15

71 17 7
                                    

Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui celah tirai jendela kamar, menyelimuti ruangan dengan cahaya lembut. Udara pagi yang dingin mengalir pelan, tetapi Anna tetap merasa gerah. Ia membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lelah dan berat. Pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk dan ia segera menyadari keberadaan Jay di sampingnya.

Pria itu masih tertidur, dengan napas teratur yang terdengar tenang. Wajahnya tampak damai, tidak seperti pria yang penuh kendali seperti yang Anna kenal selama ini. Namun, kedamaian itu hanya membuat perasaan Anna semakin rumit. Ia mengingat malam sebelumnya dengan jelas, setiap kata, setiap sentuhan. Hatinya terasa penuh sesak, bercampur antara rasa malu, amarah dan sesuatu yang tidak ingin ia akui.

Anna memalingkan wajahnya, mencoba menenangkan debar jantungnya. Ia duduk perlahan di tepi tempat tidur, merapatkan selimut di tubuhnya. Pandangannya kosong menatap lantai kayu yang dingin. Bagaimana aku bisa terus seperti ini ? pikirnya dalam hati, air mata mulai menggenang di matanya.

Jay bergerak perlahan di belakangnya. Suara kasur yang berderit membuat Anna semakin tegang. Tak lama kemudian, tangan Jay menyentuh pundaknya dengan lembut.

"Anna" suara Jay terdengar serak, menandakan ia baru bangun. "Kenapa kau bangun sepagi ini ?"

Anna tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Ia merasa jika ia membuka mulut sekarang, isaknya akan pecah. Jay memperhatikan punggung Anna yang membelakanginya, menyadari tubuhnya yang sedikit gemetar. Ia mendekat, duduk di samping Anna dan meraih dagunya perlahan, memutar wajahnya agar ia bisa menatap matanya.

"Anna, kau menangis lagi" gumam Jay. "Apa yang salah ?"

Anna menepis tangan Jay dengan lembut, tetapi tetap tidak menatapnya. "Jay, aku hanya merasa lelah" jawabnya pelan, mencoba mengendalikan emosinya.

"Lelah ?" Jay mengulangi kata itu dengan nada yang penuh arti, lalu menghela napas pendek. "Anna, aku tahu kau tidak senang dengan semua ini. Tapi aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tidak akan pernah bisa"

Kata-kata itu membuat hati Anna semakin berat. Ia akhirnya menatap Jay, matanya penuh dengan air mata yang tertahan. "Kenapa ? Kenapa kau harus terus seperti ini ? Apa kau tahu bagaimana aku merasa seperti tidak memiliki kendali atas hidupku ? Apa kau peduli ?"

Jay terdiam sesaat, lalu mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Anna, tetapi wanita itu mundur sedikit, menghindar. Melihat itu, ekspresi Jay berubah menjadi lebih serius.

"Aku peduli" katanya dengan nada yang lebih tegas. "Tapi aku punya caraku sendiri untuk menunjukkannya. Mungkin kau tidak menyukainya, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kau terlalu penting bagiku"

"Pent—" Anna menghentikan kata-katanya, menutup mulutnya seolah mencoba mencegah isak keluar. "Kau bahkan tidak memikirkan apa yang aku inginkan. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri"

Jay menghela napas panjang, lalu berdiri dari tempat tidur, membelakangi Anna. "Aku tahu" katanya dengan suara rendah. "Aku tahu aku egois, tapi aku lebih suka menjadi egois daripada kehilanganmu"

Anna hanya bisa menatap punggungnya yang kokoh, tidak tahu harus berkata apa. Jay menoleh ke arahnya lagi, menatap dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Anna, aku tidak akan memaksamu berkata apa pun sekarang. Tapi satu hal yang harus kau tahu, kau adalah milikku. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk memastikan kau tidak pernah pergi" katanya sebelum berjalan ke jendela, membiarkan udara pagi masuk lebih banyak ke dalam ruangan.

Anna tetap diam, hatinya berkecamuk dengan emosi yang tidak ia mengerti. Di satu sisi, ia ingin membenci Jay sepenuh hati, tetapi di sisi lain, ada bagian kecil dari dirinya yang merasa tersentuh oleh kata-katanya, meskipun ia tahu itu salah.

Master ft Jay Park of EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang