Bab 16. Alasan Membenci

49 7 0
                                    

🍀🍀🍀


Pemuda itu sudah tidak heran lagi dengan sikap Laura yang munafik, manipulatif, di depan semua orang dia terlihat sebagai gadis polos yang lugu. Tapi sebenarnya dia adalah seorang pemain yang sudah suhu.

Tanpa mempedulikan Laura yang menghina dirinya sebagai 'anjing Jingga', Langit menanyakan tentang Jingga kepadanya. "Di mana Jingga?"

"Maksud lo ... majikan lo?" tanya Laura sambil senyum-senyum yang terlihat menyebalkan di mata pemuda itu.

"Gue nggak suka ngomong dua kali," ucap Langit ketus. Dia tidak suka bertele-tele, dalam hal apapun.

Laura menggelengkan kepala dan mengendikkan kedua bahunya. "Mana gue tahu."

Tiba-tiba saja Langit menarik kerah baju Laura dengan kasar, sehingga kaki gadis itu sedikit berjinjit dan terkejut dengan tindakan Langit. Tatapan pemuda itu menyalang tajam ke arah Laura. Dia tidak memedulikan beberapa pasang mata yang saat ini sedang melihatnya di sana.

"Langit ... lo apa-apaan sih?" tanya Laura yang takut melihat tindakan Langit kepadanya. "Lepasin gue."

"Di mana Jingga?" Langit kembali mengulang pertanyaannya. Tapi Laura kembali menjawabnya dengan asal.

"Gu-gue nggak tahu. Emang gue anjingnya ... kayak lo?" sindir Laura lagi.

"Gue bisa matahin leher lo sekarang juga, kalau lo terus-terusan bicara omong kosong," ujar Langit yang berbicara dengan penuh penekanan dan mata yang mengintimidasi Laura. Dia menatap Laura dengan penuh kecurigaan yang negatif. Feelingnya mengatakan, kalau Laura berbuat sesuatu pada Jingga.

Kedua bola mata warna hitam milik Laura itu, menyipit dan tersirat rasa takut yang jelas di sana.

"Hey! Lo nggak boleh kasar sama cewek!" Tegur Dikta yang kebetulan sedang lewat di sana, bersama dengan dua orang temannya yang merupakan anggota OSIS juga.

"Lepasin dia, Langit!" Beni juga menegur Langit, bahkan dia sampai memegang tangan Langit.

Akhirnya, Langit mau melepaskannya. Meskipun tatapan tajam pemuda itu, tak mau lepas dari Laura. Sungguh, Laura gemetaran melihat tatapan itu, bukan berpura-pura. Tatapan Langit seperti orang yang memiliki niat membunuh. Dia pun bersembunyi dibelakang punggung Dikta dan Beni.

"Lo keterlaluan ya. Bisa-bisanya lo kasar sama cewek," ucap Beni dengan nada bicara yang meninggi, tepat di depan Langit.

Pemuda itu tetap berwajah datar. "Bacot," sinis Langit tak peduli pada omelan Beni padanya.

Kedua mata Beni melotot dan dia melayangkan tangannya ke atas, mengarah pada wajah Langit. Sebelum tangan itu sampai di wajah Langit, Dikta menghentikan temannya itu.

"Ben! Tenang!"

Beni terlihat mencoba menahan emosi. Akan tetapi, dia selalu emosi saat melihat Langit yang sikapnya songong selangit. "Tapi dia ini nggak bisa dibiarin. Dia—"

"Dengan mukul dia, nggak akan menyelesaikan masalah," ucap Dikta yang menasehati temannya itu. Layaknya orang bijak dan dewasa.

Langit terkekeh mendengar kata-kata Dikta. "Lo ngomong kayak orang bener aja. Kayak lo nggak pernah pukul orang."

Mata Dikta memicing, menatap bibir Langit yang terlihat tersenyum mengejek dirinya. Tidak, bukan mengejek, lebih tepatnya menyindir.

"Sok bijak lo. Munafik. Lempar batu sembunyi di tangan."

"Lo emang cocok ....," ucap Langit terjeda, dia pun melirik ke arah Laura. "Sama cewek sampah kayak dia."

Kedua mata Laura berkaca-kaca saat mendengarnya, wajahnya memerah, karena Langit berkata seperti itu kepadanya.

Langit Biru JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang