid berjuang dengan setiap hela napas yang semakin berat. Tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari, terkikis oleh kanker yang kini telah menyebar ke berbagai organ vitalnya. Pengobatan yang pernah ia jalani, mulai dari kemoterapi hingga radiasi, tidak memberi hasil yang diharapkan. Malah, terapi-terapi tersebut meninggalkan rasa sakit yang lebih dalam, menggerogoti tubuhnya lebih dari yang bisa ia bayangkan. Kulitnya menguning, berat badannya turun drastis, dan sel kanker yang terus berkembang memperburuk kondisinya hingga membuat hidup terasa bagai medan pertempuran yang tak berkesudahan.
Dalam keheningan kamarnya, Rasyid bertahan sendirian, menahan setiap detik rasa nyeri yang mengalir seperti gelombang pasang dalam tubuhnya. Setiap kali mencoba beranjak dari ranjang, ia membutuhkan tenaga ekstra, yang makin hari terasa makin hilang darinya. Sering kali, ia terbangun tengah malam, dadanya sesak, dan napasnya pendek-pendek seolah paru-parunya tak mampu lagi mengembang dengan sempurna. Pada saat-saat seperti itu, rasa putus asa merayap di dalam dirinya, mengingatkannya pada kebahagiaan yang pernah ia miliki dan telah berlalu.
Suatu malam, Rasyid merasakan keinginan yang mendesak untuk buang air kecil. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha bangkit dari ranjangnya yang berdekatan dengan jendela kosan, mencoba berdiri dengan tubuh yang semakin rapuh. Kamar mandinya berada di ujung koridor, jarak yang mungkin terasa biasa bagi orang sehat, namun bagi tubuhnya yang lemah, perjalanan itu bagaikan menempuh jalan yang penuh rintangan. Langkahnya goyah, dan setiap gerakannya menguras energi yang terasa hampir habis. Namun, dengan tekad yang tersisa, ia berjalan tertatih menuju kamar mandi, berharap bisa sampai di sana tanpa hambatan.
Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Ia berhasil mencapai pintu kamar mandi, namun tiba-tiba saja sebuah rasa sakit luar biasa menyerang kepalanya, menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit itu begitu kuat, seakan ada sesuatu yang meledak di dalam kepalanya. Dalam sekejap, tubuhnya mengalami kejang hebat, seolah setiap otot dalam tubuhnya bergetar tanpa kendali. Sesaat kemudian, Rasyid jatuh tak berdaya di lantai kamar mandi yang dingin. Ia kehilangan kesadaran, tubuhnya tergeletak dalam keheningan yang sunyi, hanya terdengar suara napasnya yang semakin lemah dan tersendat.
Beruntung, ada salah satu anak kosan bernama Dani yang secara tak sengaja melihat tubuh Rasyid tergeletak di kamar mandi. Melihat kondisi Rasyid yang tidak sadarkan diri, Dani segera mengambil telepon genggamnya dan menelepon ambulans. Rasa panik menyelimuti hati Dani, menyadari bahwa kondisi Rasyid tampak serius, jauh dari sekadar pingsan biasa.
Saat tiba di rumah sakit, Rasyid langsung mendapat penanganan darurat. Tim dokter segera melakukan pemeriksaan intensif dan mendapati bahwa ia telah mengalami serangan stroke berat. Pembuluh darah di otaknya pecah, menyebabkan pendarahan yang meluas di area vital otak. Kondisi ini dikenal dengan istilah medis stroke hemoragik, suatu keadaan ketika pembuluh darah di otak pecah sehingga darah mengalir ke dalam jaringan otak, merusak sel-sel di sekitarnya. Stroke jenis ini sangat berbahaya, dan pendarahan yang tidak segera dihentikan bisa menyebabkan kerusakan permanen pada otak atau bahkan kematian.
Pendarahan di otak yang dialami Rasyid menuntut tindakan operasi secepat mungkin. Dokter menjelaskan bahwa pendarahan perlu dihentikan, dan pembekuan darah yang terbentuk akibat pecahnya pembuluh darah harus diangkat untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Namun, dalam prosedur yang sangat kompleks ini, dokter membutuhkan persetujuan dari keluarga atau kerabat terdekat pasien.
Dani yang tidak mengenal Rasyid lebih dekat hanya bisa berdiri kebingungan di ruang tunggu rumah sakit. Ia tidak tahu siapa yang harus dihubungi atau siapa yang bisa memberikan persetujuan untuk operasi tersebut. Dalam kepanikannya, Dani akhirnya mengambil telepon genggam Rasyid dan membuka kontak. Di dalamnya hanya terdapat satu nama yang tercatat sebagai "Miranti". Tanpa berpikir panjang, Dani segera menelepon nomor tersebut dan berharap orang yang ia hubungi akan segera datang.
Telepon itu berdering panjang sebelum akhirnya diangkat. Dari seberang, terdengar suara Mira yang terkejut menerima panggilan dari nomor Rasyid, nama yang tak pernah ia duga akan muncul kembali dalam hidupnya. Dengan suara terbata, Dani menjelaskan keadaan Rasyid dan memberitahu bahwa pria itu berada dalam kondisi kritis di rumah sakit. Mendengar kabar itu, hati Mira terasa tersentak. Dengan tergopoh-gopoh, ia segera menuju rumah sakit, berharap bisa tiba tepat waktu untuk mendampingi Rasyid dalam perjuangannya.
Sesampainya di rumah sakit, Mira mendapati Rasyid dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, dan sejumlah alat medis terhubung pada tubuhnya, memperlihatkan betapa parahnya kondisi yang ia alami. Dokter menjelaskan situasi Rasyid pada Mira, menegaskan bahwa operasi yang akan dilakukan sangat berisiko, namun menjadi satu-satunya harapan untuk menghentikan pendarahan di otaknya. Tanpa ragu, Mira menandatangani surat persetujuan operasi, berharap bahwa tindakan ini akan memberi Rasyid kesempatan untuk bertahan hidup.
Operasi dimulai segera setelah persetujuan diberikan. Prosesnya berlangsung lama dan penuh ketegangan, sekitar sepuluh jam dokter dan tim medis berjuang di ruang operasi. Dalam prosedur ini, tim bedah melakukan tindakan yang disebut kraniotomi, yakni membuka sebagian tulang tengkorak agar bisa mengakses area otak yang mengalami pendarahan. Setelah mengangkat tulang tengkorak atau tempurung kepala, tim bedah membersihkan darah yang mengumpul akibat pendarahan di otak dan menghentikan pendarahan lebih lanjut dengan mengikat pembuluh darah yang pecah.
Kraniotomi ini merupakan prosedur yang sangat invasif dan mengandung risiko tinggi, termasuk infeksi, kerusakan saraf, hingga kemungkinan pasien tidak akan pernah sadar kembali. Selama lebih dari sepuluh jam, Mira menunggu di ruang tunggu rumah sakit dengan perasaan cemas yang mendalam. Ia tak bisa berpaling dari kenyataan bahwa Rasyid, yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini berada dalam situasi antara hidup dan mati.
Setelah berjam-jam berlalu, akhirnya operasi selesai, dan dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah serius. Mereka menjelaskan bahwa meskipun pendarahan berhasil dihentikan, kondisi Rasyid masih kritis. Bagian otaknya yang terkena pendarahan mengalami kerusakan yang cukup parah, dan kesadarannya belum pulih. Rasyid sekarang berada dalam keadaan koma, kondisi di mana tubuhnya tidak merespons rangsangan apapun dan sistem tubuhnya dijaga oleh alat-alat medis.
Tak hanya itu, bagian tulang tengkorak yang diangkat dalam operasi tadi tidak langsung dipasang kembali untuk mengurangi tekanan di otak. Rasyid kini terbaring tanpa tempurung kepala, penampilan yang membuat Mira tercekat dan tak mampu berkata-kata. Hanya selapis kulit kepala yang melindungi otaknya, membuat wajahnya terlihat lebih kurus dan ringkih.
Dokter juga menjelaskan bahwa kondisi ini dikenal sebagai dekompresi kraniotomi, prosedur yang terpaksa dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak yang meningkat karena pembengkakan. Dengan tidak dipasangnya tulang tengkorak, risiko infeksi akan semakin besar. Mereka pun tidak bisa memastikan apakah Rasyid akan sadar atau bisa kembali pulih seperti sediakala.Mira hanya bisa berdiri di samping ranjang Rasyid, memandang wajahnya yang terbaring lemah. Air matanya perlahan menetes, mengalir di pipinya. Semua kenangan indah bersama Rasyid kembali berputar di kepalanya, bagaikan cuplikan film yang terpotong-potong. Sakit di dadanya tak bisa ia lukiskan, melihat pria yang pernah ia cintai berada dalam kondisi tak berdaya seperti ini.
SEE U NEXT WEEK
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love Two Souls [END]
RomanceTerkadang ada seseorang yang hadir di dalam hidup hanya untuk dicintai di dalam hati saja bukan untuk dimiliki oleh kehidupan nyata. ~Miranti~