Epilog

4 1 0
                                    

Langit malam bagaikan kanvas hitam kelam yang hanya dihiasi bintang-bintang samar, di balik itu seakan ada sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan, yang seolah menunggu waktu yang tepat untuk keluar.

Dengan langkah tergesa, seorang suster melewati koridor rumah sakit yang sunyi, menuju kamar pasien nomor 202."

"Selamat malam, mbah. Maaf ada yang perlu saya bantu? Saya ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja?" pekik suster tersebut kepada seorang lelaki tua yang sedang terbaring di sebuah ranjang kasur rumah sakit tersebut.

"Nggih, mboten napa-napa¹, Mbak. Memang ada apa, Mbak, malam-malam begini toh?" lelaki tua itu menjawab dengan suara berat dan tatapan kosong, nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, seperti masih tersisa di alam mimpi yang baru saja ditinggalkannya.

"Oh, mboten nopo-nopo, Mbah. Kula ngira niku Mbah nyeluk kula². Soalnya saya dengar barusan ada suara bel berbunyi," sang suster menjawab dengan raut wajah heran, seolah berusaha memahami lelaki tua itu. la yakin betul bahwa suara bel itu baru saja berbunyi, namun jawaban yang ia dengar tak sejalan dengan keyakinannya.

"Mboten, Mbak. Kula mboten mencet³, saya saja baru terbangun karena suara Mbak," lelaki tua itu menjawab dengan matanya yang masih setengah terpejam, menatap suster di depannya.

"Baiklah, Mbah, maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Mbah," ujar suster dengan suara lembut, merunduk sedikit sebagai tanda hormat. "Silakan beristirahat kembali, semoga Mbah lekas pulih dan merasa lebih baik."

Suster itu pun segera menutup pintu dengan pelan, langkahnya terarah kembali menuju meja kerjanya. Suasana sejenak kembali hening, hanya terdengar detak jam yang mengiringi kesunyian malam di koridor rumah sakit tersebut.

"Perasaanku sepertinya jelas, aku yakin mendengar suara itu... Apa aku sedang mengantuk? Ah, sudahlah," pikir sang suster, mencoba menenangkan diri. "Mungkin bel itu tertekan tanpa sengaja saat orangtua itu tertidur."

Tiba-tiba, sebuah teriakan memecah keheningan, disusul suara prabotan yang jatuh berantakan. Kekacauan meledak di dalam ruangan Dokter Rosa. Dalam sekejap, bayangan seorang lelaki mengenakan setelan serba hitam yang penuh dengan bercak darah melintas cepat, melarikan diri dari ruang tersebut, meninggalkan jejak kengerian yang terperangkap dalam sepi.

"Hei, tunggu! Siapa kamu? Jangan lari!" teriak suster, suaranya penuh perintah, namun lelaki itu sudah menghilang di balik pintu. Tanpa pikir panjang, suster bergegas hendak mengejarnya, namun langkahnya terhenti. Rasa takut yang membekapnya membuatnya ragu. Dengan cepat, ia mengurungkan niatnya dan berlari masuk ke dalam ruangan Dokter Rosa, lebih memilih untuk memastikan keadaan di dalam yang kacau balau.

Begitu memasuki ruangan, semua di ruangan itu berantakan-berkas-berkas berserakan, tercampur dengan noda darah. Setiap langkah yang diambil sang suster semakin membawanya ke pusat kekacauan itu, hingga akhirnya ia melihat tubuh Dokter Rosa tergeletak kaku di lantai, tak bernyawa, dengan darah yang menggenang di sekitar tubuhnya. Sebuah luka tusuk menganga di perutnya, sementara pisau yang tajam terbenam dalam bola matanya.

Namun, di samping tubuh tak bernyawa itu, ditemukan sebuah coretan mengerikan di lantai, terlukis dengan darah yang masih segar. Di atasnya tertulis kata "masterpiece" dengan huruf-huruf yang tampak tergesa, seolah sengaja diciptakan dengan penuh perasaan, menyisakan kesan yang kelam dan misterius.

-------------------
1 : "Iya, tidak apa-apa" atau "Baik, tidak masalah."
2 : "Tidak apa-apa, Mbah. Saya kira tadi Mbah memanggil saya."
3 : "Tidak, Mbak. Saya tidak menekan." (atau dalam konteks lain bisa diartikan "Saya tidak melakukan itu.")

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak Masterpiece Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang