#14. Proper Goodbye

106 20 8
                                    

Naya dan adik semata wayangnya Gio sedang berbaring di sofa bed kamar rumah sakit. Wajah-wajah kelelahan tergambar jelas. Lantaran semalaman mereka tidak tidur. 

Tadi malam dokter jaga meminta semua anggota keluarga inti berkumpul. Bapak sejak semalam tiba-tiba kondisinya kritis dan tak sadarkan diri. Dokter mengisyaratkan keluarga untuk bersiap mengucapkan perpisahan.

Hingga siang ini pun kondisinya masih sama. Selang untuk oksigen tingkat tinggi, kabel-kabel yang terhubung dengan monitor, dan syringe pun masih lengkap terpasang. Dokter hanya meminta, kalau saturasi dan tekanan darahnya turun drastis, agar segera memanggil dokter jaga.

"Lo masih marah sama Bapak, Mbak?" tanya Gio tiba-tiba.

"Hmm?" Naya pura-pura tak mendengar.

Gio mengubah posisi badannya, face to face dengan kakaknya. "Lo masih belum bisa maafin Bapak?" ... "Udah bolak balik ke psikolog, Mbak masih belum bisa maafin Bapak juga?" Ada desakan dalam intonasi Gio yang membuat Naya tak nyaman. "Sesusah itu Mbak?"

"Permisi, Halo! Om Irwan?"

Tanpa diduga kehadiran Mas Meidi, sepupu Naya dan Gio, membuyarkan kecanggungan kedua kakak adik itu.

"Gimana keadaan Om Irwan?" Meidi sepupu Naya yang usianya jauh lebih tua dibanding mereka berdua, adalah sepupu favorit. Pembawaannya yang selalu tenang serta pengalamannya, menjadikan dirinya tempat kedua kakak adik itu bertukar pandangan.

Naya pun menceritakan runutan kondisi Bapak, hingga kritis saat ini.

"Ya udah. Kita gak tahu rencana Tuhan apa, tapi seenggaknya kita harus bersiap kalau apa yang diupayakan gak berhasil." Meidi pun menepuk punggung kedua sepupunya.

"Mas Meidi, Gio balik dulu yah. Mau balik dulu ke rumah sama Ibu, naro cucian kotor sama ambil baju baru. Gio juga mau ngecek Adis dulu, soalnya udah menjelang hari lahiran. Takut kenapa-napa." Lekas adik Naya berpamitan, bersalaman dan melangkah keluar kamar perawatan.

🍒 ----------- 🍒

"Dulu yah Nay, kamu inget kan waktu Bude Nungki di ICU sampai sebulan lebih, koma gak sadar-sadar." Naya ingat, waktu ia masih duduk di bangku SMA, bersama ibunya sering membantu Meidi menjaga ibunya yang sedang dirawat. Maklum saja Meidi satu-satunya anak Bude Nungki.

Naya hanya memberikan anggukan-anggukan kecil sambil mengingat memori belasan tahun itu.

"Dulu Mas berat banget rasanya ngelepasin Bude. Pokoknya tiap doa, Mas bilang ke Tuhan, sembuhkan Bude. Mas belum siap kehilangan Bude." ... "Tapi kamu tahu, suatu hari. Mas ganti doanya."

Meidi menarik nafas dalam, ingatan yang sudah lama itu masih saja terasa berat untuk diceritakan kembali.

"Mas bilang sama Tuhan. Kalau ketidaksiapan saya ditinggal Ibu saya menjadi penghalang untuk ia menghadap-Mu, maka aku ikhlaskan ia untuk pulang ke rumah-Mu Tuhan." Meidi memaksa senyum simpul sambil menoleh pada Naya.

"Habis itu Mas bisikin terus di kuping Bude kalau Mas minta maaf, kalau Mas ikhlas. Kalau Bude mau pergi, gak usah beratin Mas."

Kedua sepupu itu pun saling bertatapan, dalam diam saling menguatkan.

🍒 ----------- 🍒

Enam bulan lalu, Naya merasa ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya, khususnya ketika berhadapan dengan bapaknya. Bahkan untuk masalah yang sangat sepele, ia harus adu urat dengan bapaknya sendiri. Malam itu, ia menangis semalaman, untuk alasan yang ia pun sulit mengerti.

"Saya ingin maafin bapak saya sendiri Bu," kata Naya pada sosok psikolog klinis bernama Rianti saat ditanya apa goals ia kedepan.

Rangkaian sesi terapi pun dijalani Naya, tak pernah ada yang mudah. Setiap sesi terasa melelahkan, membuka kembali luka lama. Luka kenapa ia sangat membenci bapaknya. Mengapa ia sangat menyalahkan bapaknya atas kematian kakaknya. Mengapa ia sangat membenci karakternya yang sekarang sebagai bentuk perlawanan kepada bapaknya.

Sering Naya ingin berhenti di tengah jalan, terlebih ia merasa ia belum juga bisa memaafkan bapaknya. Tak tahu harus bagaimana dan apa bisa.

Dan malam ini...

Naya kini hanya tinggal berdua dengan bapaknya. Meidi sudah pulang dari sejam yang lalu. Damar sedang dalam perjalanan ke rumah sakit dari bandara. Setengah jam lagi, pikir Naya. 

Berduaan dengan bapaknya membuat napasnya terasa tercekat.

Tatapan Naya masih saja melekat pada sosok yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas kasur. Meruah pertanyaan dan keraguan yang kini bertarung di kepalanya. Pelan-pelan ia menarik kursi ke samping kasur. Naya pun memaksa duduk di sisi bapaknya.

Diletakkan tangannya ke pelipis bapaknya, diusapnya lembut. Aneh sungguh aneh, seperti ada yang menariknya untuk tidak melakukan itu. Tapi tangan itu tetap tak berubah posisi.

Rapalan demi rapalan pun keluar dari mulutnya, terjadi begitu saja. Seolah kata-kata itu sudah dipersiapkan dan dilatih untuk diucapkan, "Bapak, ini Naya. Bapak denger kan?" ... "Maafin Naya yah Pak, kalau selama ini Naya banyak bikin salah sama Bapak. Bikin sakit hati terus." 

Air mata pun perlahan jatuh dari ujung mata Naya, tangannya kini menggenggam erat tangan bapaknya yang dingin.

"Naya gak tahu apa yang sekarang ada di pikiran Bapak. Kalau Bapak masih marah sama Naya, sama Ibu sama Gio. Kita semua minta maaf sama Bapak.Tolong maafin kita yah Pak?"

Nafas panjang diambil dan cepat dihembuskan keras oleh Naya. "Atau kalau Bapak ngerasa belum sempat minta maaf sama kita, kita semua udah maafin Bapak." Naya menahan tangisnya, suaranya bergetar hebat.

"Naya sudah maafin Bapak. Bapak jangan kepikiran." Entah apa namanya, tapi ia merasa tenggorokannya yang sedari tadi terasa seperti tercekat kini perlahan lega. "Makasih udah besarin Naya, pasti berat banget."

"Naya sayang Bapak." Sebuah kecupan hangat pun berlabuh di pelipis Bapak.

🍒 ----------- 🍒

Lorong ruang perawatan Anggrek RS Barata Daya tiba-tiba menjadi sibuk. Dokter dan suster berlarian ke salah satu kamar, setelah salah satu pasien dilaporkan kondisinya terus turun. Sebuah defibrillator sedang dibawa masuk ke kamar bernomor 05.

Damar baru saja tiba di lobby rumah sakit, mencari papan petunjuk menuju ruangan perawatan.

"Mbak ini kita izin melakukan resusitasi jantung yah? Mengingat kondisi Bapak yang sudah lansia, resiko terburuknya adalah patah tulang rusuk akibat tekanan terlalu kuat, apa Mbak tidak keberatan?" tanya dokter pada Naya saat bapaknya tiba-tiba mengalami henti jantung.

Cepat Naya mengangguk, "Tolong Dok, yang terbaik apa saja untuk Bapak saya."

Salah satu dokter pun bergegas naik ke atas kasur, meletakkan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu, dan menekan naik turun di jantung bapak Naya. Beberapa kali sang dokter mencoba, namun garis-garis pada monitor tidak menunjukkan adanya detak jantung yang terbaca.

Damar tiba di muka pintu kamar 05 Ruang Anggrek RS Barata Daya. Dilihatnya ada beberapa suster dan dokter sedang berkumpul di dekat kasur. Sebuah mesin berada di sebelahnya. Suasananya terasa penuh sesak. Sudut matanya menangkap sosok Naya yang sudah dibanjiri air mata, sedang terduduk dengan tangan yang saling bertautan dari mulutnya terucap rapalan penuh doa.

Pelan-pelan ia masuk ke dalam ruangan.

"Pasien atas nama Irwan Setiadi, pada pukul 19.33 dinyatakan meninggal dunia." Salah satu dokter menghampiri Naya, kemudian menggenggam tangannya. "Kami turut berduka cita Mbak." Tiba-tiba ruangan terasa kosong, menyisakan jenazah Bapak, Naya yang sekarang sedang meringkuk duduk di atas sofa dan Damar yang hanya terdiam berdiri mencoba memahami situasi.

🍒 ----------- 🍒

Entah apa yang terjadi selanjutnya, Naya tak bisa mengingat dengan jelas. Ia hanya tahu ada petugas pemusaran jenazah yang datang untuk mengambil jenazah, meminta dokumen ini itu untuk proses administrasi. Ia sadar ada Damar disana, dan pria itu yang mengurus semuanya kemudian.

Tanpa ia mampu memproses semua, kini ia berada di dalam mobil Damar bersama supirnya. Beriringan dengan ambulans yang membawa jenazah bapaknya. Dari masuk mobil tadi, ia bisa merasakan tangan Damar yang memeluknya dari samping. Membiarkan ia menangis sepuasnya di dada pria itu.

Saat tiba di gerbang kompleks perumahannya, Naya hanya bisa bergumam. Sebentar lagi kita sampai rumah Pak, ketemu Ibu sama Gio. Naya antar Bapak pulang.

City of EchoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang