Hiran Laksita Mahawira. Satu-satunya anak dari pasangan Jatmiko Mahawira dan Anindya Laksita, sekaligus sumber pusing berkepanjangan bagi kedua orang tuanya. Di usia 18 tahun, Hiran lebih sering terlihat di jalanan ketimbang di rumah, lebih akrab dengan suara mesin motor daripada suara nasihat. Sudah berapa kali ia membuat masalah? Tak terhitung. Dari tawuran antar-geng, balapan liar, hingga berbagai pelanggaran kecil yang sering membuat nama keluarganya tercoreng di mata tetangga dan polisi.
Anindya, seorang wanita tegar yang dulunya dikenal sabar, kini sudah berada di ambang batasnya. Hiran tak henti-hentinya menguji kesabarannya, seolah sengaja mencari celah agar ibunya benar-benar marah. Di sisi lain, Jatmiko, ayah Hiran, tampak mulai menyerah, memilih bersikap acuh. Setiap kali telepon dari kantor polisi berdering, ia hanya menghela napas panjang, merasa seperti terjebak dalam siklus yang tak berujung.
Pagi itu, Anindya berdiri di ruang tamu, kedua tangannya terlipat, tatapannya tajam mengarah pada Hiran yang baru saja pulang sebab dijemput ayahnya. Baru kemarin ibunya menjemput Hiran karena kasus balapan liar, dan sekarang anak itu terlibat tawuran. Kepalanya terasa penuh, tak tahu lagi harus bicara apa.
"Kamu itu mau jadi apa, Hiran?" Suara Anindya terdengar berat, penuh dengan kecewa dan kemarahan yang tak terselubung. "Mama udah bosan, tau nggak? Baru minggu lalu Mama harus jemput kamu karena balapan ilegal! Sekarang apa? Tawuran lagi?"
Hiran hanya mendengus, melipat tangan di dada dengan wajah kesal. "Enggak usah lebay, itu cuma ribut kecil kok," ujarnya tak acuh, meski jelas terlihat amarah di matanya. Hatinya bergejolak. Sebenarnya, ia juga muak dengan pertengkaran ini, tapi tetap saja, ia tak tahan diam saja ketika ibunya terus menuntut dan memarahinya.
"Dengar baik-baik, Hiran." Anindya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan nada suaranya. "Mama beneran udah capek. Kali ini, kamu udah enggak bakal tinggal di rumah. Kamu harus pergi ke desa, tinggal sama Bibi Elly selama tiga bulan." Ia tak memberi ruang untuk tawar-menawar. Suaranya tegas, penuh ketetapan.
Hiran membelalak, wajahnya semakin merah. "Apa? Desa? Maksud Mama, Hiran harus tinggal di kampung selama tiga bulan? Yang bener aja?!"
Namun, Anindya bergeming. "Mama nggak mau dengar lagi berita kamu berurusan sama polisi. Ini bukan soal suka atau nggak suka. Ini hukuman, Hiran."
Di sudut ruangan, Jatmiko hanya duduk, mengalihkan pandangannya dari percakapan itu. Ia tahu tak ada gunanya ikut berbicara, karena baginya semua nasihat dan teguran sudah seperti angin lalu bagi Hiran. Setiap kali anak itu bermasalah, ia tak hanya harus meluangkan waktu untuk mengurus segala proses, tapi juga mengeluarkan uang yang tak sedikit. Kini, yang ia rasakan hanya lelah—lelah atas segala drama yang tiada henti dan rasa putus asa melihat anaknya yang tak mau berubah.
Segala ucapan Anindya juga bukan hanya sekedar ancaman. Wanita itu sangat serius, bisa dilihat sekarang barang-barang Hiran sudah mulai dikemas di depan mata Hiran yang merasa frustasi.
Seketika pikirannya mulai terisi bayangan ia tinggal di desa. Sangat buruk, Hiran ingat sekali bibi Elly pernah cerita dulu pernah ada kasus seorang pemuda hilang di hutan dekat rumah bibinya, bagaimana jika setelah ini Hiran adalah korbannya? Merinding, jangan sampai itu terjadi.
Walau sudah banyak cara Hiran lakukan untuk membujuk sang ibu namun tak ada satupun yang berhasil, Hiran mulai menyusun rencana untuk melarikan diri. Semoga saja desa bibi Elly memiliki akses yang mudah, tidak pelosok seperti yang ia bayangkan.
Tidak butuh waktu lama juga bagi Anindya mengemasi semua barang-barang Hiran. Wanita itu kini menyuruh Jatmiko untuk menyiapkan mobil karena mereka akan berangkat hari ini juga. Anindya bahkan tidak memberi Hiran kesempatan untuk berpamitan dengan teman-temannya, wanita itu terlihat sangat marah.
Hiran pun pada akhirnya hanya bisa menurut walau wajahnya nampak sebal, alisnya menukik tajam dan tatapannya pada Anindya begitu sulit diartikan. Dia kan hanya menikmati masa mudanya, kenapa Anindya begitu ribut sekali? Seperti tidak pernah muda saja.
Perjalanan menuju desa bibi Elly memakan waktu kurang lebih empat jam, Jatmiko yang menyetir sepanjang perjalanan ditemani Anindya yang bercerita menganai bibi Elly. Hiran diam menyimak kenapa bibi Elly bisa tinggal di desa.
Kata Anindya, Elly Ayudisha adalah adik satu-satunya yang tidak menurut ucapan orang tua alias kakek dan nenek Hiran. Elly tidak mau dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya itu dan lebih memilih Arsen Jagawana, seorang pemuda desa yang Elly kenali saat KKN. Maka dari itu Elly diasingkan atau lebih tepatnya dibuang dari keluarga dan menetap di desa bersama suaminya. Pantas saja bibi Elly jarang sekali mampir ke rumah Hiran.
Keasikan menyimak cerita bibi Elly dari ibunya, tanpa sadar mereka sudah sampai. Hiran mengernyit bingung, empat jam tak terasa sama sekali hanya karena mendengarkan Anindya bercerita? Pengalaman yang menarik Hiran. Cowok itu segera turun dari mobil, matanya dibuat terpana melihat bagaimana indahnya pemandangan dari depan rumah bibinya.
Selain suasananya yang nampak asri, udara yang dingin membuat Hiran merasa seperti ini bukan hukuman, ini adalah liburan panjang setelah lulus sekolah untuknya. Sepertinya tinggal di sini tiga bulan tidak begitu buruk, tak peduli jika ia belum mendapatkan kampus. Itu urusan Jatmiko.
"Hiran, ayok sini masuk nak." Suara lembut Elly memanggil Hiran yang masih saja asik memandangi hamparan bukit hijau. Cowok itu menoleh lalu berjalan masuk ke dalam rumah yang terbuat dari kayu itu, terkesan seperti rumah jadul. Hiran bahkan mengira lantainya masih tanah, tapi ternyata tidak, lantainya juga dilapisi oleh kayu.
Di dalam rumah itu terdapat ruang tamu, tiga kamar tidur dan dapur. Hiran mengernyit tak menemukan kamar mandi sedari ia berkeliling. Arsen yang ngeuh Hiran nampak kebingungan itu menghampiri cowok itu, "cari apa Hiran? Kamar kamu ada di sebelah sana. Itu tadinya kamar punya anak paman yang lagi ngerantau."
Hiran mengangguk pada Arsen namun masih celingak celinguk. "Kalau toilet di mana?"
"Toilet? Ah wc maksud kamu? Itu ada di dekat sungai. Enggak jauh dari sini." Balas Arsen santai.
Hiran mebelalak kaget, dekat sungai? Apa maksudnya tidak ada toilet di rumah tempat ia akan tinggal? Habislah Hiran.
...
Tbc!
Mohon maaf untuk typonya🙇♀️🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Challenging Fate
FanfictionHiran Laksita Mahawira adalah remaja kota yang terkenal nakal dan suka bikin onar. Saat dikirim ke desa selama tiga bulan sebagai hukuman, ia merasa muak dengan hidup sederhana dan aturan ketat. Namun, semua berubah ketika ia bertemu Biantara Sanjan...