Prolog - WHEN WE MET -

126 14 0
                                    

Ia memang putri yang tidak bisa diam. Chanchala (unstable), mereka terkadang memanggilnya. Meskipun begitu, ia tidak memiliki niat untuk terpisah dari rombongan saudara-saudaranya, Abhimanyu yang bergerak terlalu cepat.

Ia adalah Vahini, putri tertua dari calon Raja Yudhistira dan Tuan Putri Drupadi, adik dari pangeran Prativindhya. Orang tuanya sedang berada dalam pengasingan, selama tiga belas tahun. Untungnya, mereka akan segera kembali. Mengingat usia Abhimanyu yang hampir memasuki enam belas tahun, maka dapat dipastikan bahwa mereka memang akan kembali sebentar lagi.

Ia dan saudara-saudaranya berniat untuk berburu, untuk mengisi rasa bosan mereka, berhubung Abhimanyu sedang berkunjung.

Jangan salah, hanya karena ia wanita, bukan berarti ia tidak memahami ilmu senjata. Ya, ia memang menyukai panahan dan seni pedang, tetapi hanya di situ saja.

Sialnya, kuda miliknya terluka diperjalanan menuju area berburu.

"Abhimanyu!" Ia berusaha memanggil tetapi naas, sang pangeran muda sudah pergi terlalu jauh dari jangkauannya.

Sang putri menghela napas pelan, sepertinya ia akan menjadi yang terakhir untuk sampai. Ia mengelus bulu halus kuda putih bersih itu, melihat darah yang menetes dari kaki si kuda, mengotori helaian putih halus.

"Oh ... pasti menyakitkan." Ia memutuskan untuk turun dari kudanya. Vahini tersenyum, memeluk kudanya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Istirahat saja, kita akan ke sana pelan-pelan." Lagipula, mentari tidak bersinar terlalu terik hari ini.

Kuda tersebut mendengus, kepalanya terus menoleh ke arah timur, seakan-akan ada sesuatu di sana. Ia terus memberontak dari tangan lembut sang putri. Dahi Vahini mengerut, kudanya tidak pernah sekalipun memberontak seperti ini padanya. Pasti ada sesuatu yang menganggu. Mata cokelat terang miliknya melirik ke arah timur, hanya ada pepohonan yang menghalangi, dengan jalan setapak menuju sisi hutan yang lebih dalam lagi.

"Apakah ada sesuatu di sana?" Ia berbisik kepada kudanya. Itu mungkin konyol, tetapi kudanya merespon dengan cara mengendus lagi. Kepalanya kembali ke tangan lembut sang putri. Artinya memang ada sesuatu di sana.

Vahini, putri yang tidak mudah takut, terkenal dengan kedewasaannya, memutuskan untuk mengikat kudanya di salah satu pohon terdekat. Kemudian ia mengeratkan sabuk pedang yang berada di pinggulnya. Ia melirik kembali ke kudanya, mengelus lembut untuk terakhir kalinya sebelum melangkah menuju jalan setapak itu.

--WHEN WE MET--

Semakin ia masuk, semakin luas jangkauan pepohonan. Masih tidak ada apa-apa di sana. Vahini berpikir untuk kembali, tetapi, melihat seberapa jauh ia masuk, akan sia-sia tenaga yang ia keluarkan jika ingin kembali. Maka sang putri menahan keinginannya dan terus berjalan menyusuri hutan.

Jika ditanya ia takut atau tidak, sebenarnya ya, ia sedikit takut. Namun, ia adalah putri dari Yudhistira dan Drupadi, bagaimanapun, ia harus menunjukkan keberanian.

Setelah lama berjalan, ia akhirnya menemukan sebuah dataran luas yang minim pepohonan. Apalagi kalau bukan tebing? Namun, yang membuat sang putri mengerutkan dahinya, adalah seseorang yang berdiri di tepi tebing tersebut. Dari belakang, orang itu memiliki rambut panjang sebahu, hitam legam bagai langit tengah malam, kulitnya seputih susu, namun tampak pucat bagai sinar rembulan. Pakaian yang digunakannya tidak terlihat murahan, yang menandakan bahwa orang itu pasti berasal dari kalangan atas.

Hanya dengan melihatnya saja, perasaan akrab membendung di dadanya. Perasaan yang aneh, seperti ia ingin berlari dan langsung memeluk orang itu. Mata madunya menolak untuk meninggalkan si pria, bahkan untuk sedetik saja.

When We Met: Oh Maahi, Oh Jaani.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang