Hari itu, suasana ruang rapat di Bintang terasa tegang. Semalam, sang Kapten Renner, mengabari Tim Shadow bahwa ia punya dua berita untuk mereka: satu berita baik dan satu berita buruk. Namun, ia sama sekali tidak memberi petunjuk apa pun mengenai isinya. Bahkan Danil, tangan kanan Renner yang biasanya tahu sedikit bocoran, kali ini benar-benar tidak tahu apa-apa.
"Kok gue tegang ya," gumam Iqbal sambil memainkan bolpen di tangannya.
Paul menoleh sambil menyeringai, "Kalo gue jadi lo, pasti juga tegang. Siap-siap aja, Bal."
Iqbal meliriknya dengan was was. "Hah? Gue nggak abis bikin ulah kan?" tanyanya cemas. Sepanjang minggu itu, Iqbal merasa telah bekerja dengan baik, tak ada kesalahan atau masalah serius. Lagipula, kalaupun ia bikin ulah, Renner biasanya cukup memberi peringatan lewat panggilan telepon, tak perlu mengumpulkan seluruh tim hanya untuk itu.
"Enggak, lah. Ini pasti tentang Renner," ujar Danil sambil melirik Paul yang tampak menikmati keisengannya.
"Tapi kok aku ngerasa ini ada hubungannya sama Kak Sabila, ya?" ucap Syarla, mengusap dagunya sambil berpikir.
Saat itulah Renner masuk ke dalam ruangan, berjalan dengan tenang dan langsung duduk di tengah, menarik perhatian mereka semua. "Oke, gue nggak mau basa-basi. Ini tentang message yang gue kirim tadi malam," ujarnya. "Jadi, kalian mau dengar berita baik dulu, atau yang buruk?"
"Baik dulu, deh," jawab Iqbal cepat, diikuti anggukan dari yang lain.
Renner tersenyum lebar, matanya berbinar bangga. "Berita baiknya... istri gue hamil."
Sontak ruangan itu pecah oleh seruan dan tepukan riuh. "Selamat, lek!" seru Paul sambil menepuk punggung Renner dengan semangat. Syarla bahkan ikut bersorak, mengucapkan selamat dengan antusias.
“Rispek, abangku!” tambah Iqbal, mengangkat jempol.
Danil tersenyum lebar, "Wih, keren lu. Bukannya rencana nunggu Sabila selesai sekolah, tadinya?"
Renner mengangguk sambil tersenyum, "Ya, rencana sih begitu. Tapi Ganner berkata lain."
"Idih, Bang! Jijik, tau! Aku masih disini!" protes Syarla sambil menutup telinganya, membuat semua tertawa.
Renner hanya terkekeh. "Kenyataan, kok. Kebobolan gara-gara Ganner nggak pake pengaman sekali doang."
"TMI, Ren!" sahut Paul sambil menjitak Renner. "Kita nggak perlu tau prosesnya."
Setelah tawa reda, Iqbal, yang masih merasa ada sesuatu yang belum selesai, bertanya, "Tapi Bang… berita buruknya apa?"
Renner terdiam sejenak, lalu memandang wajah setiap anggota timnya dengan sorot yang serius. "Berita buruknya adalah… gue harus keluar dari Tim Shadow."
Ruangan yang tadi riuh mendadak sunyi. Empat pasang mata menatap Renner tak percaya, mencoba mencerna kata-katanya.
Melihat reaksi mereka, Renner sedikit kikuk, namun ia melanjutkan, "Gue udah janji sama Sabila. Kalo gue punya anak, gue nggak bisa lagi ikut penugasan Tim Shadow. Nggak mungkin gue kerja tanpa ridho istri."
Setelah beberapa saat terdiam, Paul yang akhirnya angkat bicara, mencoba memahami keputusan Renner. "Paham, Ren. Lagian lu kan emang udah sering absen di misi-misi tertentu."
Renner mengangguk. "Tapi sekarang semua misi nggak bisa gue ikutin. Termasuk misi wajib dari Pak Dewa. Jadi, gue harus keluar."
Danil, yang masih tertegun, mengusap dagunya dan berkata, "Tapi tim ini nggak bisa nggak ada lo, Ren. Apa kita bubar aja?"
Renner sudah menduga pertanyaan ini. "Gue nggak setuju, Nil. Buktinya kalau gue absen di beberapa misi, kalian tetep bisa jalan, kan?" Ia tersenyum, berusaha meyakinkan timnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
General FictionOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.