Keesokan harinya, suasana panti rehabilitasi terasa begitu hening saat Mira dan Andri melangkah masuk ke ruangan perawatan Rasyid. Langkah mereka melambat ketika mendapati sosok Rasyid yang tengah terduduk di kursi roda, tubuhnya terikat sabuk pengaman untuk mencegahnya terjatuh. Tubuhnya tampak semakin kurus, kulitnya terlihat begitu pucat, dan matanya menyorotkan kelelahan yang dalam meski sinar hidup masih terpancar di balik kelamnya.
Baru saja ia dibersihkan oleh seorang perawat pria, pakaian yang rapi dan diapers yang baru saja dikenakan tak mampu menghapus rasa malu yang terpancar dari wajahnya.Andri, yang pertama kali melihat keadaan Rasyid dalam kondisi seperti ini, menelan rasa pilu di hatinya. Ia tahu Rasyid adalah bagian dari masa lalu Mira, namun tidak sedikit pun ada rasa iri dalam dirinya. Ia merasa simpati yang mendalam, melihat seorang pria yang pernah begitu dekat dengan Mira kini berada di dalam situasi yang begitu menyedihkan dan tak berdaya.
Andri mendekat, berlutut di samping Rasyid dan menyapanya dengan lembut, “Halo, Mas Rasyid. Saya Andri,” ucapnya, memperkenalkan diri dengan nada hangat. Di dalam kata-kata itu, Andri mencoba menawarkan kedamaian dan dukungan, meski ia sadar sepenuhnya bahwa tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menenangkan seseorang yang menderita seperti Rasyid. Meski sulit, Andri ingin menunjukkan bahwa dirinya ada di sini, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai seseorang yang peduli.
“Ha... i...” kata Rasyid dengan suara serak dan perlahan, setiap kata seperti tercekik di tenggorokannya. Dengan susah payah, ia berusaha membalas sapaan Andri, meski tatapan matanya tampak canggung. Dalam hatinya, Rasyid tahu siapa Andri. Ia tahu bahwa pria ini adalah kekasih Mira, seseorang yang kini ada di dalam hidup perempuan yang dulu sangat ia cintai. Rasyid menyadari keadaannya yang jauh dari kata layak, dan ia hanya bisa menelan kepasrahannya. Ketidakpercayaan dirinya kian membebani batinnya, membuatnya merasa terasing di dalam tubuhnya sendiri.
Andri, pria yang sehat, sempurna, dan penuh perhatian, tampak seperti seseorang yang pantas untuk Mira. Berbeda dengan dirinya, yang kini tak lebih dari seorang pria yang menderita kanker otak stadium akhir, terjebak di dalam tubuh yang lumpuh akibat stroke. Bagaimana mungkin aku bisa membahagiakan Mira dengan keadaanku ini? pikir Rasyid dengan getir.
Dalam keheningan yang melingkupi mereka, Mira berusaha menghibur Rasyid. Ia mendekat dan menggenggam tangan pria itu dengan lembut, sementara air mata membayang di sudut matanya. Ia tahu bahwa Rasyid merasa tidak nyaman, terutama dengan popok yang dikenakan dan kondisi tubuhnya yang kian mengecil. Namun bagi Mira, tak ada sedikit pun rasa jijik atau malu. Di matanya, Rasyid tetaplah sosok yang pernah ia cintai dengan tulus, yang kini tengah berjuang dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.
---
Rasyid hanya bisa duduk di kursi roda, tubuhnya terbungkus kain selimut yang tipis, dan pandangannya tertunduk seolah menghindari tatapan Andri dan Mira. Tangan kirinya mengepal di atas perutnya, kaku dan gemetar, sementara tangan kanannya tertambat dengan lemah di samping kursi roda. Kakinya yang semakin hari semakin mengecil, hanya menyisakan tulang yang nyaris tak berotot. Mulutnya yang kini mencong mengeluarkan liur yang tak bisa ia kendalikan, membasahi sudut bibirnya. Popoknya yang sedikit mengembung semakin membuatnya merasa tak berguna, rasa malu menyelimuti dirinya. Dalam bayangan Rasyid, ia adalah sosok yang tak lagi berguna, seseorang yang telah kehilangan seluruh harga dirinya sebagai manusia.
Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah Mira bisa melihatnya seperti ini dan tetap memiliki rasa peduli yang sama? Apakah wanita itu bisa tetap mengingat dirinya sebagai sosok yang dulu pernah kuat dan mandiri, bukan sebagai seseorang yang bergantung pada perawatan orang lain, tak berdaya, dan terpenjara di dalam tubuhnya sendiri?
Mira, yang duduk di samping Rasyid, dapat merasakan rasa putus asa yang membebani hati pria itu. Ia mengelus tangan Rasyid dengan lembut, seolah berusaha menyampaikan bahwa ia tetap ada di sana, mendampingi Rasyid tanpa sedikit pun rasa ragu. “Mas Rasyid, aku di sini. Aku nggak akan pergi,” bisiknya pelan, mencoba menenangkan hati yang rapuh di hadapannya. Di dalam tatapan Mira, tersimpan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seakan tak ada satu pun yang bisa mengubah perasaan sayangnya terhadap Rasyid.
Di sisi lain, Andri, yang berdiri mengamati mereka, merasa haru melihat kesetiaan Mira. Andri tahu bahwa ini adalah babak sulit dalam hubungan mereka, namun ia tetap berbesar hati, menerima keadaan dengan lapang dada. Baginya, kebahagiaan Mira adalah hal yang paling penting, dan jika kebahagiaan itu termasuk berada di samping Rasyid yang tengah berjuang, maka ia rela mendukung Mira sepenuhnya.
Di antara rasa putus asa yang menyelimutinya, Rasyid mencoba memaksakan sebuah senyum kecil, meski senyum itu terlihat menyedihkan. Ia berusaha menutupi segala kepedihannya, meski senyum itu terasa pahit. Baginya, kebahagiaan Mira adalah hal yang tak ingin ia halangi, meski itu berarti ia harus melepaskan perasaan yang selama ini ia simpan dalam hati.
---
Setelah beberapa saat, perawat datang membawa kursi roda Rasyid kembali ke kamar perawatannya. Mira dan Andri berjalan beriringan di belakangnya, mengiringi langkah Rasyid yang dituntun perlahan oleh perawat. Andri menyadari betapa sulitnya bagi Mira untuk terus mendampingi Rasyid, namun di dalam dirinya, ia merasakan keteguhan hati perempuan itu untuk selalu ada bagi pria yang pernah ia cintai.
Sampai di kamar perawatan, Andri duduk di samping Mira dan berkata lembut, “Mira, aku sangat menghargai apa yang kamu lakukan untuk Mas Rasyid. Aku tahu ini tidak mudah untukmu, tapi aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu. Jika kamu ingin terus merawatnya, aku akan menemanimu. Kita bisa melakukannya bersama-sama.”
Mira menatap Andri dengan mata berkaca-kaca, terharu oleh ketulusan hati pria yang kini berada di sisinya. Ia merasa bahwa Andri benar-benar mengerti beban yang ia pikul, dan kehadirannya memberikan ketenangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam hatinya, ia merasa sangat beruntung memiliki Andri yang begitu pengertian, yang mampu menerima segala keadaan tanpa sedikit pun rasa keberatan.
Rasyid, yang menyaksikan percakapan itu dengan tatapan kosong, merasakan betapa dirinya telah tersisih dari kehidupan Mira. Ia tahu bahwa Mira dan Andri adalah pasangan yang serasi, pasangan yang memiliki kesempatan untuk saling mencintai dan membahagiakan satu sama lain. Dengan berat hati, ia pun berdoa dalam hatinya, memohon agar Mira bisa mendapatkan kebahagiaan yang layak ia dapatkan bersama Andri, meski itu berarti ia harus merelakan kehadirannya dalam kehidupan Mira.
Di sudut kamar perawatan yang hening, Rasyid menutup mata, mencoba menerima kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Baginya, kebahagiaan Mira adalah hal yang lebih penting dari segala-galanya, dan ia rela melepaskan segala perasaan yang selama ini ia simpan. Hatinya merasa damai, meski tubuhnya masih tertahan di dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love Two Souls [END]
RomansaTerkadang ada seseorang yang hadir di dalam hidup hanya untuk dicintai di dalam hati saja bukan untuk dimiliki oleh kehidupan nyata. ~Miranti~